Ramadhan telah usai, Yang berkesan selama Ramadhan tahun ini badalah ketika anak laki-laki kami mengunggah status di akun media sosialnya. Bukan tentang anime, meme, design atau issue yang sedang hangat di lingkar pertemanannya, tapi tentang Alquran. Ia membaca Alquran digital, berbeda dengan ibunya yang tetap lebih nyaman membaca Alquran dalam bentuk kertas, dengan sepotong lidi sebagai pembatas.
“Jadi gw iseng2 buka website Qur’an punya Kemenag (biasanya gw pake Quran.com). Ternyata gw baru tau di websitenya itu ada pedoman Bahasa isyaratnya. Base-nya pun juga pake bahasa isyarat arabic, bukan sibi atau bisindo”
Informasi inipun baru saya ketahui, berbeda dengan Alquran dengan huruf braile yang telah ada sejak 1984. Maka, kemudian sayapun berselancar di website https://quran.kemenag.go.id/
Alquran Bahasa isyarat tersebut disusun dengan melibatkan 12 tim pakar dari lembaga yang selama ini membina dan mendampingi para penyandang disabilitas rungu dan wicara. Disusun selama tiga tahun (2020-2022), mulai dari membuat pedoman membaca hingga membuat mushaf 30 juz. Didalam situs ini kita dapat mengunduh atau membaca Pedoman Qur’an Isyarat, Panduan Qur’an Isyarat, Juz Amma Metode Kitabah, mengunduh font isyarat sampai video edukasi PDSRW (Penyandang Disabilitas Sensorik Runggu Wicara). Membaca panduan Quran Isyarat ini membuat hati sesak terharu, betapa lamanya teman-teman ruwi (rungu wicara) bisa mengakses Alquran.
Hak Keagamaan Penyandang Disabilitas
UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai “setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Kemudian diklasifikasikan ragam Penyandang Disabilitas meliputi: (1) Penyandang Disabilitas fisik; (2) Penyandang Disabilitas intelektual; (3) Penyandang Disabilitas mental; dan/atau (4) Penyandang Disabilitas sensorik. Seseorang dapat menyandang satu ragam disabilitas (tunggal), ganda bahka multi disabilitas.
Sebelumnya disabilitas dinilai sebagai kecacatan, yang pendekatannya lebih pada belas kasihan, bukan pada pemenuhan hak secara khusus agar mereka bisa menikmati hak dasarnya. “Mereka sama dengan kita, yang berbeda cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan” ujaran dari seorang kawan penyandang disabilitas ini selalu saya ingat. Saya beruntung pernah berinteraksi dengan beberapa orang penyandang disabilitas netra. Melaluinya mereka saya mengetahui kekuatan telinga untuk mendengar dan kepekaan kulit untuk merasa. Saya mengakui profesionalitas psikolog anak kami saat balita yang penyandang disabilitas. Saya juga bekerja erat dengan penyandang disabilitas runggu dan belajar banyak kepadanya.
Disabilitas netra, rungu dan atau wicara termasuk dalam penyandang disabilitas sensorik, mereka yang terganggu salah satu fungsi dari panca indera. Disabilitas netra adalah orang yang memiliki akurasi penglihatan kurang atau sama sekali tidak memiliki daya penglihatan. Sementara, Disabilitas rungu wicara (ruwi) merujuk pada kondisi ketidakfungsian organ pendengaran atau hilangnya fungsi pendengaran dan atau fungsi bicara baik disebabkan oleh kelahiran, kecelakaan, maupun penyakit. UU Penyandang Disabilitas menjamin hak penyandang disabilitas dengan berbagai ragamnya, yang dalam konteks Alquran Isyarat ini adalah bagian dari hak keagamaan.
Saya mencoba mengingat, dari berbagai tulisan tentang hak kebebasan beragama/berkeyakinan, apakah saya pernah menyoal isu disabilitas? belum. Saya lebih banyak berkutat di issue hak keagamaan perempuan, hak anak, dan kelompok agama minoritas. Padahal forum internum dan forum eksternum juga melekat pada mereka, dalam arti seluruh jaminan hak kebebasan beragama/berkeyakian, baik dalam lingkup internum maupun ekpresi keagamaanya juga hak penyandang disabilitas.
UU Penyandang Disabilitas menjamin secara khusus Hak Keagamaan penyandang disabilitas, meliputi: (i) memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya; (ii) memperoleh kemudahan akses dalam memanfaatkan tempat peribadatan; (iii) mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya; (iv) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan pada saat menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya; dan (v) berperan aktif dalam organisasi keagamaan. (Pasal 14). Juga memastikan bangunan gedung yang memiliki fungsi keagamaan untuk mudah diakses oleh Penyandang Disabilitas (Pasal 98).
Dalam Pedoman Mushaf Membaca Al-Qur’an bagi Penyandang Disabilitas Sensorik Rungu Wicara yang disusun oleh PDSRW dan diterbitkan Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama RI pada 2022 ini, diakui bahwa penyandang ruwi memiliki kemampuan berbeda dalam mendengar, baik yang tidak dapat mendengar suara seluruhnya atau sebagian, sehingga menggunakan komunikasi secara berbeda. Baik komunikasi secara verbal, isyarat maupun total.
Adanya keragaman pendekatan dan metode dalam membaca mushaf Alquran (isyarat, oral, dan komunikasi total), belum adanya standardisasi cara membaca mushaf Alquran dan merespon keinginan penyandang ruwi untuk mendapatkan aksesibilitas dalam membaca mushaf Alquran, maka dilakukan upaya penyamaan persepsi dan kesepakatan dalam bentuk Pedoman Membaca Mushaf Al-Qur‘an Isyarat. Hadirnya pedoman, panduan sampai Alquran Isyarat yang juga dapat diakses melalui berbagai aplikasi, menunjukkan upaya pemenuhan kewajiban negara, melalui Kementerian Agama untuk memenuhi hak: “mendapatkan kitab suci dan lektur keagamaan lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhannya” sebagaimana dimandatkan UU Penyandang Disabilitas.
Selain aksesibilitas kitab suci sesuai ragam disabilitas, yang perlu disusun panduan -mungkin sudah ada- adalah shalat Ied yang ramah penyandang disabilitas, termasuk khotbah dengan juru bahasa isyarat. Selain itu adalah aksesibilitas bagi pengguna kursi roda. Saya ingat, di kompleks perumahan saya baru dimungkinkan penyediaan kursi bagi lansia, namun untuk design masjid masih penuh dengan undakan tetap menyulitkan bagi pengguna kursi roda. Maka, menjadi pekerjaan selanjutnya adalah memastikan mesjid ramah disabilitas.
Sedangkan untuk Alquran Isyarat, selepas penyusunan panduan dan design website yang cantik, adalah mendiseminasi baik kepada masyarakat umum, orangtua dan komunitas-komunitas penyandang disabilitas sendiri. Tentu juga melatih ustadz/ustadzah untuk membaca Alquran Isyarat. Saya sungguh mengapresiasi Kementerian Agama yang menjalankan kewajiban konstitusinya ini. Seperti pernyataan di akhir postingan bujang “Semoga bisa ngebantu saudara rungu wicara untuk membaca Alquran. Amin”