Nabi Ibrahim adalah teladan dalam pengabdian dan kasih kepada Allah. Beliau tidak hanya mematuhi perintah Allah, tetapi juga melewati ujian-ujian yang Allah berikan dengan gemilang, bahkan memperoleh predikat mumtaz (nilai sempurna).
Karena itu, beliau dijuluki sebagai Khalil al-Rahman. Sebelumnya, artikel penulis telah menggambarkan kegagalan Nabi Adam dalam menghadapi case test yang diberikan Allah, namun hal itu membentuknya menjadi pribadi yang lebih baik. Tulisan ini akan menyoroti keberhasilan Nabi Ibrahim dalam menghadapi ujian hidup.
Ujian Allah kepada Nabi Ibrahim
Thabathaba’i merujuk pada ucapan Imam Ja’far al-Shadiq menyatakan: “Allah menerima Nabi Ibrahim sebagai hamba sebelum mengangkatnya menjadi nabi, mengangkatnya menjadi nabi sebelum menjadikannya rasul, menjadikannya rasul sebelum mengangkatnya sebagai kekasihNya, dan menjadikannya khalilullah sebelum menjadi seorang imam. Ini terjadi ketika Nabi Ibrahim dengan sukses mematuhi kehendak Allah, menjalani ujian dengan taat terhadap perintah dan larangan-Nya” (Tafsir al-Mizan vol. I).
Nabi Ibrahim telah diuji dengan berbagai pengalaman dan cobaan oleh Allah. Menurut az-Zuhaili, dalam konteks ini, ujian yang dihadapi merupakan sebuah pilihan bagi Nabi Ibrahim antara patuh atau mengingkari. Namun, bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, ujian adalah perintah yang harus dipatuhi.
Nabi Ibrahim tidak hanya menjalani ujian dengan baik, tetapi juga dilakukan dengan sangat baik. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Katsir, ayat ini menunjukkan bahwa beliau menjalankan semua perintah Allah dengan sempurna, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang lain: “Dan juga (dalam kitab) Nabi Ibrahim yang memenuhi dengan sempurna (segala yang diperintahkan kepadanya)” (QS. al-Najm [53]: 37).
Tentang ujian khusus Allah dengan lafaz “بكلمات” (dengan kalimat) menimbulkan beragam pendapat di kalangan para mufasir. Dalam tafsirnya, Ibn Katsir mengutip tujuh pendapat yang berbeda. Salah satunya adalah pendapat dari Ibnu Abbas, yang menyebutkan bahwa Islam terbagi dalam tiga puluh bagian, sepuluh di antaranya terdapat dalam surah al-Taubah ayat 112, sepuluh lagi di awal Surah Al-Mu’minun, dan sepuluh terakhir di surah al-Ahzab ayat 35.
Pendapat lain datang dari Hasan al-Basri, yang menjelaskan bahwa kalimah itu terkait dengan ujian yang Allah berikan kepada Nabi Ibrahim. Pertama, ujian melalui bintang-bintang, matahari, dan bulan. Ibrahim menjalani ujian ini dengan baik dan menyimpulkan bahwa Tuhannya adalah Zat yang Maha Abadi dan tidak akan lenyap.
Kedua, Ibrahim menghadapkan wajahnya kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, sambil mencintai agama yang benar dan menjauhi kebatilan, sehingga tidak menjadi orang yang musyrik. Ketiga, ujian melalui hijrah, di mana Ibrahim meninggalkan negeri dan kaumnya menuju negeri Syam dalam hijrah kepada Allah.
Keempat, ujian melalui api sebelum hijrah, yang menunjukkan ketabahan Ibrahim menghadapinya. Kelima, ujian melalui perintah untuk menyembelih anaknya dan melakukan sunat, yang ia jalani dengan penuh kesabaran.
Ibn Jarir al-Thabari menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “kalimat ujian” mencakup semua pendapat dari para mufassir, kecuali jika didasarkan pada hadits atau ijmak (kesepakatan para ulama). Namun, dalam hal ini, tidak ada riwayat hadis sahih yang menguatkan pendapat tertentu, baik dari satu ahli hadis maupun dari beberapa ahli hadis.
Alasan mengapa Allah tidak menjelaskan secara spesifik berbagai macam kalimat yang diberikan kepada Nabi Ibrahim adalah karena hal tersebut menunjukkan bahwa ujian yang diberikan Allah sangat besar, berat, dan banyak. Meskipun demikian, Ibrahim menjalani tugas dan beban tersebut dengan sangat baik, yang membawanya ke tempat kedudukan yang sempurna di mata Allah.
Menghidupkan Spirit ‘Ibrahim’ dalam Diri
Nabi Ibrahim memperoleh posisi istimewa di sisi Tuhannya, diberi anugerah, namun juga diuji dengan ujian-ujian yang berat. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa seorang yang baik dan dekat dengan Allah mengalami ujian sebegitu beratnya?
Namun, Nabi Ibrahim adalah contoh utama seorang hamba, rasul, dan ayah yang memiliki kebesaran jiwa serta kesungguhan untuk mengorbankan kepentingan pribadi dan keluarganya demi menjalani ujian dari Tuhannya.
Beliau terus menerus menghadapi cobaan, seperti ketika diteror oleh pembesar-pembesar kaumnya karena menyebarkan ajaran tauhid. Bahkan, Nabi Ibrahim dihadapkan pada ujian berat ketika dibakar hidup-hidup oleh penguasa zalim, tetapi Allah menyelamatkannya dengan menjadikan api yang membakarnya menjadi dingin, meskipun api seharusnya panas menurut sifatnya (QS. al-Anbiya [21]: 69).
Ketika istrinya melahirkan setelah penantian selama 86 tahun, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menempatkan mereka di sebuah padang tandus yang sepi, suatu perintah yang tidak masuk akal secara nalar.
Namun, Nabi Ibrahim, dengan ketaatan yang luar biasa, tidak ragu untuk menjalankan perintah tersebut. Meskipun istrinya, Siti Hajar, berusaha mengejarnya, ia tetap pergi menjauh. Akhirnya, Siti Hajar pasrah, menyadari bahwa perintah tersebut adalah kehendak Allah yang tak terbantahkan, dan bahwa Allah tidak akan meninggalkan mereka.
Dari peristiwa itu, tercetuslah hikmah yang luar biasa, yaitu salah satu rukun dari syariat haji: Safa dan Marwa. Selain itu, doa Nabi Ibrahim dikabulkan oleh Allah; lembah tempat istri dan anaknya ditinggalkan menjadi ramai dan bahkan menjadi tempat bersemayamnya hati umat Islam di seluruh dunia (QS. Ibrahim [14]: 37).
Tidak berhenti di situ, ketika anaknya telah tumbuh menjadi remaja, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih Ismail sebagai qurban. Meskipun cinta Nabi Ibrahim kepada Allah begitu besar, melebihi rasa sayangnya pada Ismail, beliau dengan ikhlas melaksanakan perintah tersebut.
Demikian pula, Ismail menunjukkan ketabahan dan kesabaran yang luar biasa, bersedia menjalani ujian itu. Sebagai ganjaran, Allah menggantikan tubuh Ismail dengan domba yang besar (QS. al-Saffat [37]: 102).
Makna yang patut kita petik dari kisah Nabi Ibrahim adalah ketakwaan, tawakal, dan kecintaannya yang luar biasa kepada Allah, bahkan hingga ke tingkat rela mengorbankan segalanya demi Allah semata.
Dalam hal ini, Allah memberikan hikmah luar biasa dan balasan cinta kepada mereka yang meletakkan cinta kepada-Nya di atas segala-galanya. Ini menjadi pelajaran bahwa menghadirkan semangat “Ibrahim” dalam diri kita adalah upaya untuk meneladani ketulusan dan keikhlasan Nabi Ibrahim, tanpa mempertimbangkan kepentingan pribadi, melainkan semata-mata untuk meraih rida dan cinta-Nya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa parameter mencintai Allah adalah sederhana tetapi berat, karena cinta sejati tidaklah terbukti hingga cintanya diuji oleh Allah. Semoga kita semua dapat mengambil inspirasi dari keikhlasan dan ketulusan Nabi Ibrahim dalam mencintai Allah. Wallahualam bissawab. [AR]