Dari sisi teknologi dan sains negara-negara Barat telah mencapai kemajuan yang sampai derajat tertentu bisa dianggap cukup mengagumkan. Saat ini mereka telah menelorkan dan hidup dalam Revolusi Industri 4.0 yang dengan cyber physical system mampu menjadikan dunia maya dan alam fisik menjadi menyatu. The Fourth Industrial Revolution menjadikan kehidupan demikian mudah, mulai kerja di rumah, beli makanan di rumah, dan hal-hal lain yang sejenis.
Namun ternyata kemajuan di bidang teknologi dan sejenisnya tidak menjamin hadirnya kehidupan yang lebih manusiawi. Manusia dengan teknologi, sains dan rasionalisme semata tidak mampu menjadikan diri mereka lebih dewasa dan lebih beradab. Penguasaan negara atau bangsa Barat di bidang itu tidak menjadikan mereka lebih sadar bahwa mereka harus hidup bersama dengan bangsa lain di jagat yang sama. Mereka lupa, atau mengabaikan, bahwa masing-masing memiliki hak yang sama untuk hidup di alam ini, dan harus hidup saling menghormati satu dengan yang lain, bahkan dengan penuh empatik.
Keterlibatan beberapa negara atau pemimpin Barat dalam terjadinya konflik internal atau regional di berbagai belahan dunia yang lain merupakan secuil contoh yang tidak terbantahkan. Keterlibatan ini biasanya berupa bantuan senjata—lebih tepatnya penjualan senjata—negara Barat kepada kelompok yang seide atau membela kepentingan Barat pada beberapa konflik di negara-negara lain. Hal ini menyuguhkan seutuhnya pandangan dan perilaku mereka yang tidak manusiawi dan bahkan biadab.
Menyikapi hal itu tidak berlebihan jika Karen Amrstrong (Berperang Demi Tuhan) menyatakan, kultur modern (dengan kemajuan sains dan teknologi, pen) sering menjatuhkan harga diri manusia dan membuka kelemahan moral kerentanan dan minimnya kehormatan manusia. Kemajuan dalam bidang itu nyaris tidak berdampak nyata pada berkurangnya ketimpangan antara manusia yang miskin dan mereka yang berkelebihan. Bahkan teknologi bisa menjadikan manusia kian beringas dan buas.
Padahal, kata Tamim Ansari (dalam the Invention of Yesterday) dengan kemampuan teknologi kita mampu memberi makan semua orang yang hidup, mengendalikan pertumbuhan populasi yang kebablasan, mampu menggunakan bahan bakar fosil, dan berhenti mencemari lingkungan. Dalam ungkapan lain, melalui teknologi kita memliki kemampuan melakukan beragam aksi yang lebih menyantuni dan menghormati kehidupan dan umat manusia.
Namun itu semua nyaris tidak dilakukan atau terjadi. Persoalannya karena semua itu terkait dengan persoalan makna dan tujuan hidup. Teknologi senyatanya tidak berada di ranah itu. Teknologi sekadar berada pada wilayah logos, sedangkan makna dan tujuan hidup perlu diperkaya dengan pendekatan spiritual dan emosional.
Menyikapi hal itu, banyak kalangan yang tidak puas dengan “kegagalan” proyek modernitas tersebut. Di antaranya adalah kelompok agama fundamentalis. Agama sejatinya bersifat spritualitas dan berkait erat dengan emosional. Ironisnya keberagamaan di tangan kaum fundamentalis, mitos agama—menurut Armstrong—(atau spritualitas agama, pen) diubah menjadi logos, diantaranya berupa klaim kebenaran sepihak mereka atau dan menjadikannya sebagai ideologi yang efisien (dan modern). Maka kemudian realitas yang telah disuguhkan kepada kita adalah sering berupa kekerasan dan aksi terorisme yang tidak kalah mengerikan dengan ulah beberapa negara Barat. Bahkan mereka menggunakan hasil teknologi untuk menghancurkan kehidupan dan membunuh umat manusia.
Merajut Masa Depan Lebih Baik
Adanya bencana atau tragedi yang mengiringi atau akibat kemajuan teknologi dan sains tentunya jangan sampai kita, umat manusia (apalagi kaum beragama), menghentikan invensi dan inovasi dalam bidang itu. Kita dituntut untuk mengembangkan peradaban dengan segala turunannya. Namun semua itu ditujukan untuk pelestarian dan pengembangan kehidupan. Peradaban, teknologi, dan sains diarahkan dan dikawal untuk kepentingan umat manusia dan alam semesta, dan pewarisan kehidupan lebih baik bagi anak cucu kita dan generasi penerus.
Untuk menuju ke arah sana, manusia sebagai subjek kehidupan tentu menjadi penentu utama. Yang diperlukan saat ini ke depan adalah insan-insan yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual sekaligus. Manusia yang memiliki integritas kepribadian, ketajaman nurani, sikap empati, dan tentu juga inovasi merupakan keniscayaan yang tidak bisa diganggu gugat lagi. Semua kecerdasan ini niscaya menjadi entitas yang menyatu dengan solid yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Pada tataran itu, pendidikan dalam semua jenjangnya, dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi harus menjadikan ketiga kecerdasan itu sebagai bagian dalam proses pendidikan yang dikembangkan. Indonesia sudah saatnya memulai meletakkan penilaian prestasi peserta didik bukan sekadar pada aspek akademik semata, tapi juga pada aspek kecerdasan yang lain. Seseorang yang berhasil lulus dari suatu jenjang pendidikan bukan sekadar berprestasi dalam bidang intelektual dan ketrampilan, tapi juga dapat dipertanggung-jawabkan kecerdasan emosional dan spiritualnya.
Agama pun perlu dihadirkan dan dilabuhkan sebagai sumber inspirasi yang mencerahkan kehidupan. Ia perlu menjadi bagian intrinsik manusia bukan sekadar untuk keselamatan eskatologis manusia di akhirat nanti. Namun yang tak kalah pentingnya, agama perlu menjadi sumber utama mengembangkan kehidupan yang penuh dengan kedamaian, kesejahteraan, dan keadilan. Agama mutlak harus menumbuhkan empati dan saling menghormati antar-sesama. [MZ]