Di dunia pesantren, nama Syaikh Nawawi Al-Bantani cukup familiar. Beberapa kitabnya dibaca, dikaji, dan dirujuk. Tafsir Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an al-Majid alias Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil, telah melambungkan namanya, meski sebagai ulama lokal (Jawa/Nusantara) namun bertaraf internasional.
Saya pertama kali mengenal sosok ini dari suatu jarak yang teramat jauh. Jarak yang membuat saya mustahil menemuinya, apalagi menyentuh fisiknya secara langsung. Karena memang, beliau sudah wafat pada 1897 lalu. Saya mulai mengenalnya melalui beberapa karyanya dan sejumlah literatur pendukung yang bercerita tentang dirinya. Kita doakan, semoga almarhum ditempatkan di sisi Allah SWT. Amin ya Rabb ‘Alamin!
Saat saya memutuskan menulis tokoh ini, imajinasi saya langsung tertuju pada Snouck Hurgronje. Di dunia akademik, dia dianggap paling otoritatif bicara mengenai putra Banten ini. Terutama terkait kegiatan ilmiahnya di Mekah. Perlu enam bulan lamanya Snouck Hurgronje memata-matai kegiatan Syaikh Nawawi di Mekah. Dan karena itu hampir dipastikan semua penulis mengenai ulama ini mendasarkan datanya pada laporan Snouck Hurgronje.
Jika saya boleh menyebut—tentu hanya sebagian nama saja. Adalah Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessan, dan Azyumardi Azra; mereka tidak dapat menghindar dari deskripsi Snouck Hurgronje tatkala menulis tentang Syaikh Nawawi. Demikianlah watak ilmiah yang mensyaratkan rujukan utamanya pada kesaksian peneliti; Snouck Hurgronje.
Konteks Historis
Syaikh Nawawi memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad Nawawi ibn Umar Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Disebut Al-Bantani karena dia berasal dari Banten. Sedangkan Al-Jawi merujuk muasalnya yang Jawah, sebutan untuk para pendatang Nusantara bahkan Asia Tenggara di Mekah. Kala itu belum ada nama Indonesia melainkan Jawah atau Jawa.
Syaikh Nawawi lahir dari pasangan K.H. Umar bin ‘Arabi dan Nyai Zubaidah, di Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Wafat pada 25 Syawal 1314 H/1897 M. Dan dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, istri terkasih Nabi Muhammad Saw.
Untuk menghormati perjuangan dan kontribusi Syaikh Nawawi dalam khazanah keilmuan Islam, masyarakat Tanara, Tirtayasa, Banten setiap tahunnya di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal menggelar acara haul bersama. Ribuan santri dari berbagai daerah datang mendoakan almarhum.
Ditinjau dari silsilahnya, Syaikh Nawawi merupakan keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), yaitu keturunan dari putera Maulana Hasanuddin (Sultan Banten Pertama) yang bernama Pangeran Suryararas (Tajul Arsy).
Nasabnya dari garis ayah tersambung sampai Nabi Muhammad Saw melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra. Sementara dari garis ibu jika dirunut terus akan sampai pada para bangsawan Kesultanan Banten dan Sunan Gunung Jati.
Di dunia kepengarangan, Syaikh Nawawi sangat mumpuni dalam tafsir. Kedalaman pemahamannya dalam ilmu ini dapat dibuktikan melalui karya fenomenalnya, Marah al-Labid li Kasyfi Ma’na Qur’an al-Majid alias Tafsir al-Munir li Ma’alim at-Tanzil. Dan karena kitab inilah dia dijuluki “Sayyid Ulama Al-Hijaz” yang berarti “Penghulu Ulama Hijaz”. Sebuah gelar yang pantas disematkan kepadanya.
Setahu saya, hingga kini Al-Munir masih menjadi rujukan penting dalam studi tafsir di Universitas al-Azhar, Kairo. Sesuatu yang jarang terjadi ada karya anak bangsa dikaji di negeri orang. Apalagi Mesir, pusat perdaban dan ilmu pengetahuan Islam dulu dan kini. Sungguh sangat membanggakan kita semua.
Selain mahir dalam ilmu tafsir, Syaikh Nawawi juga mempuni dalam ilmu fikih, hadis, tasawuf, akhlak, dan tauhid. Tak heran bila Louis Ma’luf mengabadikan nama Syaikh Nawawi dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wal ‘Ulum. Sebuah kamus berukuran tebal, yang oleh kalangan santri dijadikan rujukan untuk mencari kosa kata bahasa Arab.
Di usia 5 tahun, Syaikh Nawawi mendapat bimbingan dan pengajaran dari ayahnya ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Setelah kurang lebih 3 tahun lamanya menimba ilmu agama pada sang ayah, Nawawi kecil bersama dua saudaranya, Tamim dan Ahmad, belajar pada Haji Sahal, seorang guru ternama di Banten kala itu. Setelah itu, Syaikh Nawawi nyantri di Purwakarta, Jawa Barat, pada Kiai Yusuf.
Di usia 15 tahun, dua tahun setelah ayahnya wafat, Syaikh Nawawi pergi haji untuk pertama kalinya. Di sana ia tinggal selama kurang lebih 3 tahun. Setelah itu Syaikh Nawawi pulang ke Banten. Tidak lama kemudian, ia kembali lagi ke Mekah dan tinggal di sana untuk selama-lamanya.
C. Brockelmann mengungkapkan, Syaikh Nawawi kembali ke Mekah lantaran tidak betah tinggal di tanah kelahirannya karena sering mendapat tekanan dari pemerintah Belanda agar tidak memberikan pengajaran agama pada masyarakat.
Di Mekah, sebelum ia menjadi seorang alim, ia telah belajar kepada sejumlah ulama terkenal di Haramain, di antaranya pada Syaikh Ahmad Al-Nahrawi, Syaikh Sayyid Ahmad Al-Dimyati, Syaikh Sayyid Ahmad Dahlan, dan Syaikh Muhammad Khatib Al-Hambali (Azyumardi, Jaringan Ulama, 2007).
Selanjutnya: Syaikh Nawawi Al-Bantani… (2)