Saya mendapatkan Tafsir al-Bayan karangan Kiai Shodiq Hamzah Usman ini langsung dari putra beliau, Gus Shidqon (Muchammad Shidqon Prabowo). Kiai Shodiq Hamzah Usman sendiri adalah pengasuh Pesantren Asshodiqiyah, Sawah Besar, Kaligawe, Semarang. Sehari setelah Peringatan 1 Abad NU, saya ke Semarang untuk takziyah ke rumah sahabat saya, salah seorang Stafsus Menteri Agama, Wibowo Prasetyo (saya biasa memanggilnya Mas Bowo), yang tengah berduka karena wafatnya Ibunda. Allahummaghfir laha warhamha wa afiha wa’fu ‘anha.
Seperti biasanya saat di Semarang, saya ingin mencari masakan kepala ikan manyung. Di saat yang sama, saya mendapat undangan untuk mampir ke rumah Gus Shidqon, dengan iming-iming kepala ikan manyung. Motivasi jadi berlipat. Pertama ingin tabarrukan dan kedua memuasi keinginan makan kepala ikan manyung. Tapi sejujurnya saya tidak tahu, mana motivasi yang lebih kuat: pertama ataukah kedua. Pokoknya, akhirnya saya sowan ke Pesantren Asshodiqiyah.
Benar saja. Begitu masuk ke ruang tamu sang Gus, semua hidangan sudah terhampar. Masakan kepala ikan manyung segedhe bantal; toples berisi berbagai kue lezat; kopi panas kental; dan asbak yang siap menelan berpuluh-puluh puntung rokok. Betul-betul hidangan yang sempurna.
Saat perut semua orang sudah kenyang dengan kepala manyung; ngobrol panjang mulai yang berfaidah sampai nirfaidah; cangkir-cangkir kopi tinggal menyisakan lethek-nya, asbak pun sudah menelan habis berpuluh-puluh puntung rokok; saya pamit pulang dengan perasaan puas dan sedikit malu-malu. Saat mau pulang itulah saya mendapatkan hadiah Tafsir al-Bayan 30 juz lengkap. Saya menerima langsung dari tangan Gus Shidqon. Saya sungguh merasa terberkati.
***
Tafsir al-Bayan bisa dikatakan sebagai Tafsir ala Islam Nusantara dalam versi modern. Tafsir yang judul lengkapnya al-Bayan fi Ma’rifati Ma’an al-Qur’an ini merupakan karya tafsir yang menggunakan Bahasa Jawa. Tidak seperti karya-karya tafsir ulama Jawa lain, misalnya Tafsir al-Ibriz karangan Kiai Bisri Mustofa, tafsir al-Bayan sekalipun menggunakan Bahasa Jawa, namun tidak memakai huruf Arab Pegon yang selama ini menjadi karakteristik dari tulisan khas pesantren Nusantara.
Tulisan Arab Pegon adalah tulisan dengan menggunakan huruf Arab sebagai sarana untuk menulis Bahasa non-Arab. Di kalangan komunitas pesantren, Arab Pegon ini biasanya digunakan untuk memaknai kitab kuning (kitab Arab yang tidak ada syakal dan artinya). Biasanya arti sebuah teks Arab (al-Qur’an atau Hadits atau kitab kuning) ditulis menggantung di bawah teks dengan tulisan Arab Pegon. Anotasi yang ditambahkan sebagai penjelas terhadap teks Arab juga ditulis menggunakan Arab Pegon. Inilah yang kita temukan dengan Tafsir al-Ibriz.
Namun, untuk membaca Arab Pegon seseorang butuh latihan. Sehingga, tidak semua orang bisa membacanya. Mungkin karena pertimbangan ini pula, Kiai Shodiq Hamzah menulis tafsirnya dengan huruf latin. Sehingga, siapa saja bisa membaca karyanya sekalipun bukan komunitas santri yang terlatih dengan Arab Pegon.
Tafsir yang diterbitkan oleh Asnalitera ini memiliki struktur khas. Setiap surah akan didahului dengan penjelasan singkat kapan turunnya; berapa ayat, kalimat, dan hurufnya; dan mengapa sebuah surah diberi nama dengan nama tertentu. Bagian selanjutnya adalah fadhilah atau keutamaan surah tersebut. Setelah itu baru masuk ke tafsir setiap surah.
Setiap surah dibagi-bagi menjadi beberapa kelompok ayat sesuai dengan tema. Setiap kelompok ayat ini diberi judul. Misalnya, pada surah al-Mulk, Kiai Shodiq membagi enam kelompok ayat dengan judul:
- Sebagian Dalil-dalil Kekuasaane Gusti Allah (Sebagian Dalil Kekuasaan Allah)
- Wong Kafir lan Wong Maksiat Iku Disikso dening Gusti Allah (Orang Kafir dan Orang Bermaksiat Disiksa oleh Allah)
- Wong-wong Mukmin Dijanji Oleh Maghfiroh lan Wong Kafir Diweden-wedeni Maneh (Orang Mukmin Dijanjikan Mendapat Ampunan dan Orang Kafir Lagi-lagi Diancam)
- Macem-macem Pengancam lan Meden-medeni lan Nggawe Tepo Telodo Umat-umat kang Ndisik (Bermacam-macam Ancaman dan Peringatan serta Contoh dari Kejadian yang Menimpa Umat-umat Terdahulu)
- Meleh-melehake Wong Musyrik kang Podho Nyembah Braholo (Memberi Peringatan Keras kepada Orang Musyrik Penyembah Berhala)
- Wong Kafir-kafir Mekah Ndungok’ake Nabi lan Wong Mukmin Supoyo Engal-enggal Mati (Orang Kafir Mekah Mendoakan Nabi dan Orang Berimana agar Cepat Mati)
Setiap kelompok ayat ini ditulis apa adanya sebagaimana yang ada dalam al-Qur’an. Dalam arti tanpa ada arti yang diletakkan di bawah teks. Baru setelah kelompok ayat ini ditulis, di bagian berikutnya, penyusun tafsir memberi makna kata per kata yang disusun seperti sebuah kamus Arab-Jawa. Arti setiap kata ditulis menggunakan aksara latin, tapi Bahasa Jawa.
Yang membedakannya dari kamus adalah bahwa setiap kata tidak diartikan semata-mata arti katanya, tapi diartikan sepenuhnya dengan cara orang pesantren memaknai sebuah kitab Arab. Lengkap dengan posisi kata dalam struktur nahwu (grammar Arab) dan kata atau klausa atau kalimat yang dirujuk oleh dhamir (kata ganti).
Bisa dikatakan bahwa Tafsir al-Bayan adalah versi lain dari Tafsir al-Ibriz. Bedanya, artinya ditulis menggunakan huruf latin dan arti setiap kata diletakkan dalam kolom tersendiri.
Setelah mengartikan setiap kelompok ayat tersebut, pengarang membuat penjelasan makna yang terkandung dalam kelompok ayat tersebut. Bagian ini disebut “Pemahaman Ayat”. Bagian ini seperti intisari yang ada dalam kelompok ayat tersebut. Bagian ini disusun dengan menggunakan numbering system atau dot points seperti bagian kesimpulan dalam tulisan-tulisan ilmiah.
***
Jika diletakkan dalam konteks Islam Nusantara, jelas Tafsir al-Bayan adalah salah satu dari perwujudan karya ilmiah para kiai pesantren yang sejak dulu sangat produktif dalam menghasilkan berbagai karya keilmuan keislaman. Tafsir ini memang menyulitkan bagi mereka yang tidak mengerti Bahasa Jawa. Namun bagi generasi muda Muslim Jawa yang ingin memahami al-Qur’an tapi tidak bisa membaca Arab Pegon karena tidak mengenyam pendidikan pesantren, tafsir ini sangat membantu.
Akhirnya, selamat menyelami samudera al-Qur’an memalui jalan yang sudah dipetakan oleh Kiai Shodiq Hamzah Usman. Wallahu a’lam bi al-shawab!