Ateisme merupakan suatu paham yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang mencoba memberontak pada dogma-dogma yang sangat dikultuskan oleh masyarakat. Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, ateisme semakin kuat. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kaum terpelajar yang berusaha memisahkan agama dari ranah ilmu pengetahuan.
Seorang filsuf paling terkemuka yang membela ateisme adalah Friedrich Nietzsche dengan karya-karyanya yang berusaha meruntuhkan dogma-dogma agama yang selama ini dianggap sakral. Dalam salah satu karyanya yang berjudul Thus Spoke Zarathustra, Nietzsche menyinggung bahwa tuhan telah mati dikarenakan manusia telah mencapai kemajuan peradaban yang luar biasa.
Tidak hanya itu karya filsuf hebat Indonesia seperti Tan Malaka juga sering ditafsirkan demikian oleh para pembaca yang kebanyakan anak muda. Pemikiran dari filsuf yang sangat kontroversial ini terkadang diterima oleh para pemuda yang terdidik sebagai ajaran ateisme.
Berkaca dari pemikiran intelektual muda Indonesia yang sangat gandrung dengan pemikiran yang serba “kiri” mengakibatkan para intelektual yang belum matang secara keilmuan menelan mentah-mentah karya para pemikir yang dilabeli “kiri” oleh sebagian besar intelektual Indonesia. Sejenak kita perlu melihat sejarah perkembangan sejarah masuknya ateisme di Indonesia.
Benih masuknya atheisme di Indonesia pada mulanya dibawa oleh seorang pegawai jawatan kereta api yang benama Snevliet. Snevliet menanamkan paham sosialisme kepada para pekerja jawatan kereta api yang tertindas oleh pembodohan dan ketimpangan yang diberlakukan pemerintahan kolonial Hindia Belanda.
Maka, sejak Snevliet menyebarkan paham sosialisme, banyak kalangan pegawai pemerintahan kolonial yang telah memiliki pandangan bahwa salah satu upaya untuk memulai keberhasilan pembangunan adalah mengupayakan ilmu pengetahuan sebagai gerbang utama pembangunan masyarakat serta memisahkan segala kepentingan masyarakat dari agama.
Dari paham sosialisme ini terus tumbuh dan berkembang dalam dinamika pemikiran masyarakat sehingga lambat laun sosialisme menjadi suatu paham yang dinamakan komunisme. Komunisme dalam masyarakat Indonesia pada tahun 1942-1965 merupakan salah satu aliran dari “ateisme”.
Jadi, sejak awal masyarakat kita telah akrab dengan paham yang dinamakan “ateisme”. Lebih parahnya lagi, para intelektual muda kita merasa bahwa paham ateisme adalah paham yang bersifat membebaskan dari keterpurukan.
Sejarah telah mencatat bahwa ateisme, sekuat dan sekokoh apa pun, tidak akan pernah dapat menyaingi kekuatan Tuhan yang maha dahyat. Hal ini dikarenakan sehebat apa pun akal dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, dia akan hanya menjadi butiran debu dan hilang martabatnya atas dirinya sendiri dan di depan masyarakat ketika dia mengingkari agama dan Tuhan.
Memang ateisme dalam sejarahnya pernah menjadi paham yang sangat besar dan kuat, pernah dianggap benar dan sakral oleh sebagian besar negara yang termasuk Blok Timur. Namun, meskipun ateisme pernah mencengkeram, ia tidak akan pernah menang di atas bumi ini.
Beralih ke negara kita Indonesia yang dalam perkembangannya salah satu cabang dari paham ateisme menjadi sangat berkembang dengan pesat yaitu yang disebut dengan paham sosialisme dan komunisme. Yang menjadi persoalan kita selama ini adalah generasi intelektual kita mulai tertarik dengan ide-ide ateisme.
Generasi muda kita sangat gandrung dan bersemangat dalam memahami karya-karya dari Nietzsche, Mao Zedong, dan Leon Trotsky. Mereka melihat bahwa aspek-aspek ateisme dalam pandangan para filsuf hebat ini sangat membantu dalam mencapai ilmu pengetahuan yang memukau kalangan awam maupun cerdik pandai.
Memang, paham ateisme terkadang sangat menggiurkan untuk dipelajari dan diterapkan. Yang perlu diingat bahwa bangsa kita memiliki Pancasila yang menjadi nilai falsafah. Akan tetapi, generasi muda kita masih kurang teguh menghayati nilai falsafah yang terkandung dalam Pancasila.
Yang perlu ditekankan di sini adalah membangun pendidikan dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila, sosiologis, agamis, dan historis. Dengan pendidkan yang berlandaskan aspek itu, generasi intelektual yang maju dan mapan dalam berpikir akan dapat terbangun.
Jika pembangunan hanya didasarkan pada intelektualitas yang kritis dan kuat tanpa didasari nilai-nilai yang membangun kepribadian bangsa, maka ilmu yang didapatkan tidak akan pernah bisa digunakan dalam pembangunan bangsa dan negara. Apalagi negara kita masih dalam pembangunan dan sangat diperlukan para intelektual muda yang cendekia dan berwawasan Pancasilais serta setia dengan negara tempat dia hidup dan dibesarkan.
Bahkan, dalam lagu Indonesia Raya dikatakan: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia raya. Maksud tersurat dalam lagu itu adalah dalam membentuk generasi intelektual yang humanis dan nasionalis perlu diadakan pembangunan moral dan mental terlebih dahulu agar dapat menciptakan para intelektual yang matang dan berpikiran maju.
Perlu diadakannya pembentukan karakter yang Pancasilais dan nasionalis. Inilah cara yang paling tepat dalam menghadapi paham ateisme yang dapat menghancurkan atau melumat sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Para filsuf pendidikan telah sejak lama menekankan untuk membangun sendi-sendi berpikir diselaraskan dengan moral agar mencapai suatu tahap yang sangat penting dalam pembangunan kehidupan bernegara. Terdapat hal yang paling penting dalam pembangunan moral dan jiwa masyarakat, yaitu memberikan permahaman tentang arti penting Pancasila sebagai nilai-nilai berbangsa dan bernegara.
Sudah selayaknya sebagai intelektual muda harus mempelajari pemikiran apa pun. Namun, yang terpenting tetap berlandaskan nilai-nilai falsafah bangsa yang dijunjung tinggi. Dalam mempelajari pemkiran yang berhaluan “kiri” (ateisme, komunisme, dan sosialisme), perlu ditekankan nilai-nilai falsafah dasar negara kita. Dengan demikian, akan tercipta pemikiran para intelektual yang kritis dan matang serta diimbangi dengan semangant nasionalisme yang kuat dan membara. [AR]