Firman Panipahan Alumnus S1 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya; Sedang Menyelesaikan S2 di Kampus yang Sama

Aktivitas Daring: Mempertegas Relasi Manusia pada Tuhan

2 min read

Manusia seperti kertas putih semenjak dia dilahirkan di dunia, begitu kiranya yang dikatakan oleh John Locke, filsuf kelahiran Inggris yang meninggal pada 1704 M. Ungkapan tersebut tentunya tidak sesederhana quote generasi milenial di stori WhatsApp-nya.

Ungkapan tersebut atau lebih tepatnya pemikiran yang dipadatkan dalam variabel kalimat sehingga menjadi teori—yang sampai hari ini masih hangat diperbincangakan dalam ranah akademik.

Sekurang-kurangnya ungkapan itu melahirkan beberapa turunan pemahaman yang bisa kita diskusikan dalam tulisan singkat ini: pertama, horizon manusia semenjak lahir dibentuk atau diwarnai oleh lingkungannya. Kedua, manusia belajar dari pengalamannya. Ketiga, manusia adalah objek-cum-subjek sekaligus.

Sejak hari pertama seluruh umat manusia yang lahir di dunia, dia akan berhadapan dengan kompleksitas kehidupan. Seperti bersinggungan dengan ekonomi, karena begitu lahir manusia akan merasa haus dan harus diberi susu dan dia juga merasa dingin maka dengan sendirinya membutuhkan pakaian. Sebagaimana kita ketahui pakaian adalah produk budaya yang artinya kita sebagai bayi langsung berhadapan dengan budaya. Lalu bertemu kemudian dengan ritual agama, seperti doa dan lain sebagainya. Setelah itu bertemu dengan politik, karena harus didata sebagai masyarakat baru dan lain sebagainya.

Kita, sebagai bayi, sejak awal telah berhadapan dengan kerumitan yang begitu luar biasa, maka di saat itu pula kita murni sebagai objek dari segala hal yang dihadapkan di depan kita. Dalam sehari-hari kita belajar budaya, bahasa, agama dan politik serta ekonomi. Sentuhan langsung itulah kemudian membentuk kita sebagai pribadi dikemudian hari. Sebagai manusia yang utuh dan dengan berbagai kerumitan dalam kehidupannya.

Dulu, saat masih bayi seseorang menggunakan bahasa alami. Ketika lapar bayi akan menangis karena tidak memimiliki kosa kata untuk berucap, atau belum memiliki kekuatan untuk berupaya. Respons seseorang yang selalu berada di samping kita selalu dianggap tepat, padahal jika dikaji secara positivistik tidak ada kolerasi antara menangis dan makan. Maka ranah ini disebut Daring (dalam jaringan), jika koneksinya terhubung maka semua akan tersampaikan dengan baik.

Baca Juga  Ngaji Ta’lim Muta’alim : Pentingnya Mencari Ilmu Pengetahuan

Kemudian saat mulai beranjak besar potensi daring ini semakin ditinggalkan oleh kita, sehingga semakin terkikislah kemampuan itu. Akibatnya, bisa kita saksikan hari ini, begitu banyak keluhan yang terjadi karena tidak mampu beraktivitas melalui daring dan selalu mempersoalkan hal-hal teknis.

Diperlukan untuk membangun kesadaran kembali bahwa setiap kita memiliki potensi daring sejak awal, tidak hanya antar-manusia bahkan melalui daring kita bisa tertemu dengan Tuhan dan bercakap-cakap dengannya.

Tapi perlu untuk diketahui juga bahwa kominikasi daring itu potensial manusia sejak lahir, di mana hal itu berbeda dengan daring teknis yang diadopsi oleh manusia ke dalam budaya kekinian. Jika daring yang dilakukan hari ini hanya sekadar mengalihkan medote luring karena sesuatu hal yang tidak memungkinkan, maka yang terjadi adalah persoalan teknis yang bermunculan dimana-mana, seperti susah sinyal, tidak memiliki paketan, mati lampu dan seterusnya.

Namun jika yang dilakukan oleh manusia hari ini adalah daring potensial alami manusia, sebagaimana yang telah penulis jabarkan di atas, maka persoalan yang muncul adalah introspeksi; bahwa sudah begitu jauh manusia meninggalkan dirinya sejak lama.

Apakah mungkin daring potensial alami itu dilakukan? Kemungkinan itu pasti ada, sebagaimana dahulu pernah terjadi; dua orang kembar yang dianggap gila karena memiliki cita-cita “bisa terbang”, namun hari ini cita-cita itu tidak segila yang menganggap mereka gila di zaman itu, karena semua terjadi dan semua berkata manusia bisa terbang.

Aktivitas daring yang dilakukan oleh sebagian besar umat manusa hari ini bukanlah sebuah temuan baru, dan bukan disebabkan oleh tuntutan zaman atau bahkan karena perkembangan teknologi. Justru aktivitas daring itu telah ada sejak manusia lahir di muka bumi.

Baca Juga  Peran Strategis Nahdlatul Ulama dalam Menjaga Kebhinekaan

Sesama manusia sering melakukan aktivitasnya secara daring seperti bahasa-bahasa cinta yang tersalurkan melalui sebuah pandang dan lain sebagainya. Tentunya juga aktivitas daring antara manusia dengan Tuhannya, karena tidak mungkin manusia mampu masuk dalam dimensi yang super kuat kecuali melalui daring. Adapun meditasi dan zikir yang dilakukan manusia hanya untuk mempertajam jaringannya menuju Tuhan.

Kunci aktivitas daring agar berjalan lancar dan supaya semua informasi tersampaikan dengan baik adalah sinyal dan kekuatan paketannya. Jika dua hal ini lemah maka hubungan yang dilakukan melalui jaringan akan sia-sia, karena terputus secara koneksi.

Aktivitas daring yang dilalukan hari ini tidak terlepas dari ide awal bahwa manusia telah memiliki potensi tersebut sejak awal, hanya saja daring hari ini dikonstruk melalui perkembangan teknologi yang mumupuni bukan dari kemampuan alami.

Editor: MZ

Firman Panipahan Alumnus S1 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya; Sedang Menyelesaikan S2 di Kampus yang Sama