Nuril Hidayati Feminis yang Tinggal di Kediri; Mahasiswi S3 Studi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.

Menalar Choose to Challenge Dengan Spirit Isra’ Mi’raj: Catatan Reflektif Feminis Sufistik

3 min read

Tahun 2021 ini International Women Day (IWD) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret berdekatan dengan peringatan Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 11 Maret, tiga hari setelahnya. Bagi masyarakat muslim yang perhatian dengan isu perempuan dan keagamaan tentu menarik untuk menggali makna keduanya.

Tema IWD kali ini adalah Choose to challenge, memilih untuk melawan, menggelorakan keberanian perempuan untuk bangkit dari ketidaksetaraan, bias dan stereotipe serta mewujudkan dunia yang inklusif. Kampanye yang diharapkan mampu mengajak semua pihak untuk turut serta menciptakan kehidupan yang ramah.

Isra’ Mi’raj selalu diperingati karena dianggap sebagai tonggak utama ajaran Islam. Mengenang perjalanan Nabi Muhammad pada malam 27 Rajab dari Masjidil Haram di Mekah menuju Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak sekitar 1.500 Km, pada zaman itu bisa ditempuh selama 40 hari dengan menunggang unta.

Dari Palestina perjalanan masih berlanjut menembus langit ke Sidratil Muntaha. Wajar jika kemudian kaum kafir Quraish menganggap perjalanan Isra’ dan Mi’raj hanyalah bualan, karena secara empiris bahkan sampai hari ini memang irasional.

Peristiwa Isra’ Mi’raj umum dimaknai sebagai urgensi sholat bagi umat Islam karena instruksi pelaksanaannya disampaikan sendiri oleh Allah, tidak lagi melalui Jibril sebagaimana risalah-risalah lain. Dalam kajian ilmu kalam, Isra’ Mi’raj menjadi polemik pada soal apakah perjalanan Rasulullah tersebut bersifat materi atau spirit. Hanya ruh atau wadag beliau juga turut menyapa nabi-nabi terdahulu pada tiap langit yang disinggahi, lantas berdialog dengan Allah di Sidratil Muntaha.

Keajaiaban Isra’ Mi’raj tersebut menjadi dalil kehebatan Islam sebagai agama futuristik. Capaian teknologi lambat laun membuktikan rasionalitas Isra’ secara kosmologis, meski demikian mamahami Mi’raj tetap membutuhkan pelibatan intuisi karena sifatnya yang mistik. Dalam cakrawala supra rasional demikian, muncul pertanyaan mungkinkah menemukan benang merah spiritualitas antara ujaran untuk bangkit melawan ketidak adilan yang diusung IWD dan hikmah peristiwa Isra’ Mi’raj?

Baca Juga  Tradisi Ngalap Berkah, Begini Dalilnya

Memaknai Isra’ Mi’raj dalam narasi keperempuanan adalah hal langka.  Setidaknya baru Lies Marcus yang dalam acara Ngaji Keadilan Gender Islam bersama Nur Rofi’ah pada malam 12 Maret lalu yang secara tegas menyampaikan bahwa, sebagai Feminis peristiwa Isra’ Mi’raj baginya bermakna pembebasan bagi perempuan.

Kalimat ini memantik refleksi lebih mendalam terkait perjalanan kemanusiaan perempuan sebagai hamba Allah yang ternyata masih sangat memprihatinkan. Rentan terpinggirkan dari ketauhidan, mudah tersesat dalam belantara penghambaan dan menuhankan berbagai hal selain Allah.

Kehidupan perempuan lekat dengan status yang menuntut perhatian besar, sebagai istri, ibu, anak atau pekerja sering melalaikan bahwa dirinya adalah hamba Allah semata, bukan yang lain. Terlebih jika hidup tanpa pemahaman keagamaan yang mumpuni tak jarang perempuan dengan mudah menjadi pengabdi bagi penindasnya.

Tidak sedikit perempuan yang patuh secara mutlak kepada suami atau tradisi yang telah berlaku tidak adil padanya karena mengira begitulah takdir menggariskan. Menghempasnya dari hakikat eksistensial manusia, bahwa keberadaanya di dunia ini seluruhnya hanyalah untuk menyembah Allah Yang Esa.

Rasulullah di-Isra’Mi’raj-kan ketika mengalami penistaan dan penindasan dari kaum Qurays yang tidak lain adalah kerabatnya sendiri. Saat sedang berada di puncak duka karena kematian istrinya Siti Khadijah dan pamannya Abu Thalib, orang-orang tercinta yang selalu melindungi dan membela.

Kepedihan berlapis-lapis yang hanya bisa diluruhkan oleh pengalaman maha dahsyat, bertemu dengan Allah. Hal ini dianalogikan dengan kondisi pilu perempuan yang termarjinalkan dan hanya bisa diatasi dengan memutus rantai kedzaliman penghambaan dengan mendekatkan perempuan hanya kepada Allah Tuan sejatinya.

Isra’ dalam cakrawala feminis sufistik melambangkan perjalanan melawan kedzaliman dan penindasan di ruang historis. Usaha membenahi sifat hubungan di wilayah praktis horizontal yang sebelumnya timpang. Jika diperlakukan tidak adil, perempuan harus berani mengambil sikap dan melawan. Meminta bantuan, berjuang menghadapi dan bekerja sama merubah sistem yang tidak manusiawi.

Baca Juga  Pendidikan Dalam Pembelajaran Di Era Society 5.0

Perempuan harus mampu melihat dirinya sebagai manusia utuh. Hidup setara dan adil dalam keragaman semesta, dengan laki-laki, anak-anak, difabel dan kelompok rentan lain sebagai sesama hamba Allah. Relasi horizontal ini harus diperbaiki karena menjadi jembatan penghubung dengan relasi vertikal antara perempuan dengan Tuhan. Bercermin pada peristiwa Isra’ yang dianggap mustahil tapi harus diimani, maka merombak sistem patriarki yang seolah tidak mungkin jika beriman niscaya bisa tercapai. Toh tidak ada yang sulit dalam Kemahakuasaan Allah.

Memaknai Isra’ Mi’raj dengan spirit IWD adalah upaya mengejawantahkan cinta dan kasih sayang Allah kepada perempuan.  Memerdekakannya dari segala bentuk penghambaan dan penindasan yang selama berabad-abad disahkan oleh kuasa negara, budaya dan agama. Sholat adalah perintah bagi perempuan untuk meletakkan peran-peran kesementaraan, hadir dengan bersih di hadapan Allah dari watak kemelekatan dunia. Mengingat bahwa sesungguhnya dirinya adalah hak dan milik Allah semata.

Lebih jauh, dalam nalar Feminis sufistik Mi’raj merupakan visi bahwa keintiman perempuan dengan Sang Pencipta adalah mungkin. Pembaruan sifat relasi vertikal antara perempuan sebagai hamba dengan Allah sebagai satu-satunya Ilah (Tauhid) yang patut disembah. Perempuan harus melepaskan diri dari segala unsur penyekutuan yang merupakan dosa besar dan menodai kesucian hubungannya dengan Allah. Saat dia telah terbebas, maka dia sebagai dirinya sendiri yang murni hadir menjumpai kekasih sejati, dia Mi’raj menyingkap hijab antara dirinya dengan Allah. Wallahu a’lam bishawab.

Daftar rujukan

Etin Anwar, 2017, Jati Diri Perempuan dalam Islam, Bandung: Mizan.

Faqihudin Abdul Kodir, 2017, 60 hadis Hak-hak Perempuan dalam Islam, Cirebon: Umah Sinau Mubadalah & Aman Indonesia.

Haedar Bagir, 2019, Mengenal Tasawuf Spiritualisme dalam Islam, Bandung: Mizan.

Baca Juga  Tazkiyat al-Nafs adalah Kendaraan Perjalanan Eksistensial

https://www.kompas.com/tren/read/2021/03/08/151500165/hari-perempuan-sedunia-2021-ini-tema-dan-sejarahnya?page=all diakses 17 Maret 2021

https://www.republika.co.id/berita/qpsc11366/kapankah-peristiwa-isra-dan-miraj-terjadi-part1 diakses 17 Maret 2021

Nuril Hidayati Feminis yang Tinggal di Kediri; Mahasiswi S3 Studi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya.