Rasionalitas Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad

2 min read

Isra’ mi’raj merupakan peristiwa besar  yang pernah dialami Nabi saw semasa beliau hidup. Peristiwa tersebut diabadikan dalam Alquran pada surat al-Isra’/17 ayat pertama yang artinya “Maha suci Allah, yang telah menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. al-Ira’/17: 1).

Pengertian dari isra’ mi’raj itu sendiri juga sudah tertera sebagaimana dalam ayat di atas. Yaitu, perjalanan Nabi saw pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan naik (mi’raj) ke Sidratul Muntaha menghadap Allah swt. yang pada akhirnya Nabi saw beserta umatnya mendapatkan perintah untuk mendirikan shalat lima waktu.

Para ulama berbeda pendapat terkait peristiwa di atas. Ada yang berpendapat, kejadian tersebut dilaksanakan Nabi saw tiga tahun sebelum hijrah, sebagian yang lain mengatakan satu tahun sebelum hijrah. Sementara terkait tanggal dan bulan, mayoritas para ulama mengatakan dengan detail kejadian itu terlaksana pada bulan Rajab tanggal 27 yang pada tanggal inilah sebagian besar umat Islam memperingati peristiwa bersejarah tersebut.

Meski demikian, peristiwa besar yang setiap tahun diperingati oleh sebagian besar umat Islam ini masih diragukan oleh sebagian umat Islam sendiri. Mereka mempertanyakan rasionalitas peristiwa tersebut. Bagaimana mungkin, seorang Muhammad dengan segala keterbatasan akses pada saat itu dapat melakukan perjalaan tersebut hanya satu malam.

Mengingat jarak tempuh antara Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina) yang menghabiskan banyak waktu, belum lagi naik ke langit ketujuh. Tidak hanya itu, apakah Nabi saw di-isra’ kan hanya dengah ruh saja atau ruh dan badannya sekaligus. Hal ini juga turut menjadi pertanyaan besar yang perlu diungkap.

Baca Juga  Bulan Asyhurul Haram: Bulan yang Dimuliakan Allah

Realita di atas, tak ubahnya dengan masyarakat Arab Jahiliyah saat itu yang juga berpandangan demikian. Mereka saling mempertanyakan perihal rasionalitas isra’ mi’raj. Karena peristiwa tersebut, ada sebagian dari pengikut Nabi saw yang akhirnya meninggalkan beliau. Sebenarnya peristiwa besar ini dapat dijelaskan dengan seksama, sehingga peristiwa ini bukan irasional melainkan peristiwa yang rasional jika kita memahami ayat Alquran yang menjelaskan peristiwa tersebut.

Pertama, Alquran ketika menyebutkan segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa atau suatu hal yang besar dan istimewa akan didahului dengan redakasi “subhana“. Seperti dalam Qs. al-Baqarah/2: 32, tentang Allah yang mengajarkan kepada manusia perihal segala sesuatu yang ada di depannya, QS. al-Baqarah/2: 116 yang membicarakan segala yang ada di langit dan di bumi semua miliki Allah, dan lain sebagainya.

Begitu pula dalam peristiwa isra’ mi’raj yang juga diawali ayat dengan redaksi “subhana“. Satu hal yang dapat diambil dari beberapa pertanyaan di atas telah terjawab dalam penjelasan ini. Andaikata Nabi saw ketika isra’ mi’raj hanya dengan ruh semata, dalam istilah lain hanya dalam mimpi, tentunya peritiwa itu ‘tidak istimewa’ dan tidak menjadi trending topic saat itu. Akan tetapi demikianlah yang terjadi, Alquran mengawali dengan redaksi “subhana” yang mengisaratkan peristiwa itu terjadi dan dilakukan Nabi saw dengan jasad beserta ruhnya.

Kedua, Nabi Muhammad “dijalankan” bukan “berjalan” sendiri. Dalam ayat tersebut, Nabi saw tidak melakukan perjalanan sendiri, melainkan “dijalankan” oleh Allah swt. Hal ini tentu berbeda antara redaksi keduanya. Jika yang digunakan redaksi “berjalan” sendiri, itu terasa mustahil. Karena jika seorang manusia berjalan dengan kecepatan cahaya, niscaya tubuhnya akan hancur.

Baca Juga  Filsafat Jawa: Jalan Kesempurnaan Hidup  

Akan tetapi berbeda dengan redaksi “dijalankan”. Penggunaan redaksi ini jelas mengindikasikan bahwa Nabi saw tidak melakukan isra’ dan mi’raj dengan keinginan beliau sendiri, melainkan atas perintah Allah swt dan yang sekaligus “menjalankannya”.

Ketiga, fakta sejarah. Banyak riwayat yang mengatakan, pasca diceritakannya peristiwa isra’ mi’raj oleh Nabi saw kepada masyarakat Arab. Di situ ada sebagian sahabat yang membenarkan dan sebagian lainnya tidak membenarkan dan mengingkari peristiwa itu. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang murtad.

Karena menurut mereka isra’ mi’raj yang dilakukan Nabi saw merupakan hal irasional sehingga Nabi saw dianggap berbohong. Pada dasarnya realita ini, untuk umat saat ini, justru membenarkan bahwa peristiwa isra’ mi’raj pernah terjadi. Karena menjadi trending topic pada saat itu.

Sementara sebagian sahabat yang mengimani peristiwa itu, sebagian riwayat mengatakan “tidak secara langsung” membenarkan cerita Nabi saw. Bahkan, konon sahabat Abu Bakar yang mendapat gelar ‘as-Shiddiq’ karena membenarkan cerita Nabi saw tersebut tidak serta merta menerima kisah yang diceritakan Nabi saw. Sebelumnya, ia menanyakan bukti-bukti rasional yang dapat diterima. Seperti, bagaimana ciri-ciri fisik Masjid al-Aqsa, dan yang lainnya.

Dari ketiga hal di atas, (dan masih ada banyak bukti lain) dapat dikatakan, dan menjadi dasar, bahwa peristiwa besar isra’ mi’raj Nabi saw yang terjadi  pada masa itu dilakukan secara sadar dengan keikutsertaan jasad dan ruh beliau. Semoga dengan penjelasan peristiwa ini dapat menambah keimanan kita semua. Aamiin.. (mmsm)