Jamal al-Banna [1920-2013] adalah adik kandung Hasan al-Banna [1906-1949], pendiri gerakan al-Ikhwān al-Muslimūn atau Ikhwanul Muslimin [IM]. Pengaruh persaudaraan antara Jamal al-Banna dengan Hasan al-Banna serta jam‘īyah yang didirikannya, IM, tak bisa dipungkiri juga banyak mempengaruhi dialektika pemikiran Jamal. Perbedaan umur 14 tahun di antara keduanya tidak menghalangi mereka untuk selalu berdialog.
Jamal menceritakan hubungan antara dirinya dengan Hasan layaknya hubungan kakak-adik biasa. Hasan sangat menyayangi adik-adiknya. Di luar hubungan persaudaraan yang terjalin, pola interaksi keduanya sangat dinamis. Mereka bukanlah dua sisi kepribadian yang harus dicari perbedaan maupun persamaannya, karena keduanya sama-sama concern mengkaji ilmu-ilmu agama.
Jamal tak segan memuji Hasan yang semenjak kecil terlihat sebagai orator ulung. Hal inilah yang membedakan antara Hasan dan Jamal: jika Hasan mampu beradaptasi dengan pola hidup di kota dan cakap di lapangan karena keleluasaan masa kecil Hasan di desa yang mudah memahami lingkungan sekitar dan mudah bergaul dengan teman sebaya, maka apa yang dialami oleh Jamal kecil sangatlah kontras—ia sulit beradaptasi dengan pola hidup urban, karena ia sesungguhnya lebih menyukai hidup di desa.
Bagi Jamal, keuletan Hasan tersebut berimplikasi kepada karakter Hasan yang cakap dalam mengorganisir kelompok IM. Hanya dalam kurun waktu 20 tahun, mulai dari tahun 1928-1948, anggota Ikhwan yang awalnya beranggotakan enam orang lokal menjadi setengah juta anggota yang tersebar di dunia.
Menurut Jamal, kesuksesan Hasan tersebut disebabkan dua hal. Pertama, ia sanggup membentuk misi keislaman sebagai worldview bagi setiap anggotanya. Kedua, ia menempatkan Islam sebagai metode kehidupan [al-Islām ka-manhaj hayāt], yakni dengan menjadikan Islam sebagai kekuatan terpenting dalam pembentukan masyarakat. Oleh Hasan, Islam dihadirkan secara sederhana. Hal itu dibuktikan dari dua risalah penting karya Hasan al-Banna: Risālah al-Ta‘ālīm dan Mushkilatunā al-Siyasīyah fī Daw’i al-Nizām al-Islāmī.
Lebih jauh Jamal menjelaskan, walaupun Hasan al-Banna menyuarakan dengan lantang slogan Islam sebagai agama dan negara, namun Hasan menolak dengan tegas prinsip otoritas ketuhanan [al-hākimīyah al-ilahīyah] dalam sebuah negara. Hasan menekankan pentingnya mengaplikasikan “Islam sebagai metode kehidupan” dari individu, keluarga, dan kemudian masyarakat. Apabila prinsip-prinsip tersebut sanggup diemban oleh setiap individu masyarakat, maka pemberlakuan syariat bisa diaplikasikan dalam sebuah Negara [Jamal al-Banna, Tajdīd al-Islām, 87-88.].
Ketika Jamal ditangkap oleh pemerintah Mesir karena selebaran mengenai perlawanan terhadap koloni Inggris di Alexanderia, Hasan mengirim utusannya ke polisi untuk membebaskannya. Kemudian Hasan mengatakan kepada Jamal “Kamu bekerja pada ‘lahan kosong’, banyak hambatan, sedangkan kita [organisasi IM] mempunyai “kebun” yang memiliki banyak ‘pohon subur’ yang setiap saat bisa dipetik hasilnya”. Seketika itu Jamal menjawab bahwa “buah-buahan” milik IM sama sekali tidak menarik minatnya.
Jamal pun sering mengkritisi ide-ide Hasan dengan IM-nya, terutama mengenai tema politik dan emansipasi wanita. Hasan biasanya hanya tersenyum tanpa mau mengomentari kritik adiknya. Walaupun begitu, Hasan berusaha menunjukkan sikapnya sebagai seorang kakak yang baik, yaitu dengan mempekerjakannya di penerbitan milik IM.
Bagi Jamal, walaupun Hasan al-Banna tidak pernah mengenyam pendidikan di al-Azhar, melainkan di Universitas Dar al-Ulum, tetapi ia adalah sosok yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan kritis terhadap kelaliman penguasa dan keburukan yang dilakukan masyarakat. Di samping itu, pikiran Hasan sebenarnya ‘membebaskan’ meski tetap memegang teguh prinsip dasar Islam. Ini dibuktikan melalui pengakuan Hasan al-Banna terhadap kebebasan beragama. Dalam prinsip dasar IM, Hasan al-Banna mencetuskan sikap tersebut dengan menyertakan dalil al-Qur’an: wa man sha’a falyu’min wa man sha’a falyakfur.
Hal ini menurut Jamal al-Banna dibuktikan ketika Hasan al-Banna melerai anggota IM yang bertengkar dan saling melemparkan pemahaman fiqh mereka bahwa mazhab salah satunya yang paling benar, yang lain salah. Bahkan, di antara anggota IM, ada yang tidak mau menjadi makmum kalau sang imam berbeda mazhab dengannya.
Atas dasar ini, inisiatif Hasan pun muncul bersama Sayyid Sabiq untuk membuat kitab Fiqh al-Sunnah demi meminimalisir adanya pertentangan di antara para pengikut mazhab yang fanatik; yaitu dengan menemukan titik temu di antara sekian periwayatan hadis tentang problematika pemikiran fiqh.
Menurut Jamal, antara tahun 1923 hingga 1949 M [tahun di mana Hasan meninggal] Mesir berada pada masa yang sangat liberal. Bahkan, pada masa sebelumnya, Hasan pun menjadi bagian dari anak bangsa yang menyuarakan suaranya pada “Revolusi Masyarakat Mesir” tahun 1919 M.
Hasan juga dikategorikan pemikir yang menghargai hak-hak perempuan, baik hak untuk mendapatkan pendidikan ataupun hak-hak yang lain. Imbasnya, banyak dari anggota IM yang mengkritisi tindakan Hasan yang memasukkan putrinya ke sekolah seni, setelah putrinya menamatkan sekolah dasar, sebab ideologi IM saat itu adalah: perempuan hanya mengurusi urusan dapur.
Menurut Jamal, tulisan mengenai emansipasi wanita dalam urusan pendidikan bisa dibuktikan dalam beberapa tulisan-tulisan Hasan. Barangkali—kata Jamal—andai Hasan tidak meninggal muda kala itu, maka ia akan meluruskan ideologi IM yang saat ini yang terlanjur salah dalam memahami hak asasi kaum perempuan.
Organisasi IM—bagi Jamal—bisa mendunia jika tidak diarahkan pada urusan politik dan pemerintahan. Baginya, sebagai organisasi IM punya ambisi politik yang kuat di balik atribut keagamaan yang dipakainya. Tujuan awal dan akhir adalah sampai kepada kekuasaan dengan bungkus agama [هدفها الأول والأخير الوصول للسلطة دون وجود أى اعتبارات دينية]. Bagi Jamal, IM adalah kelompok militan yang tidak mengaplikasikan hukum Allah dan hanya mementingkan kepentingan mereka.
Jamal, yang lebih dikenal sebagai pemikir yang concern terhadap nasib buruh, juga pernah ditawari oleh sang kakak untuk menjadi anggota IM. Hal itu terjadi pada tahun 1946, yakni ketika Jamal mendirikan Partai Buruh Nasionalis-Sosialis [Hizb al-‘Ummāl al-Watanī al-Ijtimā‘ī] dan banyak mengalami gesekan atau pencekalan dari pemerintah.
Pencekalan itu disebabkan karena Jamal dan anggota partainya menyebarkan selebaran yang berisi permintaan hak-hak kaum buruh yang selama ini kurang dihargai oleh pemerintah. Namun, respons yang diterima Jamal dan anggotanya bukanlah tindakan positif, melainkan tindakan anarkis.
Hasan pun mengutus seseorang untuk menawarkan Jamal bergabung dengan IM, menghibur dan berusaha membandingkan antara IM dengan partai yang didirikannya. Hasan mengatakan:
“Partai [atau serikat] buruh yang ia perjuangkan adalah partai miskin. Hanya sekumpulan pemuda dan orang-orang miskin. Aku harap engkau dapat bergabung dengan jemaah IM, karena jemaah ini [dilihat dari segi perekonomiannya] mempunyai kebun yang bisa berbuah kapan saja dan hal-hal yang kamu butuhkan. Maka, bergabunglah dengan kami”.
Jamal menanggapi permintaan ini dengan dingin. Ia mengatakan, “Memang benar pohon-pohon milik anggota IM bisa berbuah kapan saja, namun aku tidak pernah sekalipun menghendaki buah tersebut”. Artinya, walaupun organisasi IM sudah mapan dan kaya, tapi Jamal tak sedikit pun tertarik bergabung dengan organisasi bentukan kakaknya tersebut.
Melihat Jamal tidak merespons ajakannya, Hasan pun mendukung karir sang adik seraya menyarankan kepadanya untuk mengganti nama hizb [partai] yang terdapat dalam kelompoknya diganti menjadi kata jamā‘ah, agar tidak memancing pemerintah berlaku anarkis.
[Tulisan ini pernah dimuat di Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam]