Tulisan saya berjudul “Jalur Prestasi Hafal Alquran untuk Peserta Didik Baru, Diskriminatif?” rupanya memantik diskusi yang hangat di lingkungan dosen-dosen IAIN Tulungagung. Melalui kolega, tulisan tersebut memang dishare di WhatsApp group Fakultas Ushuludin Adab dan Dakwah (FUAD). Tak lama berselang, banyak sanggahan dan kritik yang diajukan oleh kolega-kolega dosen.
Bila dirangkum kurang lebih ada dua isu utama yang mewarnai diskusi tersebut. Pertama, soal signifikansi jalur prestasi hafal Alquran yang juga diterapkan di sejumlah Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), tidak terkecuali kebijakan yang diterapkan oleh IAIN Tulungagung, tempat saya mengabdi.
Kedua, soal hubungan hafal Alquran dengan kompetensi akademik. Beberapa orang menyangkal tulisan saya berpandangan, hafal Alquran (bisa) memiliki hubungan signifikan dengan kompetensi akademik peserta didik atau mahasiswa.
Sebenarnya, kedua sanggahan tersebut tidak memiliki hubungan dengan isu yang ada dalam tulisan saya. Kepada para kolega, saya sudah menjelaskan bahwa tulisan tersebut hanya konsen pada isu diskriminasi yang lahir dari kebijakan jalur prestasi hafal Alquran. Terutama, bila kebijakan tersebut diterapkan di SMP/SMA Negeri dan Perguruan Tinggi Umum.
Argumentasinya sangat jelas, sekolah-sekolah publik yang diakses oleh siswa atau mahasiswa dengan berbagai latar belakang agama/keyakinan, tidak bisa menerapkan kebijakan yang hanya mewakili kepentingan satu agama. Pengistimewaan atau favoritisme tersebut menciptakan situasi yang tidak setara (inequality) bagi calon peserta didik atau mahasiswa.
Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, isu diskriminasi selalu bersifat stuktural. Artinya, ada sistem yang sengaja dibuat oleh pemerintah atau negara—mungkin juga kekuasaan yang setara dengan negara, untuk menciptakan ketidaksetaraan atau ketakadilan dalam penikmatan hak.
Begitulah kebijakan jalur khusus bagi hufaz tersebut harus dibaca. Sifat diskriminasinya terkait dengan sistem yang diciptakan oleh pembuat kebijakan pendidikan.
Kritik tersebut sama sekali tidak berhubungan dengan banyaknya lembaga pendidikan Islam atau Pesantren yang menyediakan program pendidikan hafalan Alquran. Setiap lembaga Islam dan pesantren memiliki kewenangan untuk mengembangkan program tersebut.
Kritik juga tidak berhubungan dengan banyaknya keluarga Islam yang memilih mengirim anak-anaknya ke pesantren Alquran. Besamaan dengan gelombang kesalehan (mobilizing piety) yang terjadi di perkotaan dan di keluarga kelas menengah Indonesia, pendidikan tahfiz bagi anak-anak memang sedang menjadi tren.
Itulah mengapa, sejak awal saya juga tidak menyoal kebijakan jalur khusus hafal Alquran yang diterapkan di PTKIN. Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, misalnya, sudah menerapkan kebijakan ini beberapa tahun yang lalu. Beberapa Program Studi (Prodi) di UIN maupun IAIN, memang ada yang berhubungan dengan kompetensi hafalan Alquran.
Sebut misalnya, Prodi Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT) atau Prodi Ilmu Hadis (IH). Kedua Prodi secara jelas berhubungan dengan kompetensi hafalan Alquran karena begitulah core keilmuannya. Saya berpandangan, kebijakan tersebut signifikan sejauh ada klaim keilmuan yang membenarkannya.
Di IAIN Tulungagung misalnya, sejak Prodi Ilmu Hadis dibuka pada 2019, Prof. Dr. Maftukhin (Rektor IAIN Tulungagung) memberikan endorsement dengan menerapkan kebijakan Uang Kuliah Tunggal (UKT) nol untuk calon mahasiswa yang hafal 100 Hadis. Kebijakan ini terbukti sangat konstruktif karena mendukung platform pengembangan Prodi tersebut.
Prodi ini sengaja didesain untuk mencetak ahli Hadis, juga calon penghafal Sahih Bukhari-Muslim. Saat periode penyaringan calon mahasiswa pada 2019, saya bahkan dipercaya oleh Dekan FUAD, Dr. A. Rizqon Khamami, untuk menjadi salah satu tim penyeleksi. Bukan di bagian materi kompetensi hafalan Hadis, tentu saja.
Singkat kata, kebijakan ini konstruktif untuk sejumlah Prodi di PTKIN, yang memang core keimuannya nyambung. Tetapi bayangkan bila kebijakan jalur khusus untuh hafiz ini diberlakukan di Perguruan Tinggu Umum, di berbagai Prodi science atau hard sciences. Hampir pasti, tidak tersedia klaim kelimuan dan klaim akademik apapun yang bisa membenarkannya.
Diskusi dengan para kolega, beranjak juga pada isu hubungan hafalan Alquran dengan potensi akademik. Seperti tulisan saya sebelumnya, saya menyinggung soal argumentasi pembuat kebijakan yang seragam dalam memahami hafalan Alquran dan pembentukan karakter. Saya berpandangan bahwa, argumentasi itu bersifat common sense.
Bahkan seandainya ada studi yang membenarkan pandangan tersebut secara saintifik, tetap saja hal ini tidak bisa menjadi dasar untuk membenarkan kebijakan diskriminatif tersebut.
Seperti sudah bisa diduga, semua kolega saya dengan asumsi masing-masing, percaya bahwa menghafal Alquran memiliki hubungan dengan kompetensi akademik. Hingga akhirnya ada salah satu kolega yang memposting sebuah tulisan berjudul “Effects of Memorizing Quran by Heart (Hifz) on Later Academic Achievement”.
Ini merupakan tulisan dua akademisi dari Pakistan, Nazia Nawaz dan Prof. Syeda Farhana Jahangir. Mereka melakukan studi terhadap 36 (sample) mahasiswa hafal Alquran. Artikel ini dimuat di Journal of Islamic Studies and Cultural, dipublikasikan oleh American Research Institute for Policy Development (2015).
Hasil kajian ini mengklaim bahwa menghafal Alquran berdampak signifikan pada peningkatan kemampuan akademik dan perubahan kehidupan sosial. Meski begitu, tidak ada rincian yang memadai terkait kemampuan akademik apa yang saja yang diklaim oleh penelitian. Apakah misalnya, kemampuan akademik itu termasuk kemampuan menyerap informasi, menalar, menganalisis, dan menjadi bagian dari produksi pengetahuan (?). Indikator itu tidak ditemukan.
Yang pasti, artikel menyebut kategori kemampuan akademik dan kehidupan beragama. Skor tertinggi kedua adalah hubungan hafal Alquran dengan tingkat kepatuhan pada orang tua. Dari hal ini saja, tergambar tingkat kepercayaan penelitian ini. Apalagi, secara metodologi juga memiliki sisi lemah, setidaknya menurut saya, karena hanya menggunakan kuesioner untuk menguji kompetensi. Idealnya, peneliti mengembakan instrumen test kompetensi yang lebih terpercaya.
Karena penasaran, saya akhirnya mencoba mencari artikel dan jurnal tersebut di scimagojr.com, standar aja, biasanya itu juga dilakukan oleh para dosen. Ternyata, artikel tersebut tidak terdeteksi oleh situs peng-index. Bagi sementara orang yang sangat percaya soal reputasi, artikel tersebut reputasinya lemah. Isu yang diangkat pun berada di wilayah peripheral.
Tanpa mengurangi penghormatan terhadap kajian tersebut, saya hanya ingin mengingatkan, seandainya ada kajian yang paling terpercaya dan paling reputasi sekalipun, hal ini tetap tidak bisa menjadikan kerja-kerja akademik untuk melegitimasi praktik diskriminasi. [MZ]