Konteks Permasalahan
Agama apapun di dunia ini, saat ini menghadapi permasalahan yang sama yaitu wabah Virus Corona atau COVID-19. Deutche Welle Indonesia pada tanggal 18 Maret 2020 menurunkan laporan tentang Agama dan Corona. Sisi penting yang menjadi highlight adalah bahwa Covid-19 yang saat ini mewabah di seluruh dunia, memaksa komunitas agama untuk beradaptasi dan ikut mencegah eskalasi pandemi.
Saat ini keuskupan dan gereja di seluruh dunia mebatasi dan bahkan membatalkan acara keagamaan. Sinagoga di Amerika Serikat dan Eropa menutup pintu. Festival Purim umat Yahudi yang biasanya berlangsung ramai dan meriah layaknya karnaval, kali ini hanya dirayakan separuh hati. Hal serupa bisa diamati pada perayaan Holi oleh umat Hindu di India (Christoph Strack: 2020).
Masjidil Haram di Makkah dan Madinah juga ditutup, walau sekarang sudah dibuka untuk kalangan terbatas. Dewan Sentral Muslim di Jerman secara resmi mengumumkan pengurus masjid “diizinkan” untuk “membatalkan ibadah salat Jumat atau kegiatan salat berjamaah lain atas alasan pencegahan wabah atau adanya dugaan penularan virus.”
Di Indonesia sendiri, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa juga mengeluarkan aturan penyelenggaraan Ibadah dalam situasi wabah Covid-19.
Berkenaan dengan permasalahan itu penting untuk dikemukakan di sini dua hal. Pertama, tentang bagaimana ulama terdahulu menyikapi pandemi. Kedua bagaimana problematika penyikapan pandemi corona yang terjadi di lapangan saat ini.
Perspektif Ulama terdahulu dalam Menyikapi Pandemi
Untuk menjelaskan bahasan ini saya akan menganalisa karya Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar, doktor di bidang Filologi-Astronomi lulusan “Institute of Arab Research and Studies” Cairo, Mesir menerbitkan buku yang menarik berjudul Kepustakaan Medis-Pandemik Di Dunia Islam: Deskripsi dan Anotasi Singkat Manuskrip-Manuskrip Wabah, Pandemi, dan Penyakit Menular, terbit bulan April 2020. Dengan menganalisa deskripsi dan anotasi manuskrip itu dapat diklasifikasikan aneka sikap ulama terdahulu di lintasan sejarah.
Aneka Perspektif ulama dalam lintasan sejarah Islam yang dapat dipetakan ke dalam 8 perspektif penyikapan, yaitu: perspektif intellektual, akademis, rasional, scientifik; perspektif teologis, i’tiqadiyyah; perspektif syari’ah; perspektif ritual, ubudiyyah; perspektif mistik; perspektif astronomi; perspektif psikologi; dan perspektif sosial.
Pertama, perspektif intellektual, akademis, rasional, scientific. Ulama terdahulu mengedepankan respon intellektual dalam menghadapi pandemi. Wujudnya adalah pendayagunaan rasio dan akal budi dan kemudian berusaha memahamkan masyarakat dengan meproduk pengetahuan.
Tentu karena meraka ulama/intelektual muslim, maka cara mengkonstruk produk pengetahuan ini didasarkan atas ayat-ayat al-Quran dan Hadis kemudian berusaha menjabarkannya melalui pendekatan dan pendayagunaan rasio, akal budi. Seorang dokter Muslim bernama Muhammad bin Ahmad at-Tamimy al-Maqdisy (hidup di abad ke-4 H/10 M) menulis “Maddah al-Baqa’ fi Ishlah Fasad al-Hawa’ wa at-Taharruz Min Dharar al-Auba’” Buku ini membahas tentang polusi lingkungan dan udara serta pengaruhnya terhadap kesehatan dan penyakit menular.
Buku ini terhitung diantara buku tertua yang mengkaji tentang polusi lingkungan dan sebagai ensiklopedi medis dalam hal tindakan pencegahan dan etika lingkungan. Juga merupakan ekspresi etos ilmiah di zaman itu. Buku ini membahas tentang nafas atau bernafas, dan penularan penyakit dari udara. Di sini juga dikemukakan api dengan suhu panas tinggi di udara sudah cukup untuk membunuh kuman.
Ulama lain yang mengedepankan perspektif ini adalah Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqallany (w. 852 H/1448 M). Ia menulis “Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn” yang menjelaskan secara komprehensif tentang terminology dan sejarah mabda’ Tha’un, Tha’un itu ‘syahadah’ bagi umat Muslim, hukum suatu negeri yang terjadi Tha’un, tentang apa yang seharusnya dilakukan terhadap Tha’un tatkala telah mewabah, dan pada bagian akhir menjelaskan tentang pandemik Tha’un yang pernah terjadi dalam Islam.
Kedua, perspektif teologis, i’tiqadiyyah. Perspektif ini ditunjukkan dengan sikap yang mendasarkan pada aspek teologis, keyakinan, keimanan khususnya berkaitan dengan qadla’ dan qadar Allah dalam menghadapi wabah. Buku “Silk ad-Durar fī Dzikr al-Qadhā’ wa al-Qadar” karya Sidy Ahmad bin ‘Ajibah (w. 1224 H/1808 M) menunjukkan bukti historis bagaimana ulama bersikap ditengah permasalahan wabah. Buku ini ditulis ditengah terjadinya wabah Tha’un tahun 1214 H/1799 M.
Dalam uraiannya, Sidy Ahmad bin ‘Ajibah banyak mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi Saw sebagai argumen dan pisau analisisnya. Selain itu juga dia banyak mengutip pendapat para salaf salih dan ahlu sunah wa al-jamaah dari kalangan ‘Asya’irah dan sufi. Buku ini diharapkan oleh penulisnya untuk dapat menambah iman dan keyakinan terhadap qada’ dan qadar Allah, dengan tetap menggunakan sebab (ikhtiar).
Ketiga, perspektif syari’ah. Perspektif ini ditunjukkan sikap yang berpedoman kepada dimensi Syari’ah Islamiyah. Naskah yang ditulis oleh Zakariyah bin Muhammad bin Zakariya al-Anshary (w. 926 H/1519 M) berjudul “Tuhfah ar-Rāghibīn fī Bayān Amr ath-Thawāghīn” secara umum membahas tentang wabah penyakit bernama Tha’un dalam tinjauan syariat (hukum Islam).
Naskah “Hadāiq al-‘Uyūn al-Bāshirah fī Akhbār Ahwāl ath-Thā’ūn wa al-Ākhirah” ditulis oleh Burhan ad-Din Ibrahim bin Abi Bakr bin Ismail al-Hanbaly (w.1094 H/1682 M) juga memberi gambaran tentang aspek-aspek syar’i tentang wabah bernama Tha’un dan penyakit secara umum, seperti terminologi Tha’un, sebab-sebab terjadinya wabah pandemi menurut syariat dan medis, tentang penularan penyakit (Tha’un), dan lain-lain.
Keempat, perspektif ritual, ubudiyyah. Pada perspektif ini orang mengedepankan praktek praktik peribadatan dan doa yang diharapkan dapat berujung pada meredanya wabah. Penyikapan secara ritual ditunjukkan oleh ulama yang dapat dilacak dari karya mereka, diantaranya: (1) Muhammad bin Abdillah bin al-Khathib (w. 776 H/1374 M) menulis Muqni’ah as-Sā’il ‘an al-Maradh al-Hā’il di bagian akhir naskah ini, Ibn al-Khathib menampilkan doa-doa istigasah guna terhindar dari wabah. (2) Zain ad-Din bin al-Wardy (w. 749 H/1348 M) menulis Risālah an-Nabā ‘an al-Wabā ditengah terjadinya penyakit Tha’un di berbagai tempat di dunia, diantaranya di Aleppo tahun 749 H/1348 M yang mana wabah ini sempat merenggut nyawanya.
Pada bagian akhir bukuk ini Ibn al-Wardy menggambarkan hikmah wabah, yaitu kembali kepada Allah dengan bertaubat, memperbaiki amal ibadah, menahan syahwat, beramal salih. Ibn al-Wardy menulis doa-doa (munajat) kepada Allah kiranya wabah ini segera berlalu, lalu memohon syafaat dari Nabi Saw. (3) Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqallany (w. 852 H/1448 M) berjudul “Badzl al-Mā’un fī Fadhl ath-Thā’ūn” Pada Bab II fasal (8) disebut tetang doa-doa (zikir) yang akan menjaga dari tipu daya Jin, lalu penjelasan dari ayat-ayat Alquran, dan doa-doa Nabi saw.