Rizki Romdhoni Alumni S1 Akidah Filsafat , Al-Azhar Mesir

Refleksi Maqashid Syariah dan Dimensi Nomos Islam (1)

2 min read

bincangsyariah.com

Islam sebagai agama yang ‘berperadaban’ dengan berbagai macam dinamikanya, merupakan sebuah risalah Agung yang dibawa oleh baginda Muhhammad Saw. Sebagai sebuah agama, Islam ‘mengayomi’ dua dimensi sekaligus.

Pertama, esoteris—yang saya bahasakan, dengan memakai istilah para ahli fenomenolog, dengan istilah nomos—atau lebih akrab dikenal dengan istilah ‘ranah batin’. Kedua, ranah eksoterik—beberapa ahli fenomenologi membahasakannya dengan eros—atau lebih dikenal dengan istilah ‘ranah zahir’.

Dimensi, atau ranah nomos dalam agama ini terepresentasikan dalam ajaran-ajarannya yang cenderung ‘membenahi’ urusan batin, seperti akhlak, tasawuf, dan etika-etika yang terkandung dalam ajaran Islam. Adapun sisi yang satunya lagi, ranah zahir, merupakan bentuk representatif dari ajaran-ajarannya yang cenderung ‘membenahi’ urusan-urusan duniawi umat Islam.

Sesuai dengan judul yang saya tulis di atas, dalam tulisan ini, saya akan memfokuskan pembahasan hanya dalam dimensi nomos, dan bukan untuk yang satunya lagi, dimensi eros atau zahir yang terkandung dalam Islam. Namun demikian, bukan berarti dua dimensi tersebut tidak memiliki relasi sama sekali, keduanya saling berkaitan dan melengkapi satu sama lain, layaknya dua sisi mata uang.

Bagi umat beragama, peran agama sebagai marker of identity sangat penting bagi kehidupannya dalam bermasyarakat, bersosial, bahkan bernegara, hubungan horizontal antar sesama makhluk hidup. Tidak hanya sebatas hubungan vertikal antara seorang individu dengan Tuhannya.

Benar bahwa urusan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya adalah perkara individual. Kita tak perlu memamerkan ‘hubungan intim’ kita dengan Tuhan kepada orang lain. Tetapi di sisi lain, Islam menganjurkan para penganutnya agar memakmurkan bumi.

Dengan kata lain, Islam juga menganjurkan untuk bersosialisasi dan bermasyarakat, kurang lebih demikian salah satu penafsiran tokoh pemikir Mesir, Prof. Hamdi Zaqzuq, terhadap surat Hud ayat 61 dalam tulisannya yang dimuat di majalah bulanan Al-Azhar dengan tajuk “al-Tadayyun al-Manqûsh” (Krisis keberagamaan).

Baca Juga  Demokrasi dan Sayup Isu Populisme Islam: Sebuah Refleksi (2)

Beberapa problem baru akan muncul ketika nilai-nilai statis keagamaan yang terkandung dalam Islam menuai momentumnya untuk diimplementasikan ke dunia ‘luar’, realitas yang begitu kompleks dan dinamis. Di titik ini, nilai-nilai agama Islam pasti akan terejawantahkan melalui perilaku para penganut agamanya, seorang muslim.

Mau tidak mau, perilaku seorang muslim nantinya akan menjadi cerminan wajah Islam itu sendiri. Tetapi, apakah bisa dianggap cukup untuk menilai suatu agama hanya dari beberapa aktor yang berperan di dalamnya? Menurut saya sih, tidak.

Memang harus diakui bahwa di luar sana ada beberapa orang—jika enggan berkata orang awam—yang hanya menilai suatu agama hanya dari ritual-ritual dan praktik-praktik keagamaan saja (judge by cover), tanpa mau mencoba untuk menelaahnya lebih jauh dari sumber otentik agama tersebut.

Padahal, apa yang dipraktikkan oleh beberapa golongan yang mengatasnamakan muslim tidak sedikit juga yang ‘keluar jalur’ dari ajaran Islam yang sebenarnya, ajaran yang penuh toleransi dan belas kasih sayang.

Sebagai contoh, sebuah insiden yang baru saja terjadi di akhir pekan ini; aksi bom bunuh diri di Greja Kratedal Makassar, atau insiden lain yang merenggut jiwa-jiwa yang tak bersalah. Lantas, apakah alasan mereka yang melakukan itu dengan mengatasnamakan agama Islam bisa dipertanggungjawabkan?

Seandainya bisa, tentu mereka tidak akan segan untuk mendiskusikan gagasan-gagasan ideologi mereka di dalam forum-forum terbuka. Tapi faktanya, ideologi mereka sampai saat ini masih tertutup, eksklusif, dan seakan-akan ‘enggan’ untuk didiskusikan lebih jauh.

Saya akan mencoba untuk mengulas makna Islam, sebagai sebuah risalah bagi alam semesta, dari sisi termenologis terlebih dahulu. Di dalam Al-Qur’an, surat Al-Anbiya ayat 107, Allah menyatakan: Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”.

Dari ayat itu, terlihat begitu jelas bahwa tujuan Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai pembawa risalah Islam bukanlah untuk membinasakan orang-orang kafir, melainkan untuk menciptakan perdamaian. Ini bisa dibuktikan dengan beberapa sikap Nabi Saw yang toleran dan penuh kasih sayang terhadap kaum kafir Quraisy.

Baca Juga  Pribumisasi Islam Adalah Idealisme Gus Dur (2)

Dari sini juga kiranya dapat dipahami bahwa kasih sayang yang diberikan-Nya tidak semata-mata merujuk kepada agama tertentu, melainkan kepada seluruh agama yang ada di muka bumi ini. Berikut adalah uraian salah satu ulama agung dalam dunia bahasa Arab terhadap makna kata rahmat, ia merupakan penyusun ensiklopedia bahasa Arab; Lisân al-‘Arab, yang dikenal dengan nama Ibnu Manzhur.

Dalam kitabnya itu, ia mengatakan: “kata ‘Rahmat’ mengandung arti riqqah al-qalb (kepekaan hati), al-ta’âthuf (kelembutan jiwa) dan al-maghfirah (pemaafan). Ia merupakan sesuatu yang menimbulkan rasa indah, damai dan penuh kebaikan bagi yang dirahmati”. 

Selanjutnya: Refleksi Maqashid Syariah… (2)

Rizki Romdhoni Alumni S1 Akidah Filsafat , Al-Azhar Mesir