Abdur Rohman Dosen Pascasarjana IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk, Alumnus S3 UIN Sunan Ampel Surabaya

Makna Khusyu’ dalam Alquran

2 min read

“Siapa di kelas ini yang salatnya pernah khushū’? Tolong angkat tangan!”. Itulah pertanyaan yang saya ajukan kepada salah satu prodi di kampus IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk. Saat itu tidak ada satupun mahasiswa yang mengangkat tangan. Mereka mungkin tidak menyangka kalau saya bertanya persoalan itu, padahal mata kuliah yang saya ampu adalah bidang tafsir.

Lalu setelah tidak ada satupun jawaban dari mahasiswa, lantas saya berkata “Masak satupun tidak ada mahasiswa yang pernah khushū’ dalam salat! Terus selama ini apa yang kalian lakukan?”. Menyimak pertanyaan kedua saya ini mahasiswa menjadi lebih bingung dan saling toleh-menoleh antara yang satu dengan yang lain.

Setelah tetap tidak ada juga yang berani menjawab, lantas saya bilang “Atau jangan-jangan hanya saya yang salatnya khushū’. Sentak para mahasiswa saling bisik-bisik antara satu dengan yang lain. Bisa jadi, apa yang mereka bicarakan adalah “sombong sekali dosen ini”. Sebab, pertama kali masuk langsung menannyakan hal-hal yang sifatnya ‘ubūdiyah dan privasi antara diri seorang hamba dengan Tuhannya.

Karena kondisi saat itu sudah mulai bergeming, maka dengan nada santai saya menyatakan “Terus makna khusyu’ yang kamu pahami selama ini seperti apa? Kok tidak ada yang pernah khushū’ salatnya?” Mereka menjawab rata-rata “Fokus kepada Allah dan menghilangkan pikiran atas yang lain”. Lalu saya kejar ‘Bagaimana Anda bisa fokus kepada Allah, padahal tiada satupun di dunia ini yang menyamai-Nya?’. Karena kesulitan menjawab inilah akhirnya saya antarkan bahwa Anda harus banyak baca Alquran plus maknanya.

Artikel singkat ini akan membahas makna khushū’ dalam Alquran yang diperkuat dengan pemahaman dari para mufassir dan ahli bahasa. Kata khushū’ diambil dari bahasa Arab khasha‘a yang memiliki arti tunduk, takluk dan menyerah (al-Munawwir, 341). Sedangkan Alquran menyebutkan kata khasha‘a sebanyak 17 kali dengan segala derivasinya (al-Mu‘jam al-Mufahras Lialfāz al-Qur’ān, 233).

Baca Juga  Menyambut Ramadan dengan "Memuasakan" Ego

Salah satu ayat yang memiliki sebab turun adalah ayat kedua di dalam surah al-Mu’minūn. Ayat ini penulis pilih untuk mengantarkan pemahaman tentang makna kata khushū’ tersebut. Allah berfirman: qad aflah al-mu’minūn allazīnahum fī salātihim khāshi‘ūn (sungguh beruntung orang-orang mukmin yang salatnya khushū’).

Menurut al-Zuhailī, ayat ini turun berkenaan dengan Rasulullah saw. saat salat. Saat itu beliau salat dalam keadaan memandang ke langit, lalu Allah menurunkan ayat ini supaya menundukkan kepala (khudū’). Tafsir yang paling populer di Indonesia, Jalālayn memaknai kata khushū’ tersebut dengan mutawādi’ūn (orang-orang yang tunduk).

Kitab Tanwīr al-Miqbās menjelaskan bahwa makna ayat tersebut adalah orang yang menundukkan kepala, tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, dan tidak mengangkat tangannya ke atas. Ahli tafsir asal Spanyol, al-Qurtubī menjelaskan bahwa khushū’ di dalam salat itu adalah dengan menghadap ke tempat salat. Al-Qurtubī juga menambahkan bahwa khushū’ itu tempatnya di hati.

Apabila hati seseorang khushū’, maka anggota badannya juga khushū’ (tenang). Ibn Kathīr menambahkan beberapa penafsiran di dalam ayat ini: pertama, makna khāshi‘ūn adalah khā’ifūn sākinūn (orang-orang yang takut dan anteng/tidak bergerak-gerak). Kedua, khushū’ itu adalah tenangnya hati (khushū’ al-qalb). Ketiga, khushū’ itu tepatnya di hati, dengan memejamkan mata dan merendahkan anggota tubuh. Keempat, menundukkan pandangannya ke tempat sujud.

Dari beberapa pendapat di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa makna khushū’ bukanlah seperti asumsi orang-orang pada saat ini. Khushū’ adalah menundukkan pandangan, anggota badan (rendah hati), tidak bergerak ke kanan atau ke kiri, tidak mengangkat tangan ke atas dan memejamkan mata atau dengan mengarahkan pandangannya ke tempat sujud. Jadi, komunikasi seorang hamba dengan Allah dalam salat dapat dikatakan khusū’ apabila seseorang telah memenuhi kriteria tersebut.

Baca Juga  Lebih Takut pada Menyan daripada Tuhan

Sebab, ketika seseorang memikirkan Allah, maka sesungguhnya apa yang dia pikirkan bukan Allah karena Allah tidak ada yang menyamai (layth kamithlih shay’). Setidaknya dengan menundukkan pandangan, seseorang sudah mengamalkan hadis Nabi dari riwayat Bukhāri yang menjelaskan tentang ihsān. Nabi menjelaskan bahwa “Sembahlah Allah seperti halnya engkau melihatnya. Apabila engkau tidak dapat melihatnya, maka sesungguhnya Allah melihatmu”. [MZ]

Abdur Rohman Dosen Pascasarjana IAI Pangeran Diponegoro Nganjuk, Alumnus S3 UIN Sunan Ampel Surabaya