Aspek ajaran Islam seringkali dibagi secara dikotomis menjadi aspek syari’at dan hakikat. Aspek syari’at adalah ajaran yang bersumber dari al-Qur’an dan sunnah berkenaan dengan aqidah, ibadah, akhlak, sosial, ekonomi dan aspek kehidupan lainnya yang bersifat lahiriyah dalam bentuk legal-formal atau identik dengan fikih. Karena bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, maka ilmu syari’at digolongkan sebagai ilmu yang menggunakan epistemologi bayani.
Sedangkan hakikat adalah, aspek ajaran dalam Islam yang lebih menekankan pada penghayatan batin, sehingga digolongkan sebagai ilmu yang menggunakan epistemologi irfani. Yang termasuk dalam hakikat ini adalah Tasawuf. Pembagian secara dikotomis seperti ini, secara tidak langsung menimbulkan pemahaman, bahwa tasawuf bukanlah bagian dari syari’at.
Karena itu, jarang ada pihak-pihak yang menganggap bahwa, tasawuf adalah salah satu bentuk penyimpangan dalam Islam atau setidaknya tidak memperhatikan aspek syari’at. Selain dianggap menyimpang, tasawuf juga sering dianggap sebagai ajaran yang tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Syahdan, dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, kita sering menjumpai adanya klaim kebenaran dari suatu kelompok tertentu. Kelompok yang mengklaim bahwa pemikiran atau pendapatnya adalah yang paling benar biasanya akan menyalahkan, bahkan mengkafirkan kelompok yang memiliki pandangan berbeda. Tak jarang klaim kebenaran tersebut sampai menimbulkan pertumpahan darah.
Misalnya, kita kemukakan peristiwa yang dialami al-Hallaj. Berdasarkan keputusan seorang hakim madzhab Maliki, yaitu Abu Amr, al-Hallaj dijatuhi hukuman mati. Keputusan ini disampaikan kepada Khalifah al-Muqtadir bil-Allah. Khalifah tidak menyetujui keputusan ini kecuali, jika al-Junaid ikut menandatanganinya.
Enam kali persoalan putusan tersebut disampaikan kepada al-Junaid untuk mendapatkan tandatangannya. Namun ia tidak mau menandatanganinya. Untuk yang ketujuh kali, khalifah meminta ketegasan jawaban “ya” atau “tidak”. Lalu al-Junaid pun mengemukakan jawaban yang ambigu bahwa, secara syariat al-Hallaj dapat dihukum mati, tetapi menurut ajaran rahasia kebenaran, Allah lah yang Maha Tahu.
Jawaban al-Junaid itu kemudian dijadikan sebagai alat legitimasi oleh Penguasa untuk menghukum al-Hallaj. Contoh lain misalnya polemik yang terjadi antara al-Ghazali dengan para Filosof Neo-Platonisme Muslim, terutama al-Farabi dan Ibnu Sina, dan secara tidak langsung kepada Aristoteles. Menurut al-Ghazali, para pemikir bebas tersebut telah menjadi kafir karena meyakini kekadiman alam.
Sebenarnya kalau kita perhatikan, perbedaan pendapat tersebut terjadi karena, perbedaan epistemologis yang ada di antara mereka. Hal ini di isyaratkan oleh Junaid al-Baghdadi sendiri ketika dimintai pendapatnya mengenai apa yang telah diucapkan oleh al-Hallaj, bahwa secara syariat, al-Hallaj dapat dihukum mati, tetapi menurut ajaran rahasia kebenaran, Allah lah yang Maha Tahu.
Masih tentang tasawuf. Tasawuf merupakan bentuk pengalaman spiritualitas seseorang yang lebih menekankan pada rasa dari pada rasio, dan sering disebut ilmu rasa (dzauq). Faktor rasa lebih dominan dari pada rasio. Ketidakberpihakan tasawuf pada rasio berbeda dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Sehingga, tasawuf tidak mudah di kaji hanya dengan menggunakan upaya nalar dan intelektual.
Di kalangan umat Islam sendiri, terutama yang berpegang teguh pada epistemologi bayani, sering mempertanyakan keabsahan tasawuf karena dianggap terlalu liberal lantaran tak mengikuti pedoman-pedoman yang diberikan teks. Apalagi dalam tradisi sejarah pemikiran Islam, apa yang disebut intuisi, ilham, qalb, dlamir, psikognosis telah terlanjur dikembangkan atau di institusionalisasikan menjadi apa yang disebut-sebut sebagai “tarekat” dengan wirid-wirid dan satahat-satahat yang mengiringinya.
Selain itu sebagai sisi empirisitas keberagamaan Islam, tasawuf dituntut peran aktifnya secara konstruktif dan solutif, terhadap kemiskinan spiritualitas manusia modern, yang secara realitas sangat berbeda dengan setting maupun struktur masyarakat pada saat tasawuf dilahirkan.
Berbagai anomali pada sisi empirisitas keberagamaan merupakan kemestian, karena betapapun idealnya suatu konsep, pada suatu saat akan mengalami keusangan dan sampai pada batas kedaluwarsa. Dalam konteks inilah, penataan ulang terhadap metodologi pengkajian tasawuf diperlukan dalam rangka mendinamisasikan dengan realitas kekinian, sehingga mampu menjawab problem spiritualitas masyarakat modern.
Nilai Tasawuf
Menurut Comte, zaman positif sekarang ini adalah zaman ketika orang tahu bahwa tidak ada gunanya untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baik pengenalan teologis maupun pengenalan metafisis. Ia tidak lagi mau melacak hakekat yang sejati dari segala sesuatu yang berada di belakang segala sesuatu. Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan positif yang terutama dicapai melalui rekayasa teknologi menjadi semakin otonom.
Gaya hidup dan gaya berfikir manusia modern seperti sekarang telah banyak dipengaruhi olehnya. Gagasan rasionalitas dan positivistis cenderung untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang diperoleh secara refleksi, apalagi yang diperoleh melalui penghayatan iman. Adanya keterkaitan antara materi dan non-materi, antara dunia fisik dan non-fisik, antara dunia dan akhirat ditolak.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa akibat dari pandangan positivisme ini, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat dan tercipta berbagai teknologi yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Namun positivisme juga berdampak negatif bagi keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Pencipta.
Sains yang semestinya menjadi alat yang positif untuk mengungkap tanda-tanda Allah yang terdapat di alam semesta, sehingga dapat memperkuat keyakinan kita kepada-Nya, malah berbalik mengingkari keberadaan-Nya. Dengan begitu, manusia bisa kehilangan dimensi terhadap lingkungannya, maupun dimensi transendental.
Selain itu, ilmu pengetahuan yang dibangun atas dasar positivisme, memandang manusia hanya sebagai tubuh inderawi yang tak ubahnya seperti materi lain. Ilmu pengetahuan melupakan
bahwa manusia memiliki dimensi lain yang bukan berasal dari materi, yaitu ruh, sehingga sains hanya bisa memenuhi kebutuhan jasmani manusia tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan ruhani.
Akibatnya, banyak manusia yang hidup dalam lingkup peradaban modern dengan menggunakan berbagai teknologi bahkan, teknologi tinggi sebagai fasilitas hidupnya. Tetapi, dalam menempuh kehidupan, terjadi distorsi-distorsi nilai kemanusiaan dan dehumanisasi. Hal ini menyebabkan manusia modern seringkali kehilangan makna, menjadi manusia kosong yang kering dari nilai-nilai spiritual. Para sosiolog menyebut gejala ini sebagai gejala keterasingan, alienasi. Gejala ini merupakan penyakit psikologis manusia modern.
Pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan juga bisa berakibat negatif bagi kehidupan manusia. Manusia bisa berbuat apa saja dalam menguasai dan mengeksploitasi alam dan sesama manusia, tanpa ada perasaan khawatir akan mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan.
Akibatnya, manusia di zaman modern menghadapi problem moral kemanusiaan yang sangat kompleks, antara lain penjajahan yang dilakukan oleh Bangsa Barat, pelanggaran hak asasi manusia, penindasan, penyalahgunaan senjata berteknologi tinggi, diskriminasi, pelanggaran terhadap hak minoritas, penganiayaan, perpecahan antar golongan, pertentangan ras dan pertentangan antar umat beragama.
Selanjutnya: Benarkah Tasawuf Tidak Bisa… (2)