Kejahiliyahan Abad Modern
Dalam “Islam: Challenges and Opportunities”, Fazlul Rahman, salah seorang pemikir Islam modern asal Pakistan, menyebut istilah ‘revivalisme pra-modernis’ (Welch dan Cachia, 1979). Istilah itu merujuk pada munculnya gerakan pemurnian atau purifikasi Islam yang marak terjadi sejak abad ke-18 Masehi. Kelompok pendukung revivalisme pra-modernis memandang bahwa umat Islam sedang mengalami kemerosotan moral akibat banyaknya ‘penyimpangan’ yang dilakukan terhadap ajaran Islam.
Ajaran Islam, bagi mereka, telah tercemari oleh unsur-unsur di luar nash, Al-Quran, dan Sunnah. Mereka kemudian menyerukan umat Islam untuk kembali kepada sumber-sumber Islam yang asli, yaitu Al-Quran dan Hadist secara literal dan harfiah. Mereka juga meyakini bahwa nash, Al-Quran, dan Hadist bersifat permanen, baku, dan kekal.
Meskipun istilah revivalisme pra-modernis yang dicetuskan Fazlul Rahman mengambil lokus masyarakat Timur Tengah, India, dan Afrika, semangat untuk memurnikan ajaran Islam itu sebenarnya juga terjadi di belahan dunia lainnya, termasuk juga di Indonesia. Jauh sebelum istilah revivalisme pra-modernis muncul, pada tahun 1803, di Sumatera Barat telah terjadi konflik yang melibatkan Kaum Padri dan Kaum Adat.
Kaum Padri, di bawah komando Tuanku Imam Bonjol, bertekad untuk menegakkan ajaran Islam dengan ‘memutihkan’ praktik kebudayaan matriarkat yang banyak dianut oleh masyarakat Minangkabau. Menurut Kaum Padri, praktik kebudayaan matriarkat yang merunut hak waris dan garis keturunan melalui jalur ibu (perempuan) dianggap telah menciderai nilai-nilai Islam (Hadler, 2010). Meskipun konflik keduanya berakhir menjadi sebuah konsensus untuk memerangi kolonialisme, fakta sejarah tersebut menunjukkan bahwa semangat memurnikan ajaran Islam telah bersemayam dalam konteks kehidupan masyarakat kita.
Di masa Indonesia kontemporer, gerakan memurnikan Islam yang identik dengan wajah Arab juga tampak pada kemunculan kelompok Wahabi. Aliran Wahabi yang didirikan oleh Muhammad ibn Abd al-Wahab (1703-92) itu mengusung semangat memurnikan Islam dengan mendasarkannya pada ajaran Sunni. Baskara (2017) menuturkan bahwa aliran itu dimungkinkan menjalar sampai ke Indonesia akibat pengaruh dari gerakan Islam di Timur Tengah yang bersifat transnasional. Sama seperti kelompok pendukung gerakan pemurnian Islam lainnya, kelompok Wahabi juga memandang bahwa latar belakang dunia Arab, tempat lahirnya Islam dan Nabi Muhammad, bersifat abadi, paripurna, dan sama universalnya dengan ajaran Islam itu sendiri. Oleh sebab itu, berbagai praktik kebudayaan yang tidak dijumpai dalam konteks kehidupan masyarakat Arab mereka pandang sebagai bukan bagian dari Islam, bahkan dianggap sebagai bentuk kejahiliyahan baru yang hidup di abad modern.
Pribumisasi dan Islam Kontekstual
Pandangan kelompok pendukung purifikasi Islam yang mengandaikan worldview Islam sebagai kerangka normatif ajaran yang transenden dan tidak mungkin berubah telah mendikotomikan/memisahkan Islam dengan konteks kebudayaan masyarakat. Pandangan semacam itu sangat berbahaya, karena akan menempatkan praktik Islam yang ‘bukan Arab’ sebagai ‘Islam periferal’. Tidak heran apabila kemudian kita banyak menjumpai kelompok Islam silih tuding mendaku yang maha benar, merasa ‘paling asli’ dan islami, serta mudah mengutuk kelompok lainnya kafir dan sesat. Misalnya, selamatan, ziarah ke makam wali, peringatan hari kematian, tahlilian, dan yasinan.
Dalam rangka menghadirkan wajah Islam yang lebih ramah, pemikiran pribumisasi yang digagas KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) penting untuk kita telaah kembali. Gagasan tersebut menolak adanya narasi Islam tunggal yang diidentikan dengan Arab serta menekankan wajah Islam yang majemuk dan kontekstual dengan praktik kebudayaan. Gagasan pribumisasi ala Gus Dur mengilhami pemikiran Geertz (1973) mengenai kontekstualisasi agama dengan praktik kehidupan masyarakat dimana agama dijadikan model bagi terbangunnya tatanan ideal dan nilai-nilai moralitas.
Sejalan dengan gagasan-gagasan itu, pemikiran pribumisasi Gus Dur memandang Islam sebagai jalan hidup (syariat) yang bisa saling belajar dari berbagai ideologi agama-agama lain, termasuk juga ideologi non-agama seperti praktik kebudayaan (Wahid, 2006). Lewat gagasan pribumisasi, Gus Dur berusaha menghadirkan wajah Islam yang lebih luwes dan fleksibel serta memberikan penghargaan pada tradisionalisme atau ritual keagamaan sebagai sebuah ‘kebenaran’ yang hidup di dalam masyarakat (Wahid, 2002).
Meskipun demikian, Gus Dur juga memberikan batasan yang tegas soal sejauh mana gagasan pribumisasi bersinggungan atau bertumpang tindih dengan Islam. Menurutnya, konsep pribumisasi dihadirkan bukan untuk melakukan sinkretisme atau merubah doktrin Islam, apalagi untuk merubah aspek tauhid seperti penggunaan bahasa Arab dalam praktik beribadah dan hukum-hukum Islam yang bersumber langsung dari Al-Quran dan Hadist.
Pribumisasi digagas Gus Dur untuk membuat Islam lebih dekat dan kontekstual dengan kebutuhan lokal. Dalam bahasa lain, pribumisasi merupakan bentuk negosiasi antara Islam dalam aspek teologis dengan praktik kebudayaan yang bergerak dan berubah secara dinamis. Bagi Gus Dur, Islam perlu mengikuti dinamika perubahan tersebut agar dapat memperoleh ruang di hati masyarakat.
Meskipun konsep pribumisasi yang digagas Gus Dur telah menekankan aspek humanisme dalam memandang agama dan kebudayaan, banyak pihak yang menyalahartikannya sebagai semangat “jawanisasi” dan upaya untuk mendikotomikan kebudayaan Arab dengan kebudayaan Nusantara. Pandangan semacam itu memang cukup masuk akal, mengingat Gus Dur sendiri ketika merumuskan gagasan pribumisasi selalu menegaskan sikapnya dalam menolak Islam yang diidentikkan dengan Arab.
selanjutnya: Pribumisasi sebagai Perspektif…(2)