Tiga tahun lalu (April 2017), lima bulan sebelum meninggalnya ibu saya, ada kesempatan yang sangat langka, yaitu makan malam bersama. Hal ini disebabkan disamping karena kesibukan juga karena jarak kediaman saya dan rumah ibu yang perlu 5 sampai 6 perjalanan menggunakan mobil. Karena langka, maka saya sempat menuliskan catatan pada dinding Facebook saya sebagaimana narasi paragraf-paragraf berikut ini.:
Sudah lama saya tidak berkesempatan bersama ibu untuk makan dalam satu meja. Alhamdulillah minggu 30 April 2017 dapat duduk semeja, makan malam bersama di rumah orang tua. Sambil mengenang masa-masa sulit dekade 70an saat masih kecil.
Dulu, makan nasi putih merupakan kemewahan. “Sego Beras” itu bagaikan bintang-bintang yang menghiasi “Sego Thiwul” sebagai campuran, sehingga terlihat seperti taburan bintang di langit yang menghiasi di tengah dominasi kegelapan malam.
Kondisi saat itu memang memaksa keluarga kami yang berada di salah satu kampung Gandu-Mlarak- kabupaten Ponorogo, untuk hanya bisa memakan sajian pokok itu. Dengan lauk “jangan tempe, tahu, bercampur tholo” merupakan kebiasaan sehari-hari. Sesekali ada iwak teri atau klothok sebagai penggugah selera. Saat ini justru makanan seperti ini sebagai kemewahan yang jarang ditemui.
Selamat makan “mbok….” (panggilan asli saya kepada ibu). Gutten Appetit.. Ucapku walau Ibu tidak mengerti apa arti ucapan berbahasa Jerman itu.
Engkau telah berhasil mengantarkan anakmu memahami bahasa Jerman dan menempuh pendidikan sampai jenjang Doktor di Institut für Islamwissenschaft Freie Universität (FU) Berlin, Jerman. Dengan doa dan kesederhanaan yang engkau tanamkan saat kecil, engkau telah mengantarkan anakmu ke Jenjang pendidikan tertinggi.
****
Pelajaran menarik dari unggahan Facebook di atas adalah bahwa masing-masing kurun waktu dan dekade itu mempunyai kekhasan sejarah dan pencapaian pada aspek-aspek tertentu. Dulu, di dekade 70-an masih diwarnai dengan kondisi kesulitan di bidang pangan.
Padi baru bisa dipanen setelah 6 bulan tanam. Upaya pembangunan di bidang pangan baru dimulai oleh Orde Baru. Padi varitas unggul, yang waktu panennya lebih pendek dan masih sedang dalam tahap penelitian. Sehingga ketercukupan pangan dari jenis padi-padian belumlah dapat dipenuhi. Oleh karena itu, masyarakat berusaha untuk mendapatkan sumber makanan pokok dari jenis yang lain.
Pada dekade 80-an pembangunan di bidang pangan ini mulai dapat dirasakan, usia tanam padi hanya memerlukan 3 bulan, sehingga petani dapat memanen 2 kali dalam 6 bulan. Produktifitas di bidang pertanian semakin meningkat. Hingga pada akhir dekade 80an Pemerintah telah dapat melaksanakan swasembada pangan. Bahkan di dekade awal 90an Indonesia telah mengekspor bahan pangan.
Dibalik dari kondisi kesulitan pangan pada masa awal saya tumbuh kembang di tahun 70-an, terdapat pelajaran menarik untuk dapat diaktualisasikan, yaitu nilai kesederhanaan dan menerima kondisi sesuai dengan kemampuan. Adanya “sego thiwul” merupakan bentuk kesederhanaan yang tentu saja tidak hanya dikonsumsi, tetapi juga dinikmati. Namun begitu kondisi itu telah menghasilkan peluang besar untuk kreatif menata sumber pangan dengan cara mencampur “sego thiwul” dengan “sego beras”.
Nah, kreatifitas itu datang dari sosok Ibu, sosok yang mempunyai peran begitu penting dalam mengatur dan menjaga agar dapur tetap “ngebul”. Ibu bertanggung jawab dengan kondisi yang dihadapi untuk tetap dapat menjaga tumbuh kembang seorang anak.
Kalaupun toh secara nutrisi kebutuhan akan pangan mengalami keterbatasan, maka justru inilah saat yang tepat untuk menanamkan nilai “tirakat”. Menjaga perut tetap terisi, namun tidak secara maksimal, dan justru kondisi seperti ini yang secara psikis akan dapat dimaksimalkan untuk berkonsentrasi, tidak ngantuk karena kekenyangan; seraya tetap berusaha secara non fisik dengan memperbanyak doa dan tawakkal agar kondisi keterbatasan dan kekurangan dapat berubah menjadi lebih baik.
Sehingga, momen pendekatan diri dengan Tuhan, karena kondisi kekurangan ini dapat memberikan pengalaman belajar bagi anak, motivasi dan nilai tersendiri.
Modal fisik, psikis dan nilai-nilai mental spiritual inilah yang sangat diperlukan untuk dapat survive dalam menghadapi berbagai keterbatasan. Modal itu sangat penting untuk ditanamkan dalam pendidikan di keluarga oleh seorang Ibu.
Saya sangat bersyukur berada dalam kondisi seperti itu, dididik dan dibesarkan oleh seorang Ibu yang tangguh. Bukan berarti mengabaikan sosok seorang Ayah, tetapi karena keadaan pula saya sudah tidak berkesempatan dibesarkan bersama sosok ayah sejak usia 7 tahun. Sehingga bertahun-tahun dalam perjalanan hidup ini, ibulah yang paling berperan.
Dalam kondisi Pandemi COVID 19 saat ini keadaan juga memaksa kita untuk menghadapi pembatasan-pembatasan. Sehingga kita terpaksa tinggal di rumah saja, belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan beribadah di rumah.
Kondisi ini menuntut sosok Ibu untuk berperan banyak didalam proses pendidikan anak. Ibu dituntut untuk kreatif menyediakan asupan gizi yang memadai bagi anak, mendampingi anak belajar dan menanamkan nilai-nilai “tirakat”, kreatifitas dan semangat dalam belajar Anak. Semoga pandemi segera berlalu. Selamat Hari Pendidikan! Jangan lupa berterima kasih kepada Ibu! (HM)