Di Indonesia sangat banyak kitab karya ulama nusantara yang bisa dijadikan rujukan otoritatif dalam ajaran Islam. Bidang karya ulama nusantara pun bervariasi, mulai dari bidang akidah, tafsir, hadis, fiqh, dan lain sebagainya.
Selain bidang yang populer di atas, ada bidang yang masih menarik untuk dicermati, yakni bidang “pengobatan Islami”. Adalah KH. Abdul Hannan Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum di Kwagean Pare Jawa Timur, yang menulis kitab yang diberi nama Sullam al-Futūhāt. Sullam bermakna tangga, sedangkan Futūh (bentuk singular Futūhāt) berarti kemenangan atau keberhasilan. Kitab ini semacam antologi wirid, doa, dan suwuk terkait bagaimana menghadapi problem-problem yang dihadapi oleh masyarakat dewasa ini.
Bagi saya kitab ini sungguh menarik, karena sang muallif mampu mengelaborasi khazanah kitab-kitab klasik dengan cukup variatif. Di awal membaca, saya benar-benar memahami kekayaan Islam terkait wirid, doa, dan suwuk dari banyak kitab. Selama ini yang mungkin dianggap otoritatif mewakili dimensi pengobatan Islam adalah kitab al-Mujarrabāt, Syams al-Ma‘ārif atau Manba‘ Usūl al-Hikmah saja. Tatapi, Sullam al-Futūhāt ini benar-benar berbeda, karena berisi varian kitab yang ditampilkan menunjukkan bahwa khazanah spiritual dalam Islam itu sangat kaya.
Sepanjang yang dapat saya ketahui, Kiai Hannan telah menyusun antologi wirid, doa, dan suwuk dalam dua kitab, Sullam al-Futūhāt dan Silāh al-Muballighīn. Kedua karya ini adalah kompilasi ragam amalan yang dibutuhkan masyarakat. Varian amalan di dalamnya bersumber dari al-Qur’ān, Sunnah, dan hikmah para ahli bijak. Sullam al-Futūhāt di-launching secara berkala sampai tahun 2017 hingga mencapai 20 volume. Adapun kitab yang lain (sampai kali terakhir saya wawancara di tahun 2017), Silāh al-Muballighīn, sampai volume keempat. Ketebalan kedua kitab ini antara 20 sampai 25 halaman, sebesar buku saku tanggung. Proses launching kitab tersebut biasanya ditransmisikan pada saat palaksanaan ijāzah kubrā di setiap malam Jumat di Minggu kedua bulan Safar.
Amalan yang terdapat dalam kitab adalah amalan yang diberikan dan ditulis sendiri oleh Kiai Hannan untuk diberikan kepada masyarakat atau santri yang meminta ijazah, baik doa, mahabbah, penglarisan, dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu, ragam lembaran ini kemudian dikodifikasi dan ditransmisikan secara berkala setiap tahun hingga mencapai volume dua puluh. Hal ini pula yang terjadi pada penyusunan kitab Silāh al-Muballighīn.
Pembukuan pertama terjadi pada tahun 1996 M/1417 H pada malam Jumat bulan Safar minggu kedua dan kiai sendiri yang menyusun urutan-urutan amalan tersebut. Menurut narasumber yang berhasil saya temui, penulisan kitab Sullam al-Futūhāt konon merupakan permintaan dari masyarakat yang mengikuti pengajian rutinan pada malam Rabu dan mereka menghendaki agar amalan yang biasanya dilakukan Kiai Hannan dapat dikompilasi dan ditransmisikan. Amalan-amalan tersebut pada dasarnya sudah diberikan oleh kiai semenjak tahun 1982 saat jumlah santri masih sekira 50-an.
Jika merujuk pada kedua kitab, Sullam al-Futūhāt dan Silāh al-Muballighīn, yang ditransmisikan Kiai Hannan kepada santri di tiap tahun dulu, tidak mengherankan jika beliau ditipologikan sebagai “kiai tabib”—sebagaimana riset disertasi yang ditulis oleh M. Syamsul Huda di UIN Sunan Ampel Surabaya. Menariknya, Kiai Hannan tidak sekadar merujuk pada satu kitab saja, tetapi beliau mampu mengelaborasi serta mengombinasikan dengan banyak kitab dalam menyusun kitab ini. Benar-benar suguhan produk dengan daya jelajah tinggi dan sangat variatif rujukannya.
Rujukan kitab pada satu amalan biasanya ditulis pada bagian akhir uraian dengan menyebut nama kitab beserta halamannya, namun tidak disertai dengan nama pengarangnya. Hal ini mungkin pengarang kitab yang menjadi rujukan sudah dianggap populer di kalangan santri, seperti rujukan terhadap dua karya Abū Hāmid al-Ghazālī yang akan disebutkan di bawah ini. Yang menjadi catatan saya, tidak semua amalan disertai rujukan kitab, karena mungkin beberapa amalan tersebut diperoleh dari transmisi para guru beliau dan sudah diamalkan-Nya sekian tahun lamanya. Sebagaimana yang dituturkan beliau, bahwa amalan-amalan yang ada dalam kitab tersebut sudah dipraktikkan oleh beliau dan beliau sudah mendapatkan faedah dari amalan tersebut.
Sebagian besar dari kitab ini ditulis menggunakan bahasa Arab disertai keterangan dalam bentuk abjad pegon Jawa. Karenanya perlu pemahaman bahasa Jawa jika membaca narasi abjad pegon dalam kitab tersebut. Walaupun di bagian akhir volume 20, narasi di dalamnya sebagian sudah menggunakan bahasa Indonesia. Total 20 volume dalam Sullam al-Futūhāt ketebalannya sekira 432 halaman.
Saya mencoba mengklasifikasi sumber buku yang dirujuk oleh Kiai Hannan dalam Sullam al-Futūhāt dengan menyertakan nama muallif agar pembaca awam bisa menjangkau nama-nama pengarangnya.
Rujukannya sebagai berikut: Ihyā’ Ulūm al-Dīn (dikutip sebanyak 4 kali) dan al-Awfāq (15 kali), keduanya adalah karya Abū Hamid al-Ghazāli. Kemudian kitab al-Kawākib al-Lammā‘ah fī Taskhīr Mulūk al-Jinn karya Abd Allah al-Maghawari (dikutip 6 kali), Syams al-Ma‘ārif al-Kubrā karya Ahmad b. ‘Alī al-Būnī (10 kali), Sirr al-Jalīl fī Khawās Hasbunā Allah wa Ni‘mal al-Wakīl karya Abū Hasan al-Shādhilī (10 kali), Khazīnat al-Asrār: Jalīlat al-Adhkār karya Muhammad Haqqī al-Nāzilī (10 kali), Abwāb al-Faraj karya Muhammad b. Alwī al-Mālikī al-Hasanī (3 kali), Sirr al-Asrār wa Mazhar al-Anwār karya Muhy al-Dīn ‘Abd al-Qādir al-Jīlī al-Hasanī al-Husaynī (7 kali), Mujarrabāt al-Dayrabī al-Kabīr karya Ahmad al-Dayrabī (12 kali), Kitāb al-Dhahab al-Abraz fī Khawās Kitāb Allah al-‘Azīz (5 kali), al-Jawāhir al-Lammā‘ah fī Istihdār Mulūk al-Jinn fī al-Waqt wa al-Sā‘ah karya ‘Alī Abd al-Hayy al-Marzūqī, Kitāb al-Jawāhir al-Khams karya Muhammad b. Khatīr al-Dīn b. Bāyazīd b. Khawājah al-‘Attār (2 kali), Kanz al-Najāh wa al-Surūr fī al-Ad‘iyah al-Ma’thūrah al-Latī Tashrah al-Sudūr karya ‘Abd al-Hamīd b. Muhammad ‘Alī b. ‘Abd al-Qādir Quds al-Makkī al-Shāfī‘ī (4 kali), Sharh al-Futūhāt al-Madanīyah fī al-Shu‘ab al-Īmānīyah karya Muhammad b. Umar al-Nawawī al-Jāwī, Manba‘ Usūl al-Hikmah karya Abū al-‘Abbās Ahmad b. ‘Alī al-Būnī (1 kali), I‘ānat al-Tālibīn karya Muhammad Shatā al-Dimyātī (1 kali), Majmū Sharh Muhadhdhab karya Muhy al-Dīn al-Nawawī (1 kali). Ada tiga kitab yang belum sepenuhnya bisa saya telusuri pengarangnya, antara lain Adhkār Nabawīyah wa Awrād Salafīyah (1 kali), al-Fawāid (15 kali), dan al-Lum’ah (2 kali).
Sebagai catatan, ada kemungkinan jumlah perujukan tersebut masih bisa bertambah, karena bisa jadi kitab-kitab yang saya sebut di atas juga menjadi rujukan pada amalan lain, tetapi tidak ditulis pada bagian akhir amalan.
Secara umum gambaran isi dari Sullam al-Futūhāt adalah problem yang dihadapi masyarakat secara umum. Tiap amalan disertai dengan tata cara atau petunjuk pengamalan. Cukup banyak variasi wirid maupun shalawat yang ada dalam kitab tersebut. Problem umum individu/keluarga (doa/wirid keselamatan, kelapangan rezeki, anak supaya saleh, anak tidak bebal, anak supaya cepat dapat jodoh, mampu membayar hutang, suami-istri agar tidak selingkuh, dll), problem pekerjaan (doa/wirid/suwuk laris dagangan, wirid mengusir hama pada tanaman), problem perjodohan (menghitung kecocokan, mahabbah), amalan dan keutamaan surah-surah dalam Alquran, doa-doa shalat, shalawat (shalawat hijab, bahriyah kubra, dll), dan masih banyak lagi.
Apakah kesemuanya dapat diamalkan? Tentu saja bisa dengan melalui skema atau proses ijazah. Karena ijazah adalah sesuatu amalan yang diberikan mulai dari Nabi Muhammad kepada sahabat, sahabat kepada tabiin, tabiin kepada tabi’ al-tabiin sampai kepada para ulama, kiai dan para guru kita semua. Ijazah adalah satu bentuk lintasan perizinan dari kiai kepada santri untuk mengamalkan satu amalan yang bermanfaat yang berkenaan dengan masalah-masalah duniawi atau masalah-masalah ukhrawi. Wa Allah A’lam.