Di Lisbon, Portugal, terdapat dua surat tua yang ditulis pada tahun 1521 dan 1522 atas nama Sultan Abu Hayat dari Kesultanan Ternate kepada Raja Portugal membahas mengenai berbagai berbagai berita singkat; mengenai ancaman pembunuhan dari Kesultanan Tidore kepada penjelajah Portugis, permintaan bantuan bala tantara, kabar kematian Sultan Bayan Sarallah hingga ekspor buah-buahan dari Maluku ke Malaka (C.O Blagden, 1930).
Uniknya, surat tersebut ditulis dalam aksara Jawi, menggunakan huruf arab dengan bahasa melayu. Penamaan ini, menurut Shahrizal (2002) tidak lepas dari penggambaran orang Arab maupun eropa yang memandang penduduk dari Asia Tenggara maritim atau nusantara sebagai orang Jawi.
Aksara tersebut tidak lepas dari pengaruh Islam yang masuk di Asia Tenggara melalui pedagang, pengembara maupun tokoh sufi. Artinya, kemunculan aksara atau huruf jawi beriringan dengan proses islamisasi kala itu. Pada era itu, aksara lain yang digunakan Ialah india kuno dan aksara lokal lainnya.
Kemunculan kesultanan Islam mulai dari Malaka, Samudera Pasai, Patani, Aceh dan lain sebagainya selama bertahun-tahun semakin menegaskan bahwa aksara ini dikenal luas hingga menjadi lingua franca, sebuah bahasa pengantar di suatu kawasan dimana terdapat bermacam-macam bahasa. Meskipun begitu, dalam tatanan lokal, abjad Arab ini kemudian dapat pula menyesuaikan dengan budaya dan bahasa lokal.
Wacana aksara Jawi ini memiliki sumbangsih yang luar biasa dalam khazanah kebudayaan, kesasteraan, sejarah dan intelektualitas yang berkesinambungan. Aksara ini kemudian menjadi inklusif ketika memainkan peranan penting dalam masyarakat sebagai media untuk berbagai urusan keseharian, administrasi kerajaan hingga perdagangan yang termanifestasikan dalam bentuk media pelepah, kertas hingga terpahat dalam kayu ataupun nisan.
Sebuah bukti aksara jawi dapat ditilik dalam perjanjian antara kerajaan dengan pihak kolonial; mulai dari Portugis, Inggris, Belanda hingga Spanyol. Selain surat dari Kesultanan Ternate di awal tadi, terdapat pula Prasasti Trengganu, batu nisan di berbagai makam, hingga yang unik, abjad Arab berbahasa Spanyol dari Manguindanao, Filipina (Majul, 1999). Terdapat pula surat-surat dari Rafles yang ditulis oleh Munshi Abdullah juga menggunakan aksara Jawi kala berkorespondensi dengan Raja Siam.
Penggunaan aksara Jawi kemudian berkembang di era modern dalam berbagai sektor, khususnya di abad ke 19. Dalam ranah pendidikan dan sastra, aksara ini terus berkembang hingga berdampak dalam kebudayaan besar. Di Siam, Thailand saat ini, terdapat mata uang yang di dalamnya tertulis huruf Jawi bersanding dengan huruf China sebagai alat beli dan dagang.
Di semenanjung Malaka, berbagai iklan produk ternama ditulis dalam aksara Jawi, mulai dari minuman bersoda hingga mesin ketik impor dari Eropa. Selain itu, teks-teks kuno muslim melayu dapat ditemui pula di komunitas Muslim Khmer Kamboja, teks-teks serupa juga bisa dijumpai dalam sedikit komunitas Muslim Papua yang secara tidak langsung terpengaruh oleh Kesultanan di Maluku di abad 19.
Pada titik ini, risalah kristani pun menggunakan huruf jawi. Artinya, huruf jawi tersebut menjadi inklusif dan universal. Secara tidak langsung ditegaskan bahwa jawi ini milik semua orang, bukan hanya milik sekelompok orang saja. Meski begitu, dalam ranah seni khat, kaligrafi, bisa jadi, aksara Jawi berkembang tidak setenar seni khat di era Turki Utsmani, Mughal, Urdu maupun Parsi.
Menurut Jack Goody (1990) penggunaan aksara merupakan technologies of intellect, media untuk transfer ilmu. Dengan adanya aksara, komunikasi akan berlangsung dengan baik, dapat merekam ide-ide yang berkembang dalam suatu periode tertentu, dan memantapkan suatu bahasa sehingga terdapat peradaban yang tertulis. Sastrawan abad 16 asal Aceh, Hamzah Fansuri menyebarkan pemikirannya, salah satunya ide tentang wahdatul wujud, kepada murid-muridnya melalui tulisan-tulisannya dalam Jawi yang disalin dan disebarluaskan ke berbagai tempat.
Di tengah derasnya penggunaan tulisan latin di era modern, aksara jawi boleh jadi ditinggalkan oleh Sebagian generasi. Menanggapi hal ini, respon yang bermunculan terhadap aksara ini pun bermacam-macam. Pertama, ambivalensi, yakni orang tidak terpanggil untuk mempromosikan dan menghidupkan kembali jawi, akan tetapi bukan pula anti jawi. Kedua, Romantisasi, yakni kembali menggunakan Jawi diiringi semangat meromantisasi Islam. Ketiga, saling melengkapi baik itu jawi maupun aksara latin mainstream.
Di era sekarang, denyut Jawi masih bisa dirasakan karena upaya-upaya pelestarian di berbagai tempat. Beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Singapura dan Malaysia, Jawi merupakan modul wajib maupun pilihan bagi pelajar sebagai upaya pelestarian di kalangan generasi muda. Selain itu, terdapat produk karya seperti majalah Qalam yang sempat mewarnai pelestarian ini.
Di Brunei, beberapa dokumen resmi tetap terjaga sedangkan di Thailand selatan, Jawi digunakan di sebagian ruang publik, seperti papan institusi atau penunjuk arah. Di Indonesia, pengembangan local knowledge abjad ini terus dikembangkan oleh akademisi seperti Oman Fathurrahman dan Ahmad Baso merupakan yang paling menonjol. Di Jepang terdapat Jawi Research Society di Universitas Kyoto.
Di beberapa kampus di Eropa digitalisasi manuskrip sedang massif dilakukan, salah satunya di School of Oriental and African Studies (SOAS) London, dengan tokoh filolog terkenalnya, Annabel Gallop, dan tentunya masih banyak lagi yang menaruh perhatian dalam pelestarian salah satu warisan budaya dunia ini.
Menurut Azhar Ibrahim (2020) ada beberapa alasan yang melatarbelakangi minat pelestarian Jawi. Pertama, kecenderungan mencari keaslian. Di tengah cepatnya arus terknologi dan informasi, Sebagian orang berfikir lagi mengenai asal usul identitasnya sehingga, tatkala melihat Jawi sebagai identitas otentik, maka akan tertarik untuk memperhatikan.
Kedua, munculnya gelombang nasionalisme kanan atau populis, penggalian kembali otensitas suatu kelompok bisa dipicu oleh cara membaca sejarah masa lalu untuk sebuah tujuan politis. Ketiga, hadirnya orientasi keislaman yang mendominan secara tidak langsung mencoba menarik kembali relasi identitas dengan agama Islam.
Kasus menguatnya sentimen rasial di Malaysia contohnya, merupakan bentuk glorifikasi identitas dengan keagamaan. Cara ini bisa dilawan dengan upaya menginklusikan budaya tersebut. Keempat, kesadaran akan minimnya orang yang ahli jawi. Kelima, keinginan untuk menyunting dan menerbitkan kembali teks-teks jawi.
Penguasaan dan pelestarian Jawi tidak hanya berhenti pada penulisan huruf-huruf Arab saja, akan tetapi niat tulus sebagai gatekeeper atau penjaga warisan pemikiran dan kebudayaan dari berbagai periode sejarah tertentu sebagai modal kultural di tengah masifnya pertemuan antara berbagai budaya di dunia, tentunya dalam wujud identitas yang inklusif.