Gisella Putri Wulandari Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya

Teori Konflik Sosiologi dalam Kasus Kecurangan Pemilu 2024

2 min read

Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tentang interaksi manusia, mencakup ruang lingkup yang luas, seperti segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dalam hubungannya dengan manusia lain.

Hal ini disebabkan karena eksistensi manusia akan lebih terlihat dalam kebersamaannya dengan manusia lain atau lingkungannya, yang mana kualitas kemanusiaan lebih banyak diuji dalam interaksi dengan sesama atau lingkungan, bukan dalam kesendirian.

Pada awal terbentuknya kajian sosiologi berkembang sejak abad ke-19 di Eropa oleh Auguste Comte. Banyak pula bermunculan kemudian teori-teori yang digagas oleh para ahli, seperti teori fungsionalisme struktural, teori neofungsionalisme, teori konflik, teori interaksionisme simbolik, teori etnometodologi, dan teori fenomenologi.

Dari berbagai teori tersebut, salah satu teori yang sering kita jumpai penerapannya di masyarakat adalah teori konflik. Teori konflik itu sendiri merupakan salah satu perspektif di dalam bidang sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda di mana ada kegiatan saling menaklukkan satu sama lainnya guna memenuhi kepentingannya atau memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.

Menurut ahli, teori konflik ini sering juga disebut dengan teori sosiologi-humanis. Perkembangannya merupakan respons terhadap analisis makro bagi teori fungsionalisme struktural. Teori ini bertujuan sebagai analisis terhadap konflik masyarakat, konflik antarindividu, dan konflik kelompok.

Teori konflik sendiri lahir sebagai reaksi maupun kritik terhadap teori fungsionalisme struktural, yang dipopulerkan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Georg Simmel (1858-1918). Menurut Marx dalam teorinya, bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya, keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.

Dilanjutkan oleh pendapat Jurgen Habermas yang menyatakan bahwa konflik sendiri merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem masyarakat, dikarenakan keterkaitannya antara hubungan kekuasaan dalam sistem sosial dan sifat kekuasaan yang mendominasi. Pungkasnya, kelompok penguasa menggunakan otoritas kekuasaannya pada orang lain di luar wewenang dan kekuasannya, dan kondisi inilah yang disebut dengan dominasi.

Baca Juga  Peleburan Sekat Akademik PTKI: Refleksi Forum Tadarus Litapdimas

Akhir-akhir ini, Indonesia telah semaraknya melakukan pemilu 2024, yang mana baru kali ini Indonesia pertama kali melakukan pemilihan dua putaran untuk pemilihan capres-cawapres dikarenakan terdapatnya tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Namun, di balik semarak pemilu 2024 yang euforianya melebihi pemilu sebelumnya, ditemukan pula kasus kecurangan pada surat suara. Menurut lembaga pemantau pemilu Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, menyebutkan bahwa dugaan kecurangan dan pelanggaran yang terjadi pada pemilu 2024 lebih parah dari tahun-tahun sebelumnya.

Ditambahkan pula oleh direktur DEEP Indonesia, bahwa selain karena indikasinya terjadi di banyak provinsi, juga tak ada gerak cepat yang dilakukan Bawaslu setempat sebagai pengawas, padahal insiden kecurangan atau pelanggaran pemilu akan berdampak pada kepercayaan publik atas pelaksanaan pemilu.

Menanggapi kasus kecurangan tersebut, ketua Bawaslu, Rahmat Bagja mengatakan bahwa sejauh ini pihaknya belum menemukan adanya kecurangan pemilu yang terstruktur, sistematis dan massif (TSM), sementara itu jajarannya juga sedang mengusut dugaan kecurangan pemilu tersebut.

Namun, waktu pengusutan tersebut terbatas karena meliputi penyelidikan hingga pencarian alat bukti seperti yang tercantum pada UU Nomor 7 Tahun 2017 yang hanya memberikan waktu kepada pihak Bawaslu sebanyak 7+7 hari, ditambah penyelidikan 14 hari waktu untuk mereka (Bawaslu) mencari bukti.

Menindaklanjuti kecurangan tersebut, Ahli Sejarah Indonesia Asvi Warman Adam berpendapat bahwa rakyat Indonesia bisa membawa kecurangan Pilpres 2024 tersebut ke Pengadilan Rakyat.

Pengadilan Rakyat, menurut penjelasan beliau, dilakukan oleh pihak Indonesia yang dikenal dengan International People’s Tribunal mengenai kejahatan 1965 yang diadakan di Denhag, Belanda, pada 2015 yang disebut IPT 1965. Mendukung akan hal itu, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menjelaskan bahwa masyarakat sipil perlu mendorong pelaksanaan pengadilan rakyat agar dunia mengetahui praktik tak lazim dalam pemilu 2024.

Baca Juga  KUPI, Media dan Pengarusutamaan Narasi Perdamaian Nirkekerasan

Dilanjutkan oleh Usman yang menjelaskan bahwa pada akhirnya dugaan ini berkembang bukan sekadar pelanggaran pemilu biasa, tetapi sebuah penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah hukum demi keuntungan pribadi dari Presiden Jokowi dan penyalahgunaan atau penyelewengan konstitusi.

Ia juga mengharap bahwa Mahkamah Rakyat ini bisa segera mulai digelar sebagai preemptive justice sehingga bisa didengar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebelum mengambil keputusan. Menurutnya, hakim MK selayaknya mendengar suara civil society dan akademisi yang meragukan mutu pemilu 2024.

Dari konflik yang dialami oleh rakyat Indonesia di atas, itu menyebabkan terbaginya rakyat sipil Indonesia ke dalam tiga kubu pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden, sehingga menyebabkan pergesekan kerukunan dan perbedaan pendapat di antara masyarakatnya. [AR]

Gisella Putri Wulandari Mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya