Imam Nakhai Dosen Ma’had Aly Situbondo, Komisioner Komnas Perempuan, Ahli Ushul Fiqh

Relasi Kuasa, Persetujuan, dan Kekerasan Seksual (1)

2 min read

sumber: swararahima.com

Al Qur’an dan Sunnah Nabi banyak mengkisahkan beberapa bentuk kekerasan seksual yang terjadi di zaman Jahiliah dan memerintahkan untuk dihapuskan. Bentuk bentuk kekerasan seksual sebagaimana digambarkan Al Qur’an dan As Sunnah terjadi akibat adanya hubungan atau relasi yang timpang antara pelaku dan korban yang menyebabkan korban tidak mampu memberikan persetujuan.

Ayat An Nur 33, menggambarkan bagaimana seorang budak perempuan yang bernama Musaikah “disewakan” dan “dipaksa” untuk melakukan perzinahan dan hasil dari perbuatan itu dinikmati oleh tuannya, Abdulla bin Salul, seorang yang terkenal munafik. Suatu hari Musaikah menolak eksploitasi seksual yang dilakukan tuannya dan akhirnya Musaikah mengadukannya kepada Rasulullah. Berdasar pengaduannya itu, turunlah ayat An Nur, 33, yang menyatakan “janganlah kalian paksa budak-budak mu itu untuk melacurkan diri ketika ia sendiri telah menginginkan menjadi pribadi yang baik. Dan barang siapa memaksa mereka, maka setelah pemaksaan itu, Allah maha welas asih dan pengampun.

Ayat An Nur 33 ini menegaskan dua hal, pertama melarang pemaksaan pelacuran oleh siapapun kepada siapapun, dan kedua Allah memaafkan kepada korban pemaksaan itu. Ayat ini juga menggambarkan bahwa kekerasan seksual itu terjadi akibat adanya relasi kuasa antara tuan dan budaknya sehingga sang budak tidak dapat memiliki kebebasan untuk memilih.

Dalam Kitab Al Muwattha’ karya imam Malik bin Anas Ra, juga mengkisahkan beberapa bentuk kekerasan seksual, antara lain kisah tentang “Al Mugtashaba” artinya perempuan yang di “ghasab”. Gashab artinya penguasaan secara paksa milik orang lain tanpa persetujuan dan sepetahuannya. Perempuan yang dighasab kehormatannya, adalah perempuan yang dipaksa dan tidak memiliki kehendak bebas untuk menolak. Rasulullah membebaskan perempuan yang ghasab itu, karena Rasulullah tentu menyakini bahwa ia adalah korban. Dan disaat yang sama Rasulullah memerintahkan agar pelakunya dicari dan dihukum.

Baca Juga  Dilema Relasi Pancasila dan Agama

Di dalam kitab-kitab kaidah fiqih dan juga fiqih dikisahkan, bahwa sayyidina Umar pernah akan merajam seorang perempuan yang mengaku berzina. Namun Sayyidina Ali kemudian datang dan meminta agar Umar Ra tidak serta Merta merajamnya, sebelum ia mengetahui mengapa perempuan itu berzina. Atas dasar permintaan Aly Ra, ahirnya Umar Ra bertanya pada perempuan itu, “mengapa ia berzina”.

Maka bercerita lah perempuan itu. Suatu hari, ucapnya, kami mengadakan perjalanan panjang bersama dua rombongan besar lengkap dengan pembekalannya. Di tengah perjalanan ternyata bekal yang dibawanya habis. Akhirnya perempuan itu meminta sekantong susu pada rombongan yang lain. Ternyata rombongan yang lain tidak mau memberikannya secara cuma-cuma. Awalnya perempuan itu menolak, tetapi karena sudah pada tingkat keterpaksaan maka ia pun menyerah, memberikan tubuhnya, untuk sekantong susu.

Mendengar kisah perempuan itu, akhirnya sayyidina mencabut keputusannya dan membebaskan perempuan itu dari hukuman. Keputusan Umar Ra yang luar biasa ini tentu didasarkan karena perempuan itu dalam keadaan terdesak sehingga tidak memiliki pilihan bebas. Itulah relasi kuasa dan situasi keterdesakan sehingga menyebabkan perempuan tidak bisa memilih.

Sesungguhnya di dalam kitab kitab qawaid fiqih ketika membahas kaidah “ad dharuratu tubihu Al mahdhurat-al hajah qad tunzalu manzilata ad dharurah” banyak ditemukan kisah kisah seperti di atas.

Jika dianalisis dengan seksama, mengapa Allah, Rasulullah dan juga sayyina Umar Ra tidak menghukum perempuan yang “mukrahah ala Al bigha”, “al mugtashabah”, dan juga “al mathguthah-terdesak”? ya jawabannya karena hakikatnya mereka adalah korban? Kenapa disebut korban? Karena mereka dipaksa, digiring pada situasi terdesak sehingga tidak dapat memilih atau tidak dapat memberi persetujuan. Jadi pemaksaan dan kondisi memilih itu hakikatnya untuk membedakan apakah ia pelaku atau korban.

Baca Juga  Apakah Ekstremisme Bisa Dihentikan?

Apa bisa dipahami jika ia bisa memilih (bersetuju) berarti zina halal? Pertanyaan ini tidak akan muncul dari seorang yang belajar Islam (usul fiqih) dengan baik. Sebab hal-hal di atas tidak sedang membicarakan halal haramnya zina. Melainkan bicara soal pemaksaan, penguasaan, dan eksploitasi seksual. Beda wadah. Kecuali jika dikatakan begini “perzinahan yang haram adalah perzinahan yang dilakukan tanpa persetujuan dan pilihan”, ya maka bisa diambil mafhum mukhalafah “oh berarti jika dengan persetujuan halal dong”. Mafhum seperti ini bisa diterima. Tapi, kita tidak sedang bicara halal haramnya zina. Karena haramnya zina sudah mujma’ alaihi. Kafir orang yang menghalalkannya.

Yang dibicarakan dalam hal hal diatas adalah pemaksaan zina, penguasaan tubuh perempuan, yang menyebabkan perempuan tidak memiliki pilihan untuk menolak. Sehingga perempuan yang seperti itu tidak bisa dihukum, karena ia korban, bukan pelaku.

Dengan penjelasan ini dapat dimengerti mengapa “kata hubungan yang tidak seimbang/relasi kuasa, dan juga kehendak bebas penting dalam definisi kekerasan seksual, yaitu antara lain untuk membedakan siapa pelaku dan siapa korban.

Selanjutnya: Relasi Kuasa, Persetujuan… (2)

Imam Nakhai Dosen Ma’had Aly Situbondo, Komisioner Komnas Perempuan, Ahli Ushul Fiqh