Anisa Ayuningsih Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Hubungan Agama dan Masyarakat menurut Karl Marx

2 min read

Agama merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat. Dengan agama diharapkan kehidupan seorang individu dan anggota masyarakat lainnya dapat dijalani dengan lebih tertib, karena agama menjadi pedoman hidup.

Agama adalah perisai suci yang melindungi manusia dari keputusasaan, kekacauan, dan situasi tidak menyenangkan lainnya. Agama merupakan sesuatu yang sakral dan diyakini, serta menjadi tempat yang nyaman untuk bersembunyi dan mencari perlindungan ketika manusia mempunyai permasalahan dalam hidup.

Hubungan Agama dan Masyarakat

Menurut Karl Marx, agama adalah “candu bagi manusia”. Ini merupakan frasa yang sering dikutip dari karyanya yang terkenal, Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right.

Menurut Marx, agama bukanlah sesuatu yang bersifat internal atau bahkan positif. Sebaliknya, ia melihat agama sebagai alat yang digunakan oleh para borjuasi untuk menenangkan dan mengalihkan perhatian para proletariat dari ketidakadilan dan eksploitasi yang mereka alami dalam sistem kapitalisme.

Marx menilai agama merupakan cerminan kondisi ekonomi dan sosial masyarakat saat itu. Ia percaya bahwa dalam masyarakat kapitalis kesenjangan ekonomi semakin nyata, sehingga agama memainkan peran sebagai “candu” yang mengalihkan perhatian orang dari ketidakadilan tersebut.

Agama menawarkan janji keselamatan dan kebahagiaan di akhirat serta menawarkan pelipur lara bagi penderitaan dan penderitaan kelas pekerja di dunia nyata. Di sini kita dapat membayangkan bagaimana Karl Marx mengkritik agama karena berbagai alasan dan akibat.

Meski kata “candu” yang digunakan Marx saat itu agak sulit untuk dipahami, setidaknya pengertian umum candu adalah sejenis obat yang dapat membangkitkan imajinasi. Fantasi keagamaan adalah pelarian dari kenyataan.

Manusia telah memproyeksikan kebahagiaannya menjadi sesuatu yang bisa dirasakan setelah kehidupan ini. Marx tidak menerima kenyataan seperti itu: engapa manusia hanya bisa merasakan kebahagiaan di akhirat saja, sedangkan di dunia ada komplotan borjuasi yang selalu bisa merasakan kebahagiaan itu?

Baca Juga  Muslim Itu Juru Damai, Bukan Pembuat Konflik dan Kekerasan

Substansi Teori Karl Marx mengenai Hubungan Agama dan Masyarakat

Dalam menjelaskan agama, Marx tidak memisahkannya dari visinya tentang masyarakat ideal, yaitu eksploitasi dan keterasingan selalu ada di masa lalu, masa kini, dan masa depan. Kelas sosial, eksploitasi, dan marginalisasi berakhir ketika kepemilikan bersama atas alat-alat produksi terwujud. Lalu terjadilah perjuangan kelas dan revolusi sosial, meski kita tidak tahu kapan itu akan terjadi.

Menurut Marx, agama adalah ilusi untuk meringankan rasa sakit akibat pelecehan dan penindasan. Terdapat beberapa ciri mengapa agama dapat mengurangi rasa sakit akibat tekanan dari segala permasalahan hidup yang dialami masyarakat.

Pertama, agama menjanjikan kebahagiaan abadi di surga setelah kita meninggal. Kedua, beberapa agama menyatakan kebaikan dari penderitaan yang disebabkan oleh penindasan kaum  kapitalis kepada kaum buruh. Misalnya, dengan adanya kalimat “kita harus sabar, nerimo, karena semuanya ada hikmahnya dan takdir dari Tuhan.”

Ketiga, agama menawarkan harapan campur tangan hal-hal  yang gaib untuk memberikan  solusi atas masalah yang ada di muka bumi. Keempat, agama selalu membenarkan  peraturan  sosial dan posisi seseorang di dalamnya.

Karl Marx melihat agama sebagai sebuah ideologi abstrak. Menurutnya, orang-orang yang menemukan realitas surga yang luar biasa absurd dan terus mencari hal-hal gaib, hanyalah bayangannya saja.

Dasar kritik Marx adalah manusia bisa menciptakan agama, tetapi agama tidak bisa menciptakan manusia. Dalam agama juga terdapat kesadaran diri manusia yang telah lama hilang dan dicari kembali, tetapi agama tersebut masih terus menjauhkan kesadaran asli setiap orang dari dunia nyata, yang terus meninabobokannya pada kesadaran agama yang tidak nyata.

Menurut Karl Marx agama adalah candu bagi masyarakat, yakni agama menjadi tempat istirahat bagi kaum buruh dan mereka melupakan sejenak penderitaan dan penindasan yang mereka rasakan akibat aktivitas kaum borjuis.

Baca Juga  Menjadi Muslim yang nJawani

Bagi Marx, agama merupakan penghalang bagi penanaman kesadaran kelas yang sejati dan justru menciptakan kesadaran palsu. Karena kaum proletar tidak melihat bahwa kesulitan dan penindasan yang mereka alami disebabkan oleh sistem kapitalis, maka mereka diberikan agama agar mereka tidak menyadari kesulitan tersebut dan berhentinya penindasan.

Marx dengan tegas menegaskan bahwa ia tidak menolak agama. Marx menolak sistem yang mengandung ilusi agama. Misalnya, dalam agama ada ekspresi kesabaran dan toleransi, karena semuanya adalah takdir Tuhan.

Namun, nyatanya, di sisi lain, agama juga terkadang dengan mudah dijadikan alat, dan sering kali menjadi basis gerakan revolusioner lainnya.  Misalnya, gerakan keagamaan sering kali berada di garis depan perjuangan melawan kapitalisme.

Kritik Marx adalah agama tampaknya berpihak pada kapitalisme karena agama telah menciptakan kesadaran palsu di kalangan pekerja. Dengan cara ini, kaum kapitalis menggunakan teriakan kaum tertindas untuk menerapkan penindasan baru

Menurut substansi teori Karl Marx mengenai relasi agama dan masyarakat ada dua. Pertama, Karl Marx membicarakan agama dalam tataran gagasan atau ide-ide mengenai agama  (abstrak), belum  pada  tataran  yang  lebih  konkret (nyata).

Kedua, pandangan Marx terlalu  subjektif dan belum bisa menggeneralisasikannya ke semua agama yang ada di dunia. Pandangan Marx terhadap agama tidak lepas dari pandangannya tentang masyarakat ideal, yakni eksploitasi dan alienasi akan selalu ada sejak dahulu kala, saat ini, dan masa yang akan datang.

Kelas sosial, eksploitasi, dan alienasi akan berakhir dengan tercapainya kepemilikan alat-alat produksi secara kolektif. Hal ini akan menghasilkan perjuangan kelas dan revolusi sosial, meskipun tidak dapat dipastikan kapan akan terjadi—dan tentu saja revolusi sosial, bertentangan dengan pandangan Marx, justru bisa diinisiasi dengan semangat keagamaan itu sendiri. [AR]

Anisa Ayuningsih Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya