Nuzula Nailul Faiz Alumnus Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga

Pelestarian Lingkungan Perspektif Tasawuf menurut Yusuf al-Qardhawi (2)

3 min read

Persoalan lingkungan yang sedang menjadi fokus masyarakat dunia akhir-akhir ini tidak bisa lepas dari hubungan alam dan perilaku manusia. Ebiet G. Ade dalam salah satu lagunya, Berita kepada Kawan, merenungkan kenapa tanahnya sering terkena bencana alam.

Ia menduga-duga bahwa bencana tersebut berkaitan dengan kemarahan Tuhan akan tingkah laku manusia yang “salah dan bangga dengan dosa-dosa”, atau berkaitan dengan keengganan alam yang tak lagi mau bersahabat dengan manusia, yang mungkin suka melukainya.

Tindakan manusia terhadap alam tentunya akan berdampak pada bagaimana kelanjutan ekosistem alam. Manusia tidak bisa terus-menerus merasa bahwa tindakannya seolah tidak berarti apa-apa, dan alam hanyalah objek yang menjadi ladang bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya.

Tindakan baik atau buruk manusia terhadap alam kemudian dirasakan sendiri dampaknya oleh manusia. Persoalan tindakan ini memiliki porsi penting dalam Islam melalui kajian ilmu tasawuf.

Ilmu Tasawuf: Hal Ihwal Etika

Ulama-ulama tasawuf seperti Ibn Qayyim dalam Madarij al-Salikin berpandangan bahwa tasawuf itu sepenuhnya tentang akhlak atau etika, tidak kurang dan tidak lebih. Para ulama mengambil fondasinya dari hadis: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan bagusnya/kemuliaan akhlak.” Juga dari beberapa ayat Al-Qur’an seperti dalam QS. al-Nahl [16]: 128.

Ulama menyimpulkan bahwa agama Islam itu pada intinya ada dua, yaitu takwa terhadap Allah dan berbuat baik kepada makhluk-Nya. Pada bagian kedua itulah pelestarian lingkungan mendapatkan porsinya dalam agama.

Pelestarian lingkungan itu memiliki dimensi etis, sehingga oleh karenanya masuk dalam kajian ilmu tasawuf yang memang pada dasarnya berisi persoalan akhlak. Tasawuf menekankan manusia untuk berbuat baik kepada siapa pun dan apa pun, sebagai konsekuensi dari takwa terhadap Allah dan tuntutan untuk berbuat baik terhadap makhluk-Nya.

Baca Juga  Memperkokoh Ideologi Dahlaniyah di Muhammadiyah

Artinya, tasawuf juga mengisyaratkan manusia untuk berbuat baik kepada segala unsur-unsur lingkungan, yakni berbuat baik terhadap manusia, terhadap hewan, terhadap tumbuhan, terhadap air, terhadap udara, dan seterusnya.

Etika yang jadi objek pokok dalam tasawuf merupakan sisi Islam yang juga berstatus sebagai agama muamalah. Sebab, agama bukan hanya soal penegakan hukum-hukum dan syariat belaka dengan mengesampingkan, atau malah di sisi lain memperburuk, hubungan antara makhluk dengan makhluk lainnya.

Agama juga mengatur bagaimana tindakan antarmakhluk itu bisa menghasilkan harmoni dan keseimbangan bagi alam. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 177 dijelaskan bahwa pada hakikatnya kebaikan dalam agama itu berupa baiknya akidah, baiknya ibadah, baiknya akhlak dan suluk, dan ini pulalah yang dimaksud dengan hakikat kebenaran dan ketakwaan.

Dengan begitu, tindakan buruk manusia terhadap alam yang berdampak pada kerusakan lingkungan merupakan problem dalam ilmu tasawuf yang menarik dan perlu untuk dikaji. Persoalannya adalah bagaimana persoalan pelestarian lingkungan dilihat dari kacamata ilmu tasawuf.

Manusia dan Cinta terhadap Lingkungan

Hubungan antara manusia dan lingkungan yang ditekankan agama dan dianggap terindah oleh Yusuf Qardhawi adalah tentang menciptakan perasaan cinta terhadap lingkungan, entah itu terhadap entitas hidup ataupun entitas mati.

Burung-burung dan hewan yang hidup di bumi, misalnya, dipandang oleh agama sebagai sekelompok makhluk hidup yang sama dengan manusia (QS. al-An’am [6]: 38), yang mestinya juga dihormati dan diperlakukan baik oleh manusia.

Agama juga menekankan bahwa manusia bukan satu-satunya makhluk hidup yang bisa beribadah dan bersujud pada Allah. Makhluk apa pun yang ada di bumi dan langit, mulai dari matahari, bulan, gunung-gunung, sampai pohon-pohon, semuanya bertasbih dan beribadah kepada-Nya (QS. Al-Hajj [22]: 18).

Baca Juga  Merangkul Keberagaman Agama: Menumbuhkan Toleransi dan Pemahaman

Sebagai sesama makhluk yang menyembah-Nya, seyogianya manusia menyadari untuk mencintai semua entitas dalam lingkungan hidup dan tidak menganggapnya sebagai “benda mati” belaka yang tidak berakal dan berperasaan.

Nabi Muhammad pernah bersabda kepada kaum muslimin saat melewati Gunung Uhud, “Ini Uhud, gunung yang mencintai kita, dan kita mencintainya.”

Soal hubungan antara manusia dan alam ini, Yusuf Qardhawi membeberkan dua hal tentang bagaimana posisi alam dalam agama yang membuat hubungan keduanya mestinya istimewa.

Pertama, alam dipandang sebagai ayat atau tanda-tanda kebesaran Tuhan. Segala yang ada pada alam ini merupakan tanda keesaan dan kekuasaan Tuhan. Ulama terdahulu bahkan membahasakan bahwa alam merupakan mushaf yang diam, sedangkan Al-Qur’an merupakan mushaf yang berbicara.

Dalam bahasa lain, alam itu kitab yang terlihat, sedangkan Al-Qur’an itu kitab yang tertulis. Agama kemudian memerintahkan manusia mengisi hubungan ini dengan bertafakur, merenung-renung, dan mengambil pelajaran untuk kehidupannya.

Kedua, alam dipandang sebagai nikmat. Selain sebagai ayat kekuasaan Tuhan, alam juga mesti dipandang sebagai bentuk kebaikan Tuhan. Alam memberikan kebutuhan-kebutuhan hidup manusia. Alam memberikan hujan dan air yang menjadi kebutuhan pokok manusia.

Di dalam alam, terdapat udara dan oksigen yang menopang napas manusia dan makhluk hidup lainnya. Matahari dan laut pun bisa menjadi sumber energi bagi kehidupan manusia. Serta banyak lagi bentuk nikmat yang diberikan Tuhan melalui alam yang tak bisa dihitung manusia dengan ukuran dan angka-angka.

Bahkan ulama salaf ada yang menamakan surah al-Nahl dalam Al-Qur’an sebagai surah al-Ni‘am (nikmat-nikmat), karena di sana disebutkan begitu banyaknya nikmat yang diberikan Allah pada hamba-Nya, termasuk di dalamnya kenikmatan dari lingkungan daratan, benda-benda langit atau astronomi (An-Nahl [16]: 12-13), bahari (14-18), dan sebagainya.

Baca Juga  Cadar dan Persepsi Pemakainya di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo

Agama kemudian memerintahkan manusia membina hubungan ini dengan mengambil pelajaran untuk kehidupannya, mengambil kemanfaatannya, dan bersyukur pada Tuhannya. Karena itu, tindakan buruk manusia terhadap alam, dengan usaha untuk mengeksploitasinya secara berlebihan untuk memenuhi nafsu manusia, tentu menyalahi hubungan istimewa antara manusia dengan alam sebagaimana yang dijelaskan di atas.

Manusia mesti menjaga hubungan istimewa itu dengan mengupayakan pelestarian lingkungan dan melakukan perbaikan dari kerusakan alam yang telah dilakukan. Perbaikan terpenting dan paling mendasar yang harus dilakukan adalah kembali memandang alam sebagai sesama makhluk yang istimewa, berakal, serta berperasaan, dan bertindak etis kepada mereka semua. Wallahualam bissawab. [AR]

Nuzula Nailul Faiz Alumnus Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga