Indonesia sebagai negara yang kaya akan keberagaman budaya dan tradisi menghadapi perubahan yang signifikan dalam pola pernikahan dini yang menjadi topik menarik untuk dipelajari.
Merosotnya angka pernikahan dini di Indonesia adalah fenomena yang menarik untuk diperhatikan karena mencerminkan perubahan dalam pola dan nilai-nilai pernikahan di tengah masyarakat.
Angka perkawinan yang menurun di Indonesia mencerminkan pergeseran nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya yang telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Tradisi perkawinan di Indonesia selama bertahun-tahun telah menjadi inti dari kehidupan sosial dan keluarga.
Namun, perubahan-perubahan signifikan dalam struktur sosial, ekonomi, dan budaya telah mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap institusi perkawinan. Proses urbanisasi yang pesat telah mengubah pola hidup masyarakat.
Banyak individu, terutama di kota-kota besar, terlibat dalam gaya hidup yang lebih sibuk dan mobilitas yang tinggi. Hal ini dapat menyebabkan penundaan dalam membentuk keluarga karena fokus pada karier dan kehidupan profesional.
Tradisi keluarga besar yang dulunya kuat mulai tergantikan oleh keluarga inti yang lebih kecil. Dampaknya adalah pengalaman perkawinan yang berbeda, di mana pasangan lebih fokus pada hubungan antarpasangan dan anak-anak mereka, tanpa keterlibatan yang besar dari keluarga luas.
Biaya hidup yang semakin tinggi dan persaingan ekonomi yang ketat juga dapat menjadi faktor penundaan perkawinan. Banyak pasangan muda merasa sulit untuk memulai kehidupan rumah tangga karena tantangan finansial.
Di samping itu, peningkatan akses pendidikan tinggi telah memberikan kesempatan bagi individu, terutama perempuan, untuk mengejar pendidikan dan karier yang lebih tinggi. Prioritas pendidikan dan pencapaian karier seringkali menjadi fokus utama sebelum mempertimbangkan perkawinan.
Selain banyaknya tragedi pernikahan dini, juga tidak kalah terjadi angka perceraian yang semakin banyak. Salah satu alasan perceraian terjadi karena faktor ekonomi yang merosot, dijodohkan orang tua, dan ketidaksiapan mental anak yang menikah di usia yang masih terlalu dini.
Lensa Fenomenologi Husserl
Fenomenologi Edmund Husserl merupakan pendekatan filosofis yang mengarah pada pemahaman mendalam tentang realitas melalui pengalaman subjektif individu (Maskur et al., 2023). Husserl menekankan bahwa pengetahuan sejati tentang dunia tidak hanya bersumber dari objektivitas eksternal, tetapi juga dari kesadaran subjektif yang dipengaruhi oleh pengalaman langsung individu.
Pertama, pengalaman subjektif dalam konteks perkawinan, pendekatan fenomenologi Husserl menyoroti bagaimana individu secara pribadi mengalami dan memberi makna pada institusi perkawinan (Asih, 2014). Bagaimana pandangan dan pengalaman subjektif individu terhadap perkawinan telah berubah seiring waktu?
Kedua, pengaruh konteks sosial. Fenomenologi juga mempertimbangkan pengaruh konteks sosial dalam membentuk pengalaman individu. Perubahan besar dalam struktur sosial, seperti urbanisasi, pendidikan, dan ekonomi, dapat memengaruhi pandangan dan harapan individu terhadap perkawinan (Utomo & Sutopo, 2020).
Ketiga, konstruksi realitas. Husserl menekankan bahwa realitas tidak hanya objektif, tetapi juga terkonstruksi melalui pengalaman subjektif. Merosotnya angka perkawinan dapat dipahami sebagai hasil dari pergeseran kompleks dalam konstruksi sosial dan budaya yang mempengaruhi cara masyarakat memandang dan merasakan tentang perkawinan.
Melihat isu merosotnya angka perkawinan dari sudut pandang fenomenologi Edmund Husserl membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana individu mengalami dan memberi makna pada institusi perkawinan.
Husserl menekankan pentingnya memahami realitas melalui pengalaman subjektif individu, dan ini dapat memberikan wawasan yang berharga terkait dengan perubahan pola perkawinan di masyarakat.
Husserl menekankan bahwa realitas dipahami melalui pengalaman subjektif individu. Dalam konteks merosotnya angka perkawinan, pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami bagaimana individu secara pribadi mengalami dan mengartikan institusi perkawinan.
Pengalaman subjektif ini dipengaruhi oleh nilai-nilai, norma-norma sosial, pengalaman masa lalu, dan harapan individu terkait perkawinan. Husserl mengajarkan bahwa realitas tidak hanya ada di luar kesadaran, tetapi juga dikonstruksi melalui pengalaman subjektif.
Dalam konteks perkawinan, individu membangun makna perkawinan berdasarkan pengalaman mereka sendiri, interaksi dengan orang lain, dan pengaruh budaya dan sosial (Ramadhani, 2017).
Perubahan dalam norma-norma perkawinan dapat memengaruhi bagaimana individu mengartikan dan memahami signifikansi perkawinan dalam kehidupan mereka. Konsep epoche Husserl, yaitu penangguhan penilaian atau penafsiran sebelumnya, juga relevan dalam memahami isu merosotnya angka perkawinan.
Dengan melakukan epoche terhadap pandangan tradisional tentang perkawinan, dalam konteks yang lebih mendasar, membebaskan diri dari asumsi dan prasangka, dan memahami esensi sejati dari fenomena tersebut (Tasfiq M. S., 2021).
Meskipun Husserl menekankan pengalaman subjektif, ia juga mengakui pentingnya intersubjektivitas dan konteks sosial dalam membentuk pengalaman individu. Isu merosotnya angka perkawinan tidak hanya berkaitan dengan pengalaman individu tetapi juga dipengaruhi oleh norma-norma sosial, nilai-nilai budaya, dan tuntutan konteks sosial tempat individu hidup.
Melalui pendekatan fenomenologi Husserl, kita dapat merenungkan isu merosotnya angka perkawinan dengan lebih mendalam. Penggunaan konsep-konsep Husserl seperti pengalaman subjektif, konstruksi makna, epoche, dan intersubjektivitas dapat membantu kita memahami bagaimana perubahan dalam nilai-nilai dan norma-norma sosial memengaruhi pandangan masyarakat terhadap institusi perkawinan (Ningtias, 2022).
Hal ini dapat memberikan wawasan yang berharga dalam menangani isu sosial yang kompleks seperti merosotnya angka perkawinan, dengan fokus pada pengalaman individu dan konstruksi makna dalam masyarakat. [AR]