Nafs secara literal berarti “esensi”. Esensi dari sesuatu disebut “jiwa sesuatu” atau “realitas” (haqiqah)-nya. Dalam istilah Aristotelian, esensi itu berati “jiwa”, entah jiwa itu bersifat material (misalnya jiwa nabati dan jiwa hewani) atau bersifat abstrak (misalnya jiwa benda-benda samawi dan jiwa rasional manusia).
Tazkiyat asal katanya memiliki makna memangkas tumbuhan. Dengan kata lain, ia berarti merambah apa yang menghambat pertumbuhan sesuatu. Istilah tersebut bila dihubungkan dengan kepribadian seseorang, maksudnya adalah menghapus segala jejak keburukan atau penyakit yang menghalanginya untuk dapat berjumpa dengan Allah. Dalam Islam, tujuan utama dari syariat agama dan tujuan sejati diturunkannya para nabi adalah mengajarkan tazkiyat.
Jiwa pada dasarnya mengenal Allah (ma‘rifah billāh), tetapi semenjak kejatuhannya di alam wadak, tergelincirnya kesucian diri menjadikan manusia lalai dari penyaksian purba terhadap-Nya. Sistem sosial yang nihil spiritualitas—baik dari keluarga maupun masyarakat—akan menjadi penyebab bagi penderitaan rohani, kealpaan ingatan, dan pupusnya keimanan seseorang.
Pengondisian sosial yang bersifat duniawi semacam itu dapat mengikis yang prinsipiil dan inheren dalam realitas rohani manusia. Dalam konteks seperti itulah tazkiyatal-nafs urgen dan menjadi kebutuhan primer bagi para pejalan rohani.
Dalam tasawuf, tujuan dari perjalanan rohani adalah kembali, kembali kepada Allah, mengingat-Nya di setiap saat, dan hadir bersama-Nya tanpa jeda. Secara teknis, hal ihwal tersebut diistilahkan murāqabah, ma‘rifah, atau juga mushāhadah. Untuk mengalami hal tersebut, seorang salik perlu menjalani sebuah proses yang terus-menerus, sebuah proses yang mengantarkannya pada keadaan kesucian. Proses tersebut adalah tazkiyat al-nafs.
Tazkiyat al-nafs bisa dianalogikan seperti seseorang yang sedang menggosok cermin hingga mengilap, sehingga jiwanya akan sanggup menangkap refleksi gambar yang memantul padanya secara jelas, dan gambar itu adalah Allah sendiri. Ihwal ini juga bisa digambarkan sebagai “penyingkapan cadar ketidaktahuan” (lifting of the veil of ignorance), cadar yang menutupi kedekatan Tuhan dan makhluk-Nya.
Tazkiyat al-nafs umumnya dilakukan dengan proses takhallī dan taḥallī. Takhallī merupakan langkah pertama yang harus dijalani seorang salik (seorang pejalan di jalan sufi). Takhallī adalah usaha membersihkan jiwa dari perilaku atau watak akhlak yang tercela. Dengan kata lain, takhallī adalah melawan dan membuang semua kehendak nafsu yang rendah dan yang dilarang oleh Allah.
Setelah seseorang membersihkan sifat-sifat yang tidak penting dan tidak terpuji dari hati, salanjutnya hati mesti diisi sifat-sifat terpuji. Hal itulah yang disebut dengan taḥallī. Secara literal, taḥallī adalah upaya mengisi atau menghiasi diri dengan sifat-sifat baik.
Proses tazkiyat al-nafs ini memang merupakan tugas yang berat, karenanya ia disebut oleh Rasulullah sebagai “jihad akbar”, yaitu memerangi hawa nafsu. Dalam konteks ini, hawa nafsu adalah sesuatu yang tak terkendali, bisikan yang mengajak seseorang untuk menyimpang, melampaui batasan-batasan syariat agama dan moralitas hati nurani. Seorang sufi adalah seseorang yang telah mampu mengendalikan atau menaklukkan hawa nafsunya, bukan mematikannya.
Aforisme spiritual menandaskan, “Dengan cara menunggangi sapi, perlahan-lahan aku pulang ke rumah… dengan menaikinya, aku tiba di rumah.” Tugas seorang salik adalah dengan cara menaklukkan banteng liar dan menjadikannya sapi jinak yang menurut dan setuju diajak pulang ke rumah. Sehingga, bukan naluri rendah atau ego yang mengendalikan si salik, melainkan sebaliknya. Itulah tujuan teknis dari proses tazkiyat al-nafs.
Tujuan substantif dari tazkiyat al-nafs sendiri tidak lain dan tidak bukan hanyalah pergi menuju Allah semata dan karena-Nya pula. Segala deskripsi tentang ketenangan batin atau ketenteraman hidup merupakan efek semata, bukanlah tujuan itu sendiri.
Tasawuf memerikan kehidupan sebagai suatu perjalanan eksistensial yang jauh, perjalanan menempuh keberadaan realitas, menuju kehadiran ilahi. Dalam perjalanan eksistensial tersebut, tazkiyat al-nafs merupakan kendaraan sekaligus arah, ruang sekaligus waktu, dan keadaan sekaligus keberadaan untuk menjadi manusia utuh yang menjumpai kehadiran Ilahi.
Para sufi mewartakan bahwa tazkiyat al-nafs adalah membuka tirai kejahilan, selubung kealpaan yang membuat seseorang lupa akan perjanjian primordial (hari alastu) yang dilakukan Tuhan dengan manusia sebelum adanya kehidupan kosmologis. Untuk mengalami itu, mengingat kembali (ma‘rifah) perjanjian primordial adalah dengan cara menaklukkan jiwa rendah, seperti yang disabdakan Nabi Muḥammad, “Musuh terberat dari manusia adalah jiwa rendahnya (carnal soul) yang bersembunyi di dalam dirinya.”
Bagi para sufi, jalan menuju Tuhan adalah jalan menyucikan diri (tazkiyat al-nafs). Ajaran para sufi mengenainya merupakan petunjuk jalan bagi para salik untuk kembali kepada Allah. Sebagai sebuah metafora, jalan itu adalah jalan dari barat ke timur, perjalanan eksistensial dari kegelapan menuju fajar cahaya, untuk menyaksikan mentari terbit.
Dengan demikian, bagi para salik, yang prinsipiil adalah melakukan mujahadat terus-menerus dalam perjalanan eksistensial yang melingkar, perjalanan yang akhir adalah awal dan awalnya adalah akhir. Perjalanan sufistik adalah perjalanan paradoks, dari diri sendiri yang selalu menuju, dengan tiada habis-habisnya.[]