Wajah Gelap Karisma: Membongkar Kepatuhan Buta Agama dalam Serial Bidaah

Di tengah banjir tontonan ringan dan serial drama yang menjual romansa klise, hadir sebuah tayangan berani berjudul Bidaah (Broken Heavens). Serial ini seketika viral bukan hanya karena alur ceritanya yang penuh ketegangan dan plot twist, tetapi karena karakter utamanya, yaitu Si Walid, seorang pemimpin ajaran spiritual yang karismatik, suci di mata pengikut, namun menyimpan sisi gelap yang mencengangkan. Serial ini tidak hanya menyuguhkan drama, tetapi juga kritik sosial yang tajam terhadap praktik penyalahgunaan simbol agama yang bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

Bidaah membuka pintu ke dunia eksklusif sebuah komunitas pseudo-religius yang terisolasi dari masyarakat umum. Walid, pemimpinnya, digambarkan sebagai sosok dengan aura agung berjubah dan bersorban, berbicara pelan namun menusuk, dan selalu menyelipkan nama Tuhan dalam setiap perintahnya. Ia tidak hanya memimpin secara spiritual, tetapi juga mengontrol urusan pribadi para pengikutnya, siapa yang boleh menikah, bagaimana cara berpakaian, bahkan apa yang boleh mereka pikirkan.

Penonton dengan cepat menyadari bahwa ini bukan sekadar komunitas religius, tetapi kultus yang menarik semua manipulasi dan eksploitasi dibungkus rapi dalam bahasa agama, keikhlasan, ketaatan, dan ujian keimanan. Di sinilah kekuatan serial ini sebagai pendobrak pada orang yang beragama; ia menyuguhkan potret realistis tentang bagaimana agama yang seharusnya membebaskan, malah justru bisa digunakan untuk menjajah batin manusia jika berada di tangan yang salah.

Karakter Walid adalah arketipe dari para pemimpin spiritual yang terlalu dipuja. Mereka tidak hanya diyakini sebagai pewaris kebenaran, tetapi sebagai kebenaran itu sendiri. Apa pun yang mereka ucapkan tidak boleh dibantah. Jika salah? Itu berarti pengikut yang belum cukup suci untuk memahami. Jika menyimpang? Itu disebut hikmah tersembunyi. Selalu ada dalih untuk menjaga keagungan mereka tetap utuh.

Fenomena ini bisa kita sebut sebagai Walidisme, sebuah bentuk feodalisme spiritual di mana posisi sang pemimpin ditempatkan jauh di atas kritik. Dalam situasi seperti ini, keagamaan bukan lagi soal mencari kebenaran, tapi soal siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran. Dan ketika kekuasaan absolut bertemu dengan simbol agama, maka lahirlah tirani yang paling sulit dilawan, yang membuat umat merasa berdosa ketika berpikir.

Mekanisme Kepatuhan: Antara Takut, Cinta, dan Ketidaktahuan

Salah satu kekuatan Bidaah adalah bagaimana ia menunjukkan bahwa kepatuhan membuta itu tidak muncul begitu saja. Ia dibangun melalui proses psikologis yang kompleks. Walid menciptakan ilusi cinta spiritual yang mengikat pengikutnya secara emosional, sekaligus menciptakan ketakutan akan kutukan, dosa, dan keterasingan dari “kebenaran”.

Para pengikutnya, yang mayoritas adalah orang-orang dengan masa lalu kelam, trauma, atau kehilangan arah, menemukan rasa aman dalam pelukan komunitas. Walid hadir sebagai “ayah rohani” yang menyembuhkan. Tapi di saat yang sama, ia memutuskan relasi mereka dengan dunia luar. Semakin dalam mereka masuk, semakin sulit keluar. Ini bukan hanya soal agama, tapi soal relasi kuasa di mana pemimpin menjadi pusat semesta, dan seluruh komunitas berputar di orbitnya.

Di sisi lain, serial ini mengangkat satu isu sensitif, yaitu agama yang digunakan sebagai kedok kekuasaan. Hal ini sangat relevan dengan berbagai kasus nyata di masyarakat, di mana tokoh agama bisa kebal dari kritik karena dianggap suci. Kita tahu, dalam banyak kasus pelecehan, kekerasan spiritual, hingga pengumpulan dana tak wajar, pelaku sering kali adalah figur yang memakai simbol-simbol religius untuk membungkam perlawanan.

Bidaah secara halus menyuarakan bahwa simbol agama bukanlah jaminan moralitas. Justru dalam banyak kasus, simbol-simbol tersebut digunakan untuk melindungi pelaku dari akuntabilitas. Ketika seseorang menolak dikritik karena merasa mewakili Tuhan, maka sesungguhnya ia sedang mencuri nama Tuhan untuk kepentingan pribadinya.

Meski banyak yang menilai Bidaah sebagai fiksi berlebihan, kenyataannya cerita semacam ini sangat dekat dengan realitas. Dari kelompok keagamaan eksklusif di perkotaan hingga komunitas pseudo-tarekat di pedesaan, praktik Walidisme bisa ditemukan. Dan celakanya, banyak yang tidak sadar sedang berada dalam kultus karena semuanya dibungkus dengan kesalehan.

Serial ini mengajak kita untuk berpikir ulang tentang batas antara spiritualitas dan penindasan. Di mana letak garisnya? Kapan cinta kepada guru berubah menjadi ketaatan buta? Kapan dakwah berubah menjadi kontrol? Dan bagaimana cara kita membedakan antara yang membimbing dan yang memanipulasi?

Yang menarik, sebagian besar penggemar Bidaah adalah generasi muda. Mereka menyambut serial ini bukan hanya karena ceritanya yang dramatis, tetapi karena kehausan akan kritik sosial yang relevan. Di tengah arus religiusitas instan yang didorong media sosial seperti TikTok, Instagram, dan X, banyak anak muda yang merasa terjebak antara ingin taat dan ingin merdeka berpikir.

Serial Bidaah, secara tidak langsung, menjadi alat edukasi emosional bahwa beragama bukan berarti berhenti berpikir. Bahwa menjadi Muslim taat tidak berarti membungkam nurani. Dan bahwa tokoh agama, seagung apa pun, tetap manusia yang bisa salah.

Bidaah (Broken Heavens) bukan hanya cerita tentang Walid. Hal ini merupakan cerita tentang kita semua yang pernah percaya membabi buta, yang pernah memuja tanpa syarat, dan yang kadang terlalu takut untuk bertanya. Ia adalah cermin dari bagian terdalam umat manusia: keinginan untuk dilindungi, namun juga potensi untuk dibelenggu. Menonton serial tersebut seharusnya membuat kita sadar bahwa menjaga kebebasan berpikir adalah bagian dari ibadah. Bahwa menolak manipulasi atas nama agama adalah jihad intelektual. Dan bahwa bertanya bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan langkah awal menuju iman yang dewasa. Karena sejatinya, iman yang kuat bukanlah iman yang tidak pernah ragu. Tapi iman yang berani mencari, walau sesekali tersesat.

3

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.