Alkisah, sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat itu saya bersama dengan guru saya dan seorang kawan lagi sedang berbincang santai tentang peta pemikiran filsafat mulai dari masa Yunani sampai masa sekarang. Bahasa-bahasa ilmiah populer pun keluar dengan spontan, tanpa sensor. Bagi saya, kamus populer sudah tidak berguna lagi. Pembahasan filsafat saat itu pun mengalir dengan santai, ringan dan mudah dimengerti.
Teramat asiknya, sehingga pembicaraan itu pun melaju tanpa kontrol. Beberapa ucapan saya dan murid guru saya tidak ada referensinya atau bahkan bisa dikatakan salah. Pada saat itu itulah guru saya mengucapkan ‘perkempol’ sambil memegang bahu kawan saya.
Saat itu juga sekaligus untuk pertama kalinya saya mendengan istilah ‘perkempol’ yang ternyata artinya adalah persatuan orang “kemeruh pol” atau perkumpulan “sok tahu”. Kata sindirin itu melontar begitu saja. Kawan saya pun menanggapinya dengan santai sambil tertawa kecil lalu nyruput kopinya yang masih panas. Saya pun ikut tertawa, meskipun dalam hati betanya-tanya apa makna dan maksudnya. Belum sempat bertanya, kata sindiran itu pun lama tidak saya dengar lagi.
Setelah guru saya mengucapkan kata sindiran itu, lalu dengan tegas dan santai dia menjelaskan peta pemikiran filsafat yang memang tidak pernah saya dapatkan di meja perkuliahan. Penjelasan itu pun menjadi referensi hidup saya saat memberikan perkuliahan pertama tatap muka dengan mahasiswa.
Bagi saya, momen itu memberikan hikmah besar untuk membaca fenomena masyarakat Indonesia sekarang. Orang-orang dengan tipe ‘perkempol’ bisa kita jumpai kapan saja dan dimana saja. Contoh paling kecil kemunculan pendakwah-pendakwah yang belum cukup mumpuni dalam bidang ilmu agama.
Hanya dengan berbekal terjemahan melalui google, mereka berani menghukumi halal, haram, baik buruk, bahka status muslim ataupun kafir yang sejatinya jauh dari makna secara kontekstual. Celakanya, banyak dari orang-orang perkempol ini menafsirkan agama berdasarkan kepentingan pribadinya.
Tidak hanya sampai di situ. Dalam konteks kenegaraan pun orang-orang perkempol banyak kita temui. Ironinya, fenomena ini juga kita temukan dalam siklus informasi penenganan pandemi Covid-19 oleh Pemerintah. Misalnya, tentang jumlah tenaga medis yang mampu menangani pasien Covid-19, jumlah pasien dan lain sebagainya.
Bahkan, sejak awal Presiden dengan mentri kesehatan pun berbeda dalam menanggapi pernyataan seputar fenomena masuknya Covid-19 di Indonesia. Melalui siaran pers, mewanti-wanti kepada jajaran menterinya untuk menyiapkan diri menghadapi pandemi Covid 19 yang melanda dunia. Pernyataan berbanding terbalik yang keluar dari Menteri Kesehatan yang menyatakan bahwa Indonesia tidak mungkin terkena Covid-19. Alasannya, karena Kota Wuhan, Cina yang menjadi pusat penyebaran Covid-19 sangat jauh dari Indonesia.
Fakta tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa pentingnya keakuratan sebuah informasi sehingga tidak menjadikan termasuk golongan “perkempol”.
Dalam konteks regulasi, mendapatkan keakuratan informasi adalah hak setiap warga negara. Pasal 4 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan konsumen berhak antara lain mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi yang sedang terjadi. Keakuratan informasi menjadi landasan untuk orang menentukan sikap atau mengambil langkah untuk bertahan hidup.
Seperti halnya tentara dalam situasi perang. Seorang tentara harus mendapatkan informasi data akurat mengenali lawan yang dihadapi. Jika tidak, maka mereka tak ubahnya seperti yang dikatakan peribahasa “rusa masuk sarang macan”. Sama saja dengan bunuh diri, Ki sanak!
Strategi tepat untuk menghindari diri dari perkempol adalah “disiplin bicara”. Artinya, membudayakan diri untuk berbicara berdasarkan referensi atau data. Dalam konteks berorganisasi, misalnya, disiplin bicara dapat dipahami suatu sikap untuk memberikan infomasi berdasarkan hasil keputusan bersama. Orang harus menahan diri untuk tidak memberikan informasi sebelum ada keputusan bersama atau penunjukkan pemberian informasi.
Menurut Imam Ghozali, manusia diciptakan lebih besar otak dari pada mulut karena manusia dituntut lebih banyak berpikir dari pada berbicara. Orang yang berbicara tanpa berpikir serius diibaratkan seperti mahluk yang tidak mempunyai akal.
Islam memerintahkan manusia untuk menjaga akal, agar tercegah dari segala bentuk penganiayaan, kerusakan, serta kejahatan, sehingga dapat merealisasikan kemaslahatan umum yang menjadi fondasi kehidupan manusia (Jauhar, 2008: 94). Tujuan ini dapat dikategorikan sebagai hifzh al-aql dalam kategori protektif.
Selain itu Islam juga menyeru agar memiliki akal yang bisa memberi petunjuk, terjaga dari kesia-siaan, memiliki kekuatan yang bisa menjaga diri dari sikap ikut-ikutan, dan lemah dalam berpendapat. Sementara konsep hifzh al-aql yang kedua ini dapat dikategorikan dalam bentuk produktif.
Imam al-Ghazali membagi kajian maqashid menjadi tiga cakupan, yakni dlaruriyyah, hajiyyah, dan tahsiniyyah. Sementara hifzh al-aql ini tergolong dalam kategori dlaruriyyah, yaitu kategori yang paling penting dan harus ada dalam mewujudkan kemaslahatan agama. Jika tidak ada, maka kemaslahatan tidak dapat berjalan dengan stabil bahkan akan rusak (Syatibi, 2005: 7).
Dalam ilmu gramatikal arab, hifzh merupakan bentuk mashdar (kata benda)–dari kata hafizha (kata kerja)–yang memiliki arti penjagaan, perlindungan, pemeliharaan, dan hafalan. Sementara kata akal (aql) sendiri merupakan mashdar (dari bentuk kata kerja ‘aqala’) yang berarti akal atau fikiran.
Selain itu kata akal juga memiliki arti ikatan/pengikat yang berarati bahwa ia bisa mengikat dan mencegah pemiliknya untuk melakukan hal-hal buruk dan kemungkaran, temasuk perkempol. Akal seperti sebuah pengikat bagi manusia untuk mencegahnya mengucapkan sesuatu sebelum dipikirkan–disiplin bicara. Wallahu a’lam… [AA]