Ada tiga judul tontonan di Indonesia yang menginspirasi terkait relasi orang tua, anak, dan pengetahuan. Pertama, film layar lebar anugerah piala Citra pemeran utama wanita terbaik, rilis film tahun 2016 yang berjudul “Ibu Maafkan Aku (IMA)”; Kedua, sinetron lepas terpuji dari Forum Film Bandung tahun 2009 berjudul “Baju Seragam Anak Pemulung (BSAP)”; dan Ketiga, film drama dengan penghargaan Festival Film Bandung untuk pemeran utama wanita terpuji film televisi, rilis film tahun 2016, berjudul “Hadiah Terindah Seorang Pemulung (HTSP)”.
Dalam pandangan saya, dari ketiga film tersebut, sekolah memang mampu mengubah pola relasi sosial generasi di lingkungannya. Sekurangnya, melalui sekolah seorang anak dikemudian hari akan memampukan diri mengangkat derajat sosial ekonomi keluarga, minimal untuk dirinya sendiri. Melalui film itu, sebagai orang tua kita diingatkan akan dua hal, yaitu akhlak anak saat berinteraksi dengan orang tua dan lingkungan keluarga yang harus mendukung siswa belajar. Jika kedua hal itu dilaksanakan oleh siswa dan keluarganya, maka tujuan pendidikan (sekolah) akan tercapai.
Sumber-sumber pengetahuan Islam, seperti Alquran, Sunnah, dan maupun khazanah turats ulama, banyak mengajarkan kepada kita tentang upaya peningkatan pengetahuan anak, baik dari yang bersifat teologis (tauhid) hingga etika (akhlak). Salah satu ajaran Islam dalam Alquran itu, misalnya, disampaikan melalui kisah Lukmanul Hakim; bagaimana kewajiban orang tua kepada anaknya, ataupun sebaliknya.
Pun dalam Sunnah Nabi Muhammad yang tidak hanya menjelaskan hal primer yang harus dipersiapkan orang tua dalam membimbing anak-anaknya, yang terkait dengan pendidikan berolah raga untuk anak juga diulas. Para Sahabat Nabi menjelaskan lebih detil lagi terkait hak pendidikan anak ini. Khazanah turats Islam pun tak ketinggalan mengajarkan kepada kita tips ideal bagaimana mengolah pendidikan etika anak sebagaimana dua buku karya Umar bin Ahmad Baraza berjudul al-Akhlāq li al-Banīn (jilid 1-3) dan al-Akhlāq li al-Banāt (jilid 1-3).
Yang menjadi pertanyaan kita di tengah suasana pandemik Covid-19, apakah sekolah sebagai “surga pengetahuan” itu akan dirindukan siswi/orang tuanya atau sebaliknya? Sama-sama diketahui, Learning from Home [LFH] memang menjadi alternatif pembelajaran di tengah suasana wabah ini, tetapi tak jarang LFH ini berimplikasi pada dilema-dilema baru. Bahwa orang tua dibuat “sibuk” terkait persiapan teknis LFH, terutama bagi siswa level PIAUD dan tingkat dasar SD/MI, memantau keseriusan anak saat bertatap muka dengan guru secara online, hingga mendamping anak-anak untuk mengirim tugas secara online.
Dapat dibayangkan, bagaimana jika orang tua atau di keluarga tidak ada yang mempunyai pengetahuan teknis memadai terkait dengan IT, maka pembelajaran dijamin sulit sempurna sebagaimana diharapkan. Belum lagi soal pembagian perangkat pembelajaran antara orang tua dan anak, karena keduanya juga harus menggunakan perangkat yang sama dalam menjalani work from home. Dilema-dilema kecil ini pasti banyak dihadapi oleh para orang tua saat mendampingi putra-putrinya.
Mempertimbangkan hal semua di atas, siswa dan orang tua tentu merindukan sekolah secara normal. Pagi mereka berangkat sekolah, lalu terdapat pembelajaran tatap muka dengan guru dan seterusnya hingga evaluasi akhir pembelajaran untuk kenaikan kelas. Kerinduan itu bukan semata-mata karena pembelajaran tatap muka guru-murid secara psikologis dapat merasuk pada hati dan pikiran siswa, tetapi juga peran orang tua yang bekerja tentu saja dapat saling menunjang dan berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing secara ideal, tidak menumpuk semuanya di rumah. Di rumah, pembelajaran guru-siswa dapat dikontrol dengan baik oleh orang tua dan itu tentu saja menjadi sisi lain positif LFH. Selama ini orang tua akan mengetahui perkembangan pengetahuan anaknya
Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H//1111 M.) dalam salah satu karyanya, al-Adab fī al-Dīn, mengingatkan kepada kita terkait adab dan relasi antara orang tua pada anak-anaknya. Menurutnya, tata krama orang tua terhadap anak itu dapat membantu anaknya untuk berbuat baik kepada orang tua; orang tua tidak dapat memaksa anaknya berbuat kebaikan melebihi kadar kemampuannya; orang tua tidak dapat memaksakan kehendak kepada anaknya pada saat susah; orang tua tidak menghalangi anaknya untuk taat kepada Allah Swt.; dan orang tua tidak membuat anaknya sengsara disebabkan tarbiyah yang salah.
Kelima hal itu penting bagi orang tua pada saat mendampingi anak-anaknya, baik di sekolah ataupun di rumah, terlebih lagi pada masa pandemi ini. Karenanya, orang tua harus membangun kesabaran dan keutunan dalam mendidik atau mendampingi anaknya. Ibarat kata, kita sedang bercermin.
Dalam kitab al-Akhlāq li al-Banīn disebutkan adab (tata krama) anak terhadap orang tuanya (adab al-walad ma’a abīhi), sekurang-kurangnya disebutkan tiga hal: pertama, seorang anak harus menuruti ayah dan ibunya, sebab tidak ada orang tua yang memerintahkan pada anaknya untuk berbuat hal-hal yang membahayakan. Perintah orang tua hanyalah untuk masa depan anaknya. Dalam film “Ibu, Maafkan Aku”, pesan itu sangat terasa sekali. Ibu yang telah ditinggal ayahnya sejak kecil, lalu membiayai sekolah kedua anaknya hingga menjadi pilot dan dokter sesuai cita-cita sang anak, tetapi anak-anaknya baru mengetahui setelah ibunya meninggal.
Adab kedua dan ketiga anak terhadap orang tuanya, terkait dengan keridaan orang tua yang menentukan rida Allah Swt. Bagi para anak, jangan lupa meminta rida orang tua di setiap pilihan-pilihan yang dilakukan. Jangan memaksakan kehendak kepada orang tua jika mereka tidak mampu. Apabila orang tua sudah rida pada anaknya, maka Allah juga akan meridainya, sehingga ilmunya bermanfaat dan bahagia di dunia dan kelak di akhirat.
Mengakhiri refleksi ini, saya mencatat dua hal. Pertama, terkait “Sekolah: Surga yang Dirindukan”, saya hanya membayangkan bagaimana jika LFH diterapkan pada anak-anak pemulung seperti dalam film “Baju Seragam Anak Pemulung”, atau keluarga yang tidak mampu menyediakan perangkat IT-nya seperti dalam film “Hadiah Terindah Seorang Pemulung”, atau orang di rumah yang tidak dapat mendampingi anaknya belajar seperti dalam film “Ibu, Maafkan Aku”? Hal serupa terkait pola relasi guru-murid, bagaimana jika tidak ada “rasa” yang keluar dari hati sanubari keduanya, atau teladan yang dipraktikkan gurunya? Mau tidak mau, sekolah itu satu-satunya tempat pembelajaran yang ideal bagi anak-anak.
Kedua, terkait dengan “Sekolah: Surga yang Tidak Dirindukan”, saya membayangkan, segala sesuatu tersedia di rumah, hanya cukup bimbingan dari guru secara virtual. Pola pendidikan demikian, memang model baru karena hal ini menjadi tuntutan di zaman global ini. Sekali lagi, model semacam itu hanya cocok pada wilayah yang tidak mementingkan “rasa” dalam relasi sosial guru murid atau sekolah-orang tua. Konsekuensi model ini berimplikasi pada hasil pengetahuan yang kering, harfiah, dan tidak ada contoh yang baik dalam perilakunya.
Baik pola sekolah tatap muka langsung atau pola LFH, masing-masing mempunyai kelemahan dan kelebihan. Karenanya, orang tua harus cermat memilih sekolah supaya tidak ada yang merasa dipaksa, terpaksa, dan teraniaya dalam menjadi pola pembelajaran. Orang tua harus ikhlas dan rida mendampingi anak dalam menjalani pola pembelajaran model apapun. Itulah pilihan yang moderat. Belajarlah dari pengalaman berharga kasus Covid-19 ini, di mana relasi orang tua, anak, dan sekolah harus benar-benar seimbang dan baik. [MZ]