Salah satu pengalaman menarik selama tinggal di Amerika adalah: saya pernah ngekos di sebuah rumah milik penganut Kristen Anabaptis Mennonite dan tinggal bersama anggota keluarga Mennonite ini selama kurang lebih tiga bulan.
Kepala keluarga, Andrew, adalah seorang difabel. Ia agak susah berjalan setelah kecelakaan sehingga memaksanya pensiun dini dari pendeta. Hidupnya pun disubsidi oleh pemerintah. Meski susah jalan kaki, ia bisa menyetir mobil dan melakukan aktivitas di rumah dan pekarangan: berkebun, mencuci piring, bersih-bersih, masak, dan lain sebagainya. Istrinya, Lisa, adalah seorang guru. Sama seperti Andrew, Lisa juga energik.
Saya perhatikan mereka berdua selalu membuat dan menulis jadwal harian yang sangat ketat. Padahal menurut saya sih cuma itu-itu saja aktivitasnya: joging, asah-asah (mencuci), menyapu, masak, sarapan, makan siang, motong rumput, berkebun, mengunjungi teman, belanja, dan lainnya. Tapi mereka catat semua itu.
Meski fisiknya tak sempurna, Andrew sosok yang riang-gembira dan tak pernah mengeluh dengan keterbatasan fisiknya. Ia jalani aktivitas dengan riang gembira.
Andrew juga sosok yang hobi menjalin pertemanan dengan siapa saja, dari agama dan etnis mana saja. Hampir tiap Minggu, ia mengajak saya ke gereja. Bukan hanya di gerejanya saja, tetapi juga gereja-gereja umat Kristen dari kongregasi/denominasi lain yang dia sendiri tidak familiar dengan tata cara ibadat dan ritualnya.
Pernah saya diajak menghadiri kebaktian di gereja milik kaum Evangelis kulit putih. Pernah pula kami menghadiri ritual dan pengajian di sebuah gereja milik warga kulit hitam (Black Church). Saat memasuki gereja milik warga Afrika ini, kami berdua terasa seperti “bintang tamu” lantaran menjadi pusat perhatian. Saya merasa semua mata memperhatikan kami penuh “curigation”. Dari depan tampak sang pendeta berseru ke kami: “Welcome brothers!”
Selama prosesi ibadah, saya dan Andrew kebingungan karena “gaya” ibadah mereka yang informal dan campur aduk: nyanyian dengan suara keras heroik yang memekakkan telinga diiringi dengan yel-yel dan joget riang gembira, kadang tangisan yang menderu-deru, bahkan kadang jamaah bergulingan di lantai. Pokoknya, ekspresi ibadah yang campur aduk gak karuan kayak nasi rames di Warteg. Waktu itu saya bingung: ini gereja apa diskotik. Suasana ini kontras dengan gereja Katolik atau Mennonite yang saya hadiri, yang terkesan formal, khusuk, sakral, dan penuh khidmat.
Bukan hanya ke komunitas Kristen, Andrew juga pernah mengajak saya menemui masyarakat Muslim Kurdi di Virginia. Komunitas Kurdi ini diungsikan dan diselamatkan oleh PBB akibat kekejaman mendiang rezim Saddam Husein di Irak dulu.
Oleh komunitas Mennonite, warga Muslim Kurdi ini dibantu dicarikan tempat tinggal dan pekerjaan. Gereja-gereja Mennonite juga mengumpulkan donasi pakaian, selimut atau apa saja yang masih bisa dipakai untuk warga Kurdi ini, karena mereka diungsikan PBB ke AS dalam kondisi ala kadarnya.
Tarik, salah satu warga Kurdi yang berprofesi sebagai supir truk, mengekspresikan rasa terima kasihnya kepada Mennonite. Dia dan keluarganya waktu itu menjamu kami dengan makanan ala Kurdi yang kami santap dengan lahap karena rasanya yang asoi dan maknyos.
Apapun agama kalian, hubungan silaturahmi dan pertemanan dengan umat lain—baik umat beragama maupun bukan—harus tetap dijaga dan tak boleh sirna. [AS, MZ]