Achmad Asrori al-Ishaqi dilahirkan di lingkungan pondok pesantren Darul-‘Ubudiyah Raudlatul-Muta’allimin Jatipurwo Surabaya Jawa Timur, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 1950. Ayah sekaligus guru mursyidnya bernama KH. Muhammad Usman b. Nadi, dan ibunya Hj. Siti Qomariyah Bint Munaji.
Beliau adalah putra ketujuh dari sebelas bersaudara sekandung, yaitu Nyai Hj. ‘Afifah, Syamsul, KH. Fathul Arifin, Mukhlis, KH. Minanun Rahman, KH. Achmad Qamarul Anam, Nyai Hj. Luthfiyyah, KH. Achmad Ansharullah, Nyai Hj. Zakiyyat al-Miskiyyah, Nyai Hj. Juwairiyyah.
Sedangkan saudara seayah dari Nyai Khafifah Bint Imam Rusydi ada empat, yaitu KH. Achmad Tajul Mufakhir, KH. Achmad Fakhrul ‘Alam, Nyai. Hj. Faihat al-Miskiyyah (Nyai Mimik), dan Nyai Hj. Cahyowati (Nyai Titik).
Pada tahun 2007, Kiai Asrori diuji sakit parah. Hikmah di balik ujian tersebut, waktunya lebih banyak menata sistem pendidikan Pondok al-Fithrah dan menyelesaikan mahakaryanya, al-Muntakhabāt sebanyak lima jilid.
Kiai Asrori menyampaikan kepada penulis, bahwa ilmu seseorang akan menyumber dan mengalir jika diamalkan dan ketika belajar maupun menulis tidak mempunyai interest pribadi, akan tetapi didorong untuk melayani ilmu itu sendiri dan kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat.
Oleh karenanya, ia berkeinginan untuk mengembangkan dan memperluas kajian dan pembahasan al-Muntakhabāt. Akan tetapi, ketika Habib Umar b. Hamid b. Abdul Hādi al-Jīlānī menghaturkan kepadanya kitab tafsir karya Syaikh Abdul Qādir al-Jīlānī sebanyak enam jilid, serya berkata: “Syaikh Achmad Asrori al-Ishaqi, saya tidak akan membaca kitab Tafsir al-Jīlānī sebelum engkau membacanya”. Melihat Tafsir al-Jīlānī enam jilid, maka Kiai Asrori ketika memberikan naskah tambahan al-Muntakhabāt, seraya menyampaikan kepada penulis, bahwa kitab al-Muntakhabāt cukup sampai jilid lima, dan ini adalah tambahan naskah yang terakhir”.
Meskipun sakit Kiai Asrori semakin parah, ia tetap menghadiri dan memimpim majelis-majelis yang diadakan oleh Jama’ah al-Khidmah. Bahkan di hari Jumat lima hari sebelum meninggal, ia dan rombongan telah menyiapkan tiket pesawat untuk menghadiri Majelis zikir, Maulid al-Rasul dan Manaqib di Masjid al-Tin Taman Mini Indonesia Indah yang diselenggarakan oleh Rahmad Gobel bekerjasama dengan al-Khidmah Jakarta. Namun, karena sakit semakin parah sehingga beliau dengan berat tidak menghadirinya.
Dalam majelis-majelis terakhir, Kiai Asrori sudah mengisyaratkan akan kedekatan ajalnya, berupa mengulang-ulang tambahan doa yang tidak biasa dibaca, yaitu doa Rasulullah yang terakhir, Allāhumma al-Rafīq al-A‘lā”—Ya Allah, kumpulkanlah kami bersama dengan perkumpulan yang luhur, para Rasul, Nabi, syuhadā’ dan al-sālihīn. Selasa dini hari, tepatnya 27 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 M. dalam usia 59, Kiai Asrori dipanggil oleh Allah.
Kitab al-Muntakhabāt
Suatu penamaan tentu selalu berkaitan dengan harapan luhur dan cita-cita yang mulia dari pencetusnya. Pun dengan al-Muntakhabāt karya monumental Kiai Asrori. Lafal al-muntakhabāt adalah bentuk plural al-muannath al-salīm dari al-muntakhab yang mempunyai arti al-mukhtār atau yang terpilih. Artinya, metode penulisan Kiai Asrori dalam karya tersebut adalah intertekstual dan intratekstual, yaitu mengomunikasikan antar-ayat al-Qur’ān, hadis-hadis dan pendapat ulama, baik dari ulama tafsir, ulama hadis, ulama tasawuf dan yang lain, kemudian diuntai dan dirangkai menjadi satu kesatuan laksana untaian mutiara. Meskipun Kiai Asrori tidak sedikit melakukan penafsiran, komentar, pandangan dan penarjihan dengan pernyataannya “qultu” atau “aqūl”.
Baca Juga: Kitab Basyāir Al-Ikhwān: Risalah Tentang Tasawuf-Tarekat Pertama Karya KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi
Hal ini sebagaimana dinyatakan Kiai Asrori dalam pengantar kitab:
Inilah . . . kitab al-Muntakhabāt fī Rābitat al-Qalbīyah wa Silat al-Rūhīyah yang diolah dan disusun dengan pola dan sistematika yang inovatif. Dalam sistematika penyusunan terkadang kami sajikan dua ungkapan ulama dalam satu sajian, karena adanya keserasian, sehingga seolah-olah itu merupakan ungkapan salah seorang dari mereka. Terkadang kami juga menyajikan ungkapan-ungkapan dengan tanpa disandarkan kepada nara sumbernya, untuk alasan kerapian. Akan tetapi—in shā Allah—akan kami tunjukkan dalam catatan kaki (footnote) atau dalam daftar pustaka, sebab kami takut tergolong orang-orang yang menyadur ungkapan orang lain dengan tanpa bersandar kepadanya. Mereka itulah para peng-ghasab dan pencuri yang tidak bertanggung jawab, itulah perbuatan yang sangat keji. [al-Muntakhabāt, Vol. 1]
Ini adalah uswah baik Kiai Asrori agar seseorang berpikir dan bersikap jujur dan objektif, tidak gengsi untuk menyebutkan bahan ilmu dan pengetahuan yang ia raih. Dalam hal ini setidaknya ada dua alasan.
Pertama, karena pengetahuan dan ilmu seseorang tidak lahir secara tiba-tiba, melainkan terpengaruh oleh lingkungan yang mengelilinginya, termasuk pengetahuan dan ilmu ulama yang terdahulu. Latar belakang ini yang sering disampaikan oleh al-Ishāqī kepada peneliti, sehingga dipilihlah penamaan al-Muntakhabāt, dan disandarkanlah objek informasi pada ulama yang mengatakannya. Kedua, seorang peneliti boleh salah dalam kesimpulan, tetapi tidak boleh berdusta.
Sedangkan nama fī Rābitat al-Qalbīyah wa Silat al-Rūhīyah bermakna “dalam jalinan hati dan ikatan rohani”, ini mengisyaratkan pada hakikat atau aspek ontologis tasawuf yang dibangun oleh Kiai Asrori melalui jalinan hati dan ikatan rohani bersama Rasulullah, sebab tasawuf dibangun berasaskan adab yang sempurna dan akhlak mulia.
Pada setiap waktu terdapat adab, pada setiap perilaku batin terdapat adab, dan pada setiap maqām terdapat adab [al-Muntakhabāt, Vol. 4, 7.].
Allah telah membimbing lahiriah Rasulillah dengan adab ‘ubūdīyah, dan membersihkan batinnya dengan akhlak ketuhanan yang mulia. Ketika Allah menghendaki Muhammad sebagai seorang Rasulullah, maka bentuk lahir ‘ubudīyah-nya sebagai cermin bagi alam semesta.
Hubungan hati dan jalinan rohani sahabat dengan hati dan rohani Rasulullah yang dilandasi dengan rasa cinta, rindu dan kesempurnaan ittibā’—menurut Kiai Asrori—disebut dengan rābitat al-qalbīyah wa silat al-rūhīyah. Demikian juga, ikatan hati dan jalinan rohani tabiin dengan hati dan rohani para sahabat, dan seterusnya [al-Ishaqi, al-Bāqiyāt, 83].
Baca juga: Al-Muntakhabāt: Mahakarya KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi [Bag 2]
Jalinan dan ikatan tersebut dapat disebut dengan al-mahabbah al-rūhānīyah al-dīnīyah, karena titik sentral yang mempertemukan, mengikat, dan menjalin antara hati al-muhibb (pecinta) dan al-mahbūb (yang dicinta) adalah cinta yang bernuansa agama. Juga dapat disebut dengan al-nisbah, karena terbentuknya genealogi rohaniah [Ibid].
Rābitat al-qalbīyah wa silat al-rūhīyah laksana jaringan saluran listrik dari gardu satu ke gardu berikutnya sampai pada pusat pembangkit listrik. Hal ini sebagaimana dijelaskan al-Ghazālī, bahwa mencintai Rasulullah termasuk perilaku terpuji, karena mencintai Rasulullah adalah esensi mencintai Allah. Demikian juga mencintai para pewaris Rasulullah, ulama, orang-orang yang bertakwa, hamba-hamba Allah yang saleh, sebab dicintai orang yang dicintai Allah adalah dicintai Allah, pesuruh orang yang dicintai Allah adalah dicintai Allah, dan mencintai orang yang dicintai Allah adalah dicintai Allah. [MZ]
–Bersambung–
Baca juga: Al-Muntakhabāt: Mahakarya KH. Achmad Asrori Al-Ishaqi [Bag 3-Habis]