Saya memilki kawan yang dulunya sama-sama nyantri di salah satu pondok kawasan Tebuireng, Jombang. Sebut saja namanya Ilman. Ia adalah orang yang berasal dari salah satu perkampungan di Surabaya yang penduduknya gemar melakukan maksiat. Di sana, minuman keras, narkoba, dan perjudian seolah sudah menjadi makan siang wajib bagi mereka.
Melihat kampungnya yang begitu ia tak tinggal diam. Ia pun mengajak mereka pada kebaikan dan menjalankan syari’at Islam sepenuhnya. Namun, cara yang ia pakai sungguh tak lazim. Memang. Cara yang ia pakai cukup berhasil dengan banyaknya anak muda yang tertarik untuk belajar silat, entah itu karena didorong oleh rasa ingin tahu atau jiwa masa remaja yang tengah tumbuh. Bahkan, seorang pemakai sekaligus banda narkoba yang namanya tenar di sana juga turut belajar silat.
Namun, kebiasaan buruk mereka tak langsung ia larang. Ia bergeming saja ketika mereka menenggak minuman keras atau menghisap narkoba di sampingnya. Ia tak pernah membenci dan kemudian mendamprat mereka, sekalipun banyak dari mereka tak pernah tahu apa itu syahadat dan tak pernah kenal apa itu wudhu.
Lalu, apa yang ia lakukan untuk mengenalkan hal-ihwal mengenai Islam? Ia mempraktekkan dan mencotohkan langsung kepada mereka. Ia kerap melakukan sholat di hadapan mereka, entah itu sebelum atau setelah melakukan latihan silat. Awalnya, mereka menyaksikan hal itu dengan biasa. Namun, lama-kelamaan mereka juga terdorong untuk belajar melakukannya. Mereka segan melihat gurunya yang melakukan sesuatu yang tak pernah mereka lakukan. Agaknya karena itulah hati mereka terketuk.
Ia pun mengajari mereka sholat. Ini dimulai dari tata cara wudhu, bacaan wudhu, gerakan sholat hingga bacaan sholat. Dengan kesabaran dan ketekunan, ia akhirnya melihat mereka bisa melakukan sholat. Mengenai rutinitas hanyalah soal waktu saja. Yang penting mereka bisa kenal dan paham itu sholat. Begitu pikirnya.
Ia pun mewajibkan muridnya untuk menghafalkan beberapa surat pendek dalam Alquran sebagai persyatratan untuk memperoleh sabuk warga. Bila belum hafal, mereka tak akan pernah diangkat menjadi warga sekalipun memiliki kemampuan silat yang sudah mumpuni.
Cara berdakwah yang demikian membuat mereka ingin mengenal Islam lebih jauh. Sehingga, beberapa dari mereka kemudian masuk ke pondok pesantren. Ia sungguh senang melihat perubahan itu. Apalagi dengan sosok bandar narkoba tadi yang kini sudah bertaubat dan beralih profesi menjadi supir truk.
***
Sebulan yang lalu saya bertemu dengan Ilman di salah satu warung kopi dekat Pondok Tebuireng. Ia mengenang masa lalunya pada saya sebagai sosok santri yang tak cukup pintar. Ia mengaku sampai sekarang belum bisa membaca kitab kuning dan hanya hafal surat-surat penting dalam Alquran. Ia hanya paham dasar-dasar fiqih untuk ibadah dan tak cukup berani bicara bila berbicara mengenai masalah-masalah lain dalam Islam. Malahan ia justru lebih cakap dalam dunia persilatan yang ia tekuni dulu sewaktu mondok.
Maka, ketika kembali ke kampungnya ia justru menggunakan silat sebagai sarana untuk mendakwahkan ajaran Islam. Alasannya sederhana: ia tak cukup mampu untuk menjadi ustadz. Ia bukanlah sosok yang pandai di depan banyak orang atau bahkan hafal banyak dalil.
Namun, melalui silatlah ia justru dapat menggaet banyak orang menuju kebaikan. Bisa jadi bila ia menjadi ustadz tak banyak orang akan mendekatinya, entah karena rasa segan atau tak pantas. Bisa jadi juga sebaliknya, mereka justru menertawakannya. Begitu pikirnya kemudian.
***
Bagi saya, ada dua hal yang setidaknya bisa kita petik dari cerita Ilman di atas: pertama, pentingnya dakwah secara kreatif. Acapkali dakwah dimaknai sebagai aktivitas kaku yang dilakukan dengan menjelaskan hal-ihwal mengenai Islam yang didukung oleh dalil-dalil dalam Alquran, hadits, dan ijma’ ulama. Pendakwah pun kerap distigma sebagai sosok yang mengenakan peci, baju putih dan berkalung sorban.
Sebenarnya hal itu tak menjadi masalah. Yang menjadi masalah adalah apabila kita tak memahami kondisi sosiologis masyarakat yang akan kita dakwahi. Tanpa memahami hal tersebut, mereka justru dapat mencela atau bahkan alergi dengan kita. Adalah hal yang konyol bila kita menasehati sosok pemabuk secara lansung dengan menjelaskan larangan minuman arak dalam Alquran.
Karena itulah, tentu tak heran apabila Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai sarana untuk berdakwah. Ia paham bahwa masyarakat Jawa sangat gandrung dengan wayang. Dengan menyusupkan ajaran-ajaran Islam dalam pertunjukkan wayang, orang yang mendengar akhirnya kenal apa itu Islam dan lama-kelamaan tertarik untuk masuk Islam.
Kedua, pentingnya berdakwah secara membumi. Apa yang saya maksud di sini adalah dakwah tak sekedar pidato atau ceramah di atas mimbar, melainkan dakwah terjun dan bergumul langsung pada masyarakat. Kita sudah sering melihat dan mendengar banyak pendakwah yang menyiarkan ajaran Islam, gedung, hotel, sekolah, universitas, dan juga media sosial.
Namun, adakah sosok pendakwah yang hidup bersama masyarakat yang mereka dakwahi? Saya kira tak cukup banyak. Mungkin alasannya karena banyak masyarakat Indonesia yang beragama Islam sehingga rasanya tak perlu lagi terjun untuk mewartakan ajaran Islam kepada mereka.
Memang anggapan itu benar adanya, namun melupakan fakta bahwa banyak dari mereka yang Islamnya hanya sebatas pada KTP saja. Artinya, Islam yang mereka pegang hanya sebatas formalitas dan sebenarnya mereka kerap mengabaikan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana masyarakat di kampung Ilman tadi.
Dengan dakwah secara membumi, kita dapat menjalin hubungan yang dekat dan intim dengan mereka. Karena itu, mereka tak menganggap kita layaknya orang asing, melainkan justru sahabat atau saudara. Di sini hal yang perlu dilakukan kemudian bukan hanya menyampaikan apa itu Amar Ma’ruf Nahi Munkar, melainkan juga menunjukkan hal tersebut pada perbuatan secara langsung. Sebab, dakwah itu seperti ilmu yang tak berhenti pada ujaran, tetapi sebagaimana orang Jawa katakan: kelakone kanthi laku.