Hukum-hukum fikih biasanya dipandang sebagai sesuatu yang mengikat dan dipegang teguh oleh kebanyakan muslim. Seorang muslim akan berpikir dua kali untuk melakukan sesuatu yang jelas-jelas haram, seperti makan daging babi atau minum alkohol. Saat meninggalkan kewajiban pun, seperti salat dan puasa di bulan Ramadan, mula-mula mereka akan tebersit rasa bersalah karena telah melanggar syariat Tuhan.
Hanya saja, seperti ada pendikotomian hukum dalam kehidupan masyarakat. Orang hanya menganggap melakukan larangan atau melanggar syariat untuk beberapa hal saja yang dianggap dosa, sementara untuk hal-hal lain yang kurang dikenal atau dianggap tidak ada hubungannya dengan agama, dianggap tidak berdosa dan seolah-olah tidak akan ada konsekuensi syariat sebagai balasannya. Hal ini bisa disebabkan karena ketidaktahuan atau malah justru karena malas untuk menegakkannya.
Hal yang sering luput mendapat perhatian umat dan jarang yang menganggapnya mempunyai kaitan dengan hukum fikih adalah persoalan yang berkaitan dengan perusakan lingkungan. Sejak kecil, kebanyakan muslim mengetahui hadis yang berbunyi “kebersihan sebagian dari iman”.
Namun, mereka merasa biasa saja saat membuang sampah sembarangan, menggunakan plastik dengan berlebihan, menyumbang emisi karbon kendaraan bermotor, atau perbuatan pencemaran lingkungan lainnya, karena menganggapnya tidak berkaitan dengan hukum agama. Lalu, sebenarnya bagaimana fikih melihat persoalan pelestarian lingkungan?
Fikih dan Ushul Fikih: Aturan Bermuamalah & Tujuan Syariat
Fikih merupakan ilmu yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan keluarga dan masyarakatnya, dan manusia dengan entitas di sekitarnya. Hukum-hukum syariat yang masyhur disepakati para ulama fikih ada lima, yaitu wajib, sunah, makruh, haram, dan mubah. Lima hukum inilah bentuk pengaturan hubungan-hubungan di atas oleh fikih.
Berangkat dari sana, para ahli fikih menetapkan bahwa syariat Islam itu menghukumi seluruh perbuatan orang-orang mukalaf (yang terkena tanggungan hukum). Dalam artian, tidak ada perbuatan manusia yang lepas dari hukum-hukum dalam syariat. Itu berarti, apa pun perbuatan manusia, bisa dihukumi antara wajib, sunah, makruh, haram, atau mubah.
Hukum fikih tidak hanya berkaitan dengan perkara ibadah belaka, seperti salat, puasa, atau zakat. Fikih juga mengatur dan menghukumi persoalan-persoalan ekonomi, politik, sosial, pendidikan, peradaban, dan apa pun yang berkaitan dengan kehidupan manusia.
Bagaimana dengan persoalan pelestarian lingkungan? Menurut Yusuf Qardhawi, tentu banyak persoalan pelestarian lingkungan yang dibahas dalam fikih. Banyak juga kaidah-kaidah fikih yang relevan dengan persoalan pelestarian lingkungan. Perinciannya akan dipaparkan pada bagian selanjutnya.
Penghukuman secara syar‘i untuk persoalan-persoalan yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan itu memang wajar dan konsekuensi dari fondasi fikihnya yang memang mengisyaratkan hal itu.
Fikih sendiri, ibarat seperti cabang dari pepohonan, sementara akarnya adalah ushul fikih. Ushul fikih melalui maqashid shari‘ah (tujuan syariat) juga menyinggung persoalan pelestarian lingkungan.
Para pakar ushul fikih bersepakat bahwa syariat itu datang untuk menegakkan kemaslahatan para hamba di dunia dan akhirat. Mereka bersepakat bahwa syariat bagi hamba itu bertujuan untuk menjaga agama (ḥifzh al-din), diri (ḥifzh al-nafs), keturunan (ḥifzh al-nasl), akal (ḥifzh al-aql), dan harta mereka (ḥifzh al-mal)—yang disebut ḑarurat al-khams.
Pelestarian Lingkungan dalam Fikih dan Ushul Fikih
Yusuf Qardhawi dalam kitab Ri‘ayat al-Bi‘ah fi Syariat al-Islam menjelaskan banyak pembahasan dalam fikih yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan. Bab-bab dalam fikih seperti bersuci, salat, dan ketentuan zakat berhubungan dengan lingkungan dan pelestariannya, yang ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, sunah, dan ijmak ulama.
Dalam bab haji, terdapat ketentuan larangan berburu, memotong atau menebang tumbuhan, dan hal semacamnya. Di fikih juga terdapat pembahasan ihya’ al-mawat dalam fikih muamalah. Di sana, lingkungan juga disinggung dalam pembahasan jual beli, kepemilikan air, api, udara, dan sebagainya. Bahkan dalam bab jihad pun diatur tentang mana entitas yang boleh dirusak dan mana yang tidak boleh.
Sehingga, kaidah-kaidah fikih yang merangkum secara global persoalan-persoalan furu’ pun tidak lepas dari keterkaitan dengan pelestarian lingkungan. Kaidah yang paling masyhur yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan adalah la ḑarara wa la ḑirara (jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain) beserta turunan-turunannya.
Kaidah itu disusun berdasarkan pada beberapa ayat Al-Qur’an tentang penolakan terhadap bahaya serta hadis Nabi yang masyhur dan sahih. Kaidah tersebut bisa dipakai untuk mencegah dan melarang apa pun bentuk perusakan lingkungan yang merupakan tindakan bahaya dan membahayakan banyak orang.
Sementara itu, Yusuf Qardhawi juga memaparkan bagaimana pelestarian lingkungan ini berkaitan dengan ḑarurat al-khams dalam maqashid shari‘ah. Pertama, ḥifzh al-din (menjaga agama). Perusakan terhadap lingkungan berarti menafikan esensi beragama yang hakiki, bertentangan dengan kepentingan manusia di bumi, serta mencederai perintah Allah kepada manusia untuk memimpin makhluk-makhluk di lingkungannya.
Tindakan perusakan itu melanggar penegakan keadilan dan perbuatan baik yang diperintahkan agama. Bahkan, QS. al-Qashash [28]: 83 menjelaskan bahwa Allah tidak akan meridai orang yang berbuat kerusakan di bumi saat di akhirat kelak.
Kedua, ḥifzh al-nafs (menjaga diri). Perusakan dan pencemaran lingkungan bisa membahayakan ekosistem kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dampak buruknya sudah bisa dirasakan hari-hari ini dan akan berlanjut pada masa-masa yang akan datang bila tidak ada tindakan yang bisa memperbaikinya. Padahal, agama sangat memuliakan kehidupan manusia. Karenanya, perusakan lingkungan mencedarai prinsip ḥifzh al-nafs ini.
Ketiga, ḥifzh al-nasl (menjaga keturunan). Usaha pelestarian lingkungan berarti usaha untuk mewariskan kehidupan yang baik bagi generasi berikutnya. Karena itu, generasi berikutnya pun bisa melihat alam semesta tempatnya hidup sebagai tanda kebesaran dan kebaikan Tuhan, sehingga menjadi peranti agar mereka bisa bersyukur kepada-Nya.
Keempat, ḥifzh al-aql (menjaga akal). Perhatian manusia terhadap pelestarian lingkungan merupakan bentuk kewarasan dan masih berfungsinya akal sehat mereka dalam menjaga amanah Tuhan dan anugerah yang diberikan-Nya. Itu berarti bahwa manusia sedang melaksanakan perintah agama untuk memikirkan solusi-solusi permasalahan umat yang ada dan menjalankan kewajibannya.
Kelima, ḥifzh al-mal (menjaga harta). Harta dalam agama bukan sebatas persoalan uang, emas, dan perak, sebagaimana yang dipahami banyak manusia. Segala hal yang dimiliki dan dapat menjaga pekerjaan manusia adalah harta. Pohon itu harta, tanah itu harta, hewan ternak itu harta, air itu harta, dan seterusnya. Maka, jelaslah pelestarian lingkungan itu wajib dalam agama, karena itu bentuk penjagaan manusia terhadap hartanya. Wallahualam bissawab [AR]