Negara Tunisia adalah satu-satunya negara Arab yang secara hukum melarang poligami. Dasar ketetapan larangan berpoligami ini diberlakukan secara resmi oleh negara pada tahun 1956 oleh Presiden Tunisia Habib Bourquiba, empat bulan pasca-kemerdekaan negara tersebut digapai hingga hari ini. Selain itu, dalam undang-undang hukum keluarga Islam termuat di antaranya hukuman fisik dan finansial bagi yang nekat berpoligami. Butir undang-undang yang tertuang dalam pasal 18 itu menyebutkan:
كل من تزوج وهو في حالة الزوجية.. يعاقب بالسجن لمدة عام
“Kullu man tazawwaja wa huwa fi hālat al-zawjiyyah… yu‘āqabu bi al-sijni li-muddati ‘ām”
“Siapa pun yang menikah [lagi] saat berstatus terikat pernikahan… akan dihukum penjara selama satu tahun”.
Sejumlah ulama turut berkontribusi besar dan mendukung penyusunan hukum keluarga di negara tersebut, seperti Muhammad al-Thahir bin Asyur—atau yang familiar disebut Ibnu Asyur—yang saat itu menjabat sebagai Dekan Universitas al-Zaytunah dan Muhammad Abdul Aziz Jait Mufti Tunisia di era tersebut. Kedua ahli hukum Islam yang sangat reformis ini tak ragu untuk menyetujui upaya Presiden Tunisia Habib Bourquiba (yang memimpin tahun 1957-1987) untuk menghapuskan praktik poligami secara permanen, tanpa menghiraukan apa yang ditetapkannya bertentangan dengan prinsip dasar syariah.
Ibnu Asyur dan Abdul Aziz mengkonstruksi ijtihadnya melalui prinsip dasar “Fiqh Maqāsidī”, sebuah usaha menyerap dan mengambil maksud dan tujuan agama sebagai fondasi utama memahami syariat dan penetapan hukumnya. Ijtihad Fiqh Maqāsidī ini pada akhirnya coba dipraktikkan oleh negara-negara Arab lainnya. Konstruksi Fiqh Maqāsidī dalam menginterpretasikan praktik poligami ini berfokus pada gagasan bahwa seorang pria tidak dapat mencapai keadilan di antara istrinya. Hal itu sesuai dengan ayat (fa-in khiftum an lā ta‘dilū fa-wāhidatan/jika anda takut berbuat adil, maka [menikahlah] satu [saja]. Maka, dalam konteks ini negara harus berperan penting serta berkontribusi melakukan pencegahan praktik poligami untuk menjaga hak-hak perempuan dan anak-anak mereka.
Dalam buku al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Ibnu Asyur mendasarkan fatwa diperbolehkannya pelarangan poligami pada Q.S. al-Nisa’ [4]:, yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahi wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahi) seorang saja. Namun ayat ini pula yang dijadikan pedoman oleh fukaha dalam menetapkan disyariatkannya poligami.
Tampaknya Ibnu Asyur tegas menolak poligami dalam kitab al-Tahrīr wa al-Tanwīr. Aturan poligami memang tidak mudah. Tetapi ia memberi penjelasan tambahan bahwa “boleh poligami asal adil”. Hanya satu istri bagi yang takut adil. Jika takut tidak bisa adil, maka calon pelaku poligami tidak akan bisa berlaku seadilnya kelak kepada istri-istrinya nanti. Adil di sini dimaknai harus bisa berperilaku dan bersikap sama kepada para istri, misalnya dalam memberi nafkah dan sandang, berbagi keceriaan dan kebersamaan, tidak pernah membahayakan para istrinya dalam segala hal, dan tidak mengutamakan istri tertentu ketimbang lainnya. (al-Tahrīr wa al-Tanwīr, Vol. 5, hal. 266).
Terkait penolakan Ibnu Asyur terhadap praktik poligami ini ternyata sangat dipengaruhi oleh pandangan Muhammad Rasyid Ridha [1865-1935] yang dikutip dalam bukunya. Ridha menyatakan bahwa poligami dapat merusak tatanan rumah tangga yang sudah terbangun. Dalam Tafsir al-Mannār, ia berargumen bahwa jika direnungkan secara saksama tidak ada satu suami pun yang dapat me-manage rumah tangga dengan baik jika ia masih nekat berpoligami. Satu rumah dengan dua istri atau lebih akan menciptakan anomali dan merusak harmoni yang sudah terbangun sebelumnya. Tidak ada dualitas dalam manajemen di rumah. Yang terjadi nantinya hanya kebencian dan kegundahan antara satu istri dengan istri lainnya. Jika hal itu dilakukan, tidak akan maslahat dalam rumah tangga. Yang ada hanya mafsadah.
Fatwa Ibnu Asyur yang menolak poligami sudah pernah dilakukan oleh Muhammad Abduh [1849-1905]—yang juga guru Muhammad Rasyid Ridha—saat menjabat menjadi mufti Mesir. Bagi Abduh, untuk menjaga kemaslahatan umum, seorang hakim dapat melarang praktik poligami, dengan atau tanpa syarat, sesuai dengan apa yang dianggapnya sesuai untuk kepentingan bangsa. Hukum seperti ini diperlukan untuk mengatur masyarakat dan mengendalikan manusia.
Abduh memang sangat pro-monogami. Baginya, jika seorang wanita dapat dimiliki oleh semua pria, dan tiap wanita boleh jadi pasangan setiap pria, maka api kecemburuan akan berkobar di hati manusia. Masing-masing akan berupaya membela keinginannya. Selain itu, secara psikologis wanita tak mampu melindungi dirinya dari bahaya, khususnya saat sedang hamil dan melahirkan. Kalau pria tak menyadari tanggung jawab dan membela hak-haknya, maka dia dan keturunannya bisa mendapatkan bahaya. [Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Pioneer of Islamic Reform”, 65].
Yang lebih penting lagi, umumnya pria tidak mau mempertaruhkan dirinya dan memikul beban mencari rezeki dan penghidupan, kecuali kalau dia mengingat istri dan anak yang jadi tanggungannya. Tanggungan tidak saja berfungsi mendorong pria/suami untuk bekerja keras, tapi ia juga mendorong bagi adanya “keuntungan” yang tertunda, seperti perhatian yang diberikan keluarga kepadanya begitu dia sudah tak kuat lagi menunaikan tugasnya.
Apa yang sudah ditetapkan negara Tunisia bukan tanpa protes. Baik individu maupun kelompok cukup lama menyuarakan agar praktik poligami atas nama syariat Islam ini ditinjau kembali. Misalnya, kelompok Anshar al-Syariah, salah satu kelompok militan salafi, berdalih agar negara ini kembali kepada syariat Islam. Di lain pihak beberapa pria meminta negara memberikan solusi bagi pria yang menginginkan poligami syar’i, alih-alih melakukan zina.
Seorang penulis dan pemikir dari Tunisia, Karim al-Saliti, sebagaimana yang dilansir www.babnet.net menyebutkan bahwa Tidak semua pria Tunisia ingin menikah lebih dari satu kali. Harapan kita bahwa negara ini tidak mencegah apa yang sudah diizinkan oleh Tuhan kepada manusia.Padahal Nabi Muhammad juga memuliakan perempuan dan menyayanginya. Di awal tahun 2019, Fathi al-Zaghal, Presiden Forum Kebebasan dan Kewarganegaraan, mendukung aksi protes terhadap larangan poligami, karena dia percaya perlunya solusi untuk kehidupan perempuan lajang di Tunisia yang di tahun 2019 telah meningkat menjadi lebih dari 2,25 juta, dari total 4,9 juta perempuan di Tunisia.
Pada akhinya, kebijakan kontroversial yang dibuat Presiden Tunisia Habib Bourquiba sampai detik ini belum dicabut. Tunisia menjadi negara Arab pertama yang menghapus poligami dari konstitusi Negara. Fakta bahwa era kebangkitan dunia Arab modern, yang kemudian dikenal sebagai Arab Spring, masyarakat Tunisia sedang memperjuangkan kesetaraan gender terutama menyangkut hak-hak wanita dalam dunia politik dan sektor lainnya.
Jadi, jangan coba-coba berpikir untuk berpoligami bagi warga Tunisia. Yang berpoligami atau yang menikahkan pelaku poligami akan terkena denda, karena pemerintah Tunisia memberlakukan hukuman satu tahun penjara dan denda 240 Dinar Tunisia (Rp1,5 juta), bagi orang yang menikahkan seseorang yang berpoligami. Sementara bagi para suami yang melakukan poligami, ia wajib memberikan uang bulanan kepada istri yang dipoligami dan anaknya sebesar 1500 Dinar Tunisia (Rp8 juta) setiap bulan, hingga ia meninggal dunia.