Seperti namanya, Pak Guru Budi benar-benar menjadi teladan yang baik bagi murid-muridnya. Tidak hanya keteladanan yang ia contohkan di lingkungan sekolah. Tapi, sikapnya yang penuh keteladanan itu, juga tercermin di rumah dan di masyarakat. Karena itulah semua orang di kampung Salak mengenalinya.
Seperti biasanya, rumah Pak Guru Budi dipenuhi pemuda-pemudi kampung Salak setiap harinya. Suasana rumahnya pun ramai dengan obrolan sampai larut malam. Bahkan beberapa pemuda pun ada yang begadang sampai pagi di rumahnya.
“Kalau bukan kalian yang muda-muda ini, harus menunggu siapa lagi untuk menjadikan kampung ini menjadi lebih maju. Kalian tahu sendiri, zaman sekarang sudah jauh berbeda dengan yang dialami orang-orang tua kalian dulu. Karenanya, tantangan yang kalian hadapi di kampung Salak pun akan berbeda. Bisa jadi jauh lebih berat.”
Kompak, pemuda-pemudi itu mengangguk setuju mendengarkan wejangan dari Pak Guru Budi. Raut wajah mereka pun berubah. Mereka semua tampak memikirkan sebuah rencana besar tentang apa yang akan mereka lakukan usai pulang dari rumah Pak Guru Budi nanti.
“Zaman sekarang, dunia nyata membutuhkan seorang yang memiliki kemampuan berkarya dan berkolaborasi untuk menjadi sukses. Karena semua tantangan zaman, mutlak harus dihadapi oleh masing-masing pribadi. Jadi, berusahalah untuk selalu berkarya dan buatlah karya yang benar-benar hidup. Hidup dengan cerminan nilai-nilai kehidupan itu sendiri, karya kalian akan mampu mengubah dunia menuju peradaban yang lebih maju.”
“Apa saya boleh berkarya lewat lukisan?
Apa saya boleh berkarya lewat tulisan?
Apa saya boleh berkarya lewat musik?”
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul dengan begitu derasnya. Pak Guru Budi pun tampak hanya menorehkan senyum penuh kewibawaan mendengarkan pertanyaan-pertanyaan itu. tidak langsung menjawab semua pertanyaan itu, Pak Guru Budi hanya meminta semua yang ada di dalam rumahnya untuk bertanya.
“Jangan keras-keras ya kalau bicara! Sudah hampir tengah malam. Takut mengganggu tetangga.” Pak Guru Budi memberikan peringatan pada mereka yang mulai gaduh bertanya tentang ini dan itu.
“Berkarya dalam bentuk apa pun boleh. Asalkan kalian harus ingat jati diri kalian sebagai warga kampung Salak. Juga jati diri kalian sebagai bangsa. Dengan begitu karya-karya kalian akan tetap membumi di tanah kelahiran kalian sendiri.”
“Maksudnya bagaimana Pak?”
***
Begitulah kebiasaan pemuda-pemudi kampung Salak di malam minggu. Mereka akan menghabiskan waktu di rumah Pak Guru Budi. Sudah hampir satu tahun. Kebiasaan baru itu mereka lakukan. Awalnya Pak Guru Budi hanya mengajak beberapa orang saja untuk nonton bareng final sepak bola Liga Indonesia.
Tentunya kesukaan pada sepak bolalah yang melatar belakangi beberapa pemuda itu berkumpul. Namun akhirnya aktivitas mereka berkembang dengan diskusi-diskusi kecil. Saling tukar pendapat. Bahkan sesekali pun juga ada yang mencurahkan isi hatinya yang sedang patah hati karena cinta. Semua itu mereka lakukan penuh dengan kebahagiaan dan candaan.
Seperi malam itu, Bayu menanyakan apa maksud dari penjelasan Pak Guru Budi. Tentang karya dan hubungannya dengan jati diri.
“Buat apa kalian berkarya, kalau dari karya itu kalian justru melupakan jati diri kalian sendiri”
Malam itu ditutup oleh Pak Guru Budi dengan penuh kewibawaan. Tidak sekedar mendorong pamuda-pemudi kampung Salak untuk selalu berkarya. Tapi Pak Budi pun mencontohkannya secara langsung lewat puisi-puisinya yang selalu muncul di media-media cetak maupun daring.
“Engkau harapan bangsa,
Pundakmu harus kuat,
Pikiranmu harus cemerlang,
Dan hatimu harus bersih,
Yang tahu tentangmu adalah dirimu sendiri,
Lewat karya dan tindakan nyatamu,
Kau bisa membunuh angan kosong itu,
Kemudian mengubahnya menjadi kisah nyata.”
Diikuti riuh tepuk tangan, Pak Guru Budi pamit istirahat. Namun sudah menjadi kebiasaan para muda-mudi itu, mereka justru melanjutkan banyak hal yang belum terselesaikan.