Saat Perayaan Hari Guru Usai, Guru Kembali Terlupakan

Setiap tahun, tepatnya tanggal 25 November, wajah pendidikan kita seperti bercahaya, postingan ucapan terima kasih dan  video penghormatan kepada guru berseliweran di media sosial, berbgai acara dan seremonial digelar dengan penuh haru. Pada hari itu, Guru dipuji sebagai pahlawan, diberi bunga dan hadiah.

Namun, seperti euforia pada umumnya, perayaan itu cepat berakhir. Setelah tepuk tangan terakhir berhenti dan acara selesai, guru kembali pada jalan sunyinya, ruang kerja yang penuh tuntutan, tetapi miskin perhatian. Guru kembali terlupakan.

Di situlah ironinya. Guru dimuliakan dalam satu hari, tetapi dilupakan dalam tiga ratus enam puluh empat hari berikutnya. Kita sangat pandai membuat event hari guru, tetapi kerap gagal menghadirkannya dalam kebijakan yang adil dan berpihak. Padahal, yang dibutuhkan guru bukan hanya penghormatan seremonial, melainkan penghargaan yang nyata dan berkelanjutan.

Saat ini, beban yang dipikul guru semakin berat. Guru tidak lagi hanya mengajar, tetapi juga dituntut menjadi administrator, inovator, konselor, bahkan content creator. Selain itu, guru juga diminta untuk tetap sabar, adaptif, kreatif, dan inspiratif di tengah perubahan karakter anak akibat disrupsi digital.

Namun yang menyedihkan, di banyak tempat, tuntutan sebesar itu masih harus dijalani dengan kesejahteraan yang jauh dari kata layak, terutama bagi guru non-ASN. Tidak sedikit yang mengabdi belasan tahun, namun masih bergulat dengan kecemasan tentang kebutuhan hidup paling dasar.

Dalam kondisi seperti itu, kita patut bertanya, apakah perayaan hari guru 25 November benar-benar tulus, atau sekadar rutinitas tahunan yang manipulatif? Sebab, menghargai guru tidak cukup dengan bunga. Menghargai guru berarti menghadirkan penghasilan yang manusiawi, perlindungan hukum yang tegas, ruang pengembangan diri yang terbuka, serta iklim kerja yang sehat. Tanpa itu semua, perayaan Hari Guru berisiko jatuh menjadi kosmetik sosial yang indah di luar, tetapi rapuh di dalam.

Pada saat yang sama, kejujuran harus tetap disampaikan. Tidak semua problem penghargaan terhadap guru itu karena kesalahan sistem. Dunia pendidikan juga harus berani bercermin. Apakah semua yang berprofesi menjadi guru telah benar-benar menjadi “guru”? Apakah semua guru menjalankan perannya dengan tanggung jawab, integritas, dan profesionalitas?

Penghargaan yang sejati memang tidak boleh dilepaskan dari kualitas pengabdian. Guru yang layak dihargai adalah mereka yang menjaga integritas moral. Yang jujur dalam bekerja, adil dalam menilai, dan santun dalam bersikap. Mereka sadar bahwa setiap kata dan tindakannya adalah pelajaran hidup bagi peserta didiknya. Keteladanan menjadi identitas, pengetahuannya tidak hanya di atas kertas, tetapi sudah malakah dalam tindakannya

Selain itu, Guru yang layak dihargai adalah mereka yang profesional. Yang menjadikan kelas sebagai ruang belajar bersama, tidak hanya sebagai rutinitas. Mereka yang menguasai ilmunya, memperbaiki metodologinya, dan tidak berhenti belajar meski usia mengajar sudah panjang. Mereka yang tidak alergi pada perubahan, tidak gagap pada teknologi, dan tidak merasa cukup hanya dengan apa yang mereka kuasai kemarin.

Lebih dari itu, guru yang layak dihargai adalah mereka yang tidak berhenti pada aktivitas mengajar, tetapi terus berupaya mendidik. Mereka yang lebih peduli pada karakter anak dibanding nilai rapor. Mereka yang hadir bukan hanya untuk mentransfer pengetahuan, tetapi juga mentransfer nilai moral. Mereka yang mampu mengajar dengan nalar, mendidik dengan hati, dan mendoakan setiap hari.

Guru yang pantas dihormati juga adalah mereka yang menjaga ketulusan. Mereka yang mungkin tidak hidup dalam kepastian kesejahteraan, tetapi mereka tidak pernah benar-benar meninggalkan amanahnya. Ketulusan inilah yang tidak bisa diukur dengan angka, tetapi justru menjadi ruh dari pendidikan itu sendiri.

Di sisi lain, Tidak adil menuntut guru menjadi sosok sempurna sementara sistem pendidikan masih tidak merata. Negara tidak bisa menuntut totalitas tanpa adanya jaminan rasa aman dan kesejahteraan. Masyarakat tidak bisa menuntut keteladanan, jika guru sendiri harus terus hidup dalam ketidakpastian. Mutu pendidikan tidak akan pernah melebihi mutu keadilan yang kita berikan kepada para pendidiknya.

Di titik inilah, perayaan Hari Guru seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan sekadar seremoni. Setelah euforia usai, seharusnya muncul keberanian untuk membenahi kebijakan, memperbaiki sistem, dan memulihkan martabat guru secara nyata. Sebab, saya yakin, guru tidak membutuhkan sanjungan yang tinggi, tetapi kepastian hidup yang manusiawi.

Jika setelah Hari Guru berlalu kita kembali membiarkan guru berjalan sendiri dalam jalan pengabdian, maka sesungguhnya yang kita rayakan bukanlah guru, melainkan ilusi tentang kepedulian kepada guru.

Jika hal ini yang terus terjadi, maka sejatinya pendidikan kita akan berjalan di tempat. Bangsa kita akan tetap tertinggal. Saat euforia perayaan Hari Guru usai, saat itulah guru terlupakan kembali. [AA]

0

Seorang Guru yang mengabdi di Yayasan Walisongo Pecangaan, Jepara

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.