Meskipun secara umum filsafat Islam diyakini dimulai oleh al-Kindi (801-873 M), ada catatan bahwa seorang muslim pertama yang dianggap filsuf adalah Iranshahri yang hidup pada abad ke-9. Meletakkan al-Kindi sebagai filsuf muslim pertama tentu saja berkaitan dengan fakta bahwa al-Kindilah yang mencoba merumuskan secara sistematis apa itu filsafat Islam.
Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi lahir pada tahun 801 di Kufah atau Irak di mana ayahnya menjadi gubernur. Kemudian, al-Kindi pindah ke Baghdad, ibu kota kekhalifahan Abbasiyah dan pusat pembelajaran ilmiah. Di Baghdad, ia hidup di bawah perlindungan tiga khalifah Abbasiyah, al-Ma‘mun, al-Mu’tasim, dan al-Wathiq yang memberikan dukungan penuh mereka untuk pembelajaran ilmiah, literasi, dan keilmuan filosofis selama periode itu.
Al-Kindi dikelilingi oleh orang-orang yang mengidentifikasi dirinya sebagai Mu‘tazilah atau rasionalis, sehingga kecenderungan aktivitas intelektual layak untuk terus dilakukan. Ia menguasai bahasa Syria dan Yunani, sehingga ia langsung bisa membaca bahasa-bahasa referensi intelektual saat itu.
Ketika al-Mutawakkil menduduki tahta kekhalifahan pada tahun 847, al-Kindi mengalami nasib yang sama dengan para filosof dan Mu‘tazilah lainnya, karena al-Mutawakkil mengubah haluan intelektual menjadi Ash‘ariyyah (Sunni ortodoks). Namun, al-Kindi bertahan selama lima tahun pada periode itu. Al-Kindi meninggal sekitar tahun 866. Ibn Nadim, bibilografer andal al-Kindi, mencatat bahwa al-Kindi memiliki 242 karya dalam berbagai bidang, dari metafisika, logika, musik, aritmetika hingga politik.
Banyak muslim konservatif, teolog tradisional, orang awam menolak filsafat dan pendekatan logis yang dicampur ke dalam agama Islam. Mereka berpendapat bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan berasal dari budaya musyrik yang akan mencemari ajaran suci Islam. Mereka menganggap pendekatan logis filsafat untuk memahami agama tidaklah harmonis dengan agama.
Ringkasnya, di satu sisi, agama terletak di atas lantai iman, sedangkan di sisi lain, filsafat bertumpu pada keramik penalaran dan logika. Keduanya adalah dua bidang yang kontras menurut kaum tradisionalis.
Al-Kindi mencoba mengklarifikasi kesalahpahaman mereka tentang filsafat dan agama. Menurut sudut pandang al-Kindi, keduanya adalah jalan yang sama untuk memahami kebenaran, tetapi keduanya memang menggunakan dua cara yang agak berbeda. Memang dalam beragama manusia didorong untuk melabuhkan keyakinannya pada doktrin agama, tetapi bukan berarti dalam beragama manusia dilarang mengeksplorasi pemikirannya untuk memperoleh kebenaran dalam agama, apalagi untuk meneguhkan keyakinannya.
Al-Kindi mengajukan pertanyaan, “Mengapa Anda menolak filsafat?” Ia melanjutkan, “Sebenarnya, apakah filsafat dibutuhkan atau tidak?” Akhirnya, jika orang menjawab bahwa mereka membutuhkan filsafat, maka mereka harus mempelajarinya, tetapi jika orang menjawab tidak butuh, maka mereka harus memberikan alasan dan argumen mengapa filsafat tidak dibutuhkan.
Ketika mereka menjelaskan argumen dan alasan mereka, mereka sama saja sedang berfilsafat; mereka memfilosofikan sesuatu. Konsekuensinya, mereka tidak dapat menolak filsafat, karena ketika menolak filsafat, mereka menggunakan metode filsafat itu sendiri.
Dalam hal ini, al-Kindi ingin menunjukkan bahwa sebagai metode berpikir, filsafat secara alamiah telah tertanam ketika seseorang berpikir tentang apa pun. Lebih lanjut, al-Kindi menegaskan bahwa filsafat yang dianut oleh para sarjana muslim pada masa itu tidak akan menerjang doktrin Islam.
Selain fakta bahwa Islam itu sendiri, seperti yang berkali-kali disinggung dalam Al-Qur’an, memicu dan mendorong manusia untuk memfungsikan akalnya, tujuan akhir filsafat dan agama adalah sama, yaitu kebenaran. Di samping itu, kebenaran yang dicapai dalam agama dapat ditegakkan dan diperkuat oleh rasionalisasi dalam filsafat.
Al-Kindi dengan lantang menyoroti apa yang dikerjakan filsuf muslim dengan filsafat tidaklah bertentangan dengan agama, melainkan malah sebaliknya. Bahkan para filsuf muslim berusaha memberikan landasan rasional dalam mengimani Islam dan menyediakan alat logika mengapa kita harus beriman ketimbang mengedepankan iman buta.
Al-Kindi boleh dikatakan telah berhasil menyelaraskan filsafat dengan agama, atau bahkan memasukkan filsafat ke dalam agama. Banyak karya yang ditulisnya memugarkan banyak kesalahpahaman tentang filsafat dan agama oleh khalayak umum. Karya besarnya adalah al-Falsafah al-Ula. Dalam karya ini, ia menguraikan pemikiran metafisiknya tentang filsafat ketuhanan.
Menurut al-Kindi, Tuhan adalah Yang Maha Esa (al-Wahid al-Haqiqah), sedangkan yang lain hanyalah metafora. Karenanya, Tuhan adalah yang unik, sedangkan yang lain memiliki kesamaan satu sama lain. Artinya, Tuhan adalah satu-satunya yang tidak ada bandingannya. Di sini al-Kindi menegaskan teologi negatifnya, karena Tuhan tidak dapat dijangkau dengan akal. Oleh karena itu, hanya keesaan-Nya yang dapat digambarkan secara positif. Sederhananya, al-Kindi ingin menegaskan keterbatasan nalar kita.
Al-Kindi juga mencoba membuktikan keberadaan Tuhan. Berlawanan dengan para pendahulunya, Plato, Aristoteles, dan Plotinus, al-Kindi menegaskan bahwa Tuhan adalah sebab dari sebab-sebab, dan hanya Tuhan yang azali.
Menurutnya, kosmos memiliki awal yang temporal (huduth), seperti yang dia katakan, “Tidak mungkin tubuh alam semesta azali. Oleh karena itu, badan ini diciptakan dalam waktu (muhdath). Yang diciptakan dalam waktu harus dimunculkan oleh pencipta dalam waktu (muhdith). Maka alam semesta harus memiliki pencipta dalam waktu dan dari sesuatu yang tak ada (ex nihilo).” Al-Kindi percaya pada creatio ex nihilo (penciptaan dari ketiadaan), yang membuat pemikiran kosmologinya dekat dengan pendapat para teolog.
Singkatnya, dapat disimpulkan bahwa pemikiran al-Kindi tidak bergantung sepenuhnya pada filsafat Yunani. Meski diilhami oleh filsafat Yunani, al-Kindi mengembangkan pemikirannya sendiri, seperti creatio ex nihilo dan temporalitas alam semesta. Sebagai penutup, saya ingin mengutip pernyataan al-Kindi, “Mempelajari kitab-kitab filsafat adalah hari raya bagi jiwa rasional.”