Suatu malam, seorang lelaki berusia 40 tahun tengah serius menatap layer TV Digitec berukuran 17 inch di ruang keluarga sebuah rumah berukuran 4×3 meter dengan ubin berwaraa kuning. Ia tak peduli dengan dua anaknya yang juga tertidur di ruangan yang sama. Sesekali ia menggerutu seakan mengomentari tayangan yang dilihatnya. “Kok begitu banget sih! Itu presidennya ada-ada saja,” gumamnya.
Tak disadarinya keluhannya berkali-kali itu membangunkan saya, anak pertamanya. Kemudian, saya ikut bersama ayah menonton tayangan Metro TV. “Itu namanya Andi Malarangeng, dia anak muda yang pintar,” sambil menunjuk ke arah pria berkumis. Di acara itu ada satu narasumber lain lagi, tapi saya tak bisa mengingatnya. Sebab, ayah saya sangat kagum dengan Andi Malarangeng sampai ia akhirnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ketika saya dan ayah akhirnya menonton TV, Ibu saya entah dari ruangan mana menegur kami berdua. Seingat saya, ia berbicara begini, “Sudah malam, TV-nya matikan. Besok juga ada lagi, politik mah gak ada habisnya.”
Ayah saya sangat suka dengan politik. Untuk memenuhi minatnya terhadap politik, kami sempat berlangganan harian kompas. Saya pun diajari membaca oleh ayah dan ibu dengan menggunakan berita di surat kabar tersebut. Bedanya, ibu saya tak begitu peduli dengan politik. Maka sangat wajar, ibu saya berkomentar demikian kepada kami yang sedang menyaksikan demonstrasi dan menunggu pembacaan dekrit oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Saya tak ingat hari dan tanggal saat itu, belakangan saya baru mengetahui hari dan tanggal tersebut adalah Minggu, 22 Juli 2001. Ya, saat itu saya baru berusia 6 tahun 10 bulan dan baru saja naik ke kelas dua Sekolah Dasar (SD). Tak banyak ingatan saya tentang peristiwa yang ternyata sangat besar dan menentukan dalam sejarah Indonesia.
Kembali ke ayah saya, mungkin sebagaimana mayoritas rakyat saat itu yang terpengaruh oleh media arus utama. Ia juga menjadi tak senang oleh Gus Dur. Hal itu diceritakannya saat menonton pembacaan dekrit itu, mulai dari kerja sama dengan Israel hingga kasus Ajinomoto. Mengenai Israel, ayah saya berkomentar, “Gak habis pikir sama Gus Dur. Dia kan Kiai, masa mau kerja sama dengan Israel, harusnya dengan Palestina. Wajar jadinya banyak yang marah dan mau Gus Dur turun (dari jabatannya-pen).”
Sayangnya, saya juga tak ingat apa ayah saya menyinggung kasus Bruneigate dan Buloggate pada saat itu. Sambil sesekali menguap, ayah saya semakin serius ketika Gus Dur dan seseorang yang mengenakan peci—beberapa tahun kemudian saya baru tahu kalau itu adalah K.H. Yahya Cholil Staquf—membacakan dekrit.
Ayah saya semakin menggerutu setelah mendengar dekrit tersebut. Terutama tentang pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menurutnya tidak masuk akal. “Ini bagaimana sih Gus Dur? Kan DPR yang pilih dia jadi presiden, kok malah DPR yang dibubarin,” selorohnya.
***
Beberapa bulan sebelumnya, saat saya bermain dengan teman-teman sekelas dan juga tetangga mempunyai lagu yang sangat mudah diingat. Saya ingat betul teman saya yang mengenalkan lagu itu bernama Okta Rizal Abdul Razik Karami, dia ketua kelas di kelas saya. Begini kira-kira liriknya: Bintang ditendang, Masuk ke rumah orang, Membawa kabar PKB dan Gus Dur menang.
Kalau kami pulang sekolah, sering kami menyanyikan lagu itu. Saya dan Okta juga mungkin tak mengerti banyak soal kenapa dan apa maksudnya kami menyanyikan lagu itu. Satu alasannya; enak didengar. Ternyata, setelah saya menonton acara Tralala Trilili di RCTI yang dipandu oleh Indra Bekti dan Agnes Monica, lagu yang kami nyanyikan itu berasal dari lagu berjudul Bintang yang dinyanyikan oleh Air Band. Begini liriknya: Bintang di langit, Kerlip engkau di sana, Memberi cahanya di setiap insan.
Sampai hari ini saya tak tahu siapa yang pertama kali mengubah lirik lagu itu. Tak hanya lagu, di sepanjang jalan saya pulang, ada banyak spanduk ucapan terima kasih kepada Gus Dur. Terutamanya di tembok Sekolah Menengah Pertama (SMP) 187 dan beberapa gang yang berada dekat sekolah, begitu juga di dekat rumah Okta dan saya.
Ketika saya membaca harian kompas milik ayah, ternyata musababnya adalah Gus Dur menaikan gaji guru hingga 270 persen untuk golongan gaji terendah dan 100 persen untuk golongan tertinggi. Pantas saja begitu banyak spanduk Gus Dur, terlebih lingkungan rumah saya itu mayoritas guru, termasuk kedua orang tua Okta.
Saya mengingat di daerah tempat saya tinggal seolah menjadi die hard Gus Dur. Bahkan ketika ada seorang teman saya lainnya bercanda dengan mengatakan Gus Dur itu buta, sejurus kemudian ia dilaporkan ke Ketua Rukun Tetangga (RT).
Tak banyak lagi yang saya ingat tentang Gus Dur di masa kecil saya, selain libur sekolah selama sebulan di bulan ramadan. Saya juga tak ingat, kapan dan apa penyebab lingkungan rumah saya kemudian tak lagi menjadi pendukung Gus Dur kala itu.
***
Hampir dua puluh tahun dari dua kejadian itu, saya merasa beruntung dan masih tak menyangka bisa menuliskan sejarah tentang Gus Dur. Terlebih keluarga kami, dengan segala kerendahan hati, tak berani mengklaim keluarga NU. Kendati ayah saya kecil, ia mengaku pernah di menjadi santri Mathlatul Anwar Linahdatil Ulama (MALNU) meski hanya tiga tahun.
Meski saya menulis dan menerbitkan buku Menjerat Gus Dur, ayah saya tak langsung tahu kabar itu. Stroke yang sudah dideritanya selama dua tahun membuat saya lebih berhati-hati; memberi informasi yang berpotensi menjadi beban pikirannya. Saya meminta adik saya untuk menutup mulut akan hal itu.
Ayah saya baru mengetahui kalau saya menulis tentang Gus Dur, satu bulan setelah Idul Fitri 2020. Lantas kami pun terlibat dalam sedikit percakapan tentang Menjerat Gus Dur. “Jadi dulu itu Gus Dur gak salah ya?” ia merespon cerita saya.
“Kalau sudah tahu tidak salah, mau diapakan?” katanya sedikit terbata-bata. Kalau bisa, saya menjawab, data dan fakta yang ada di buku Menjerat Gus Dur masuk dalam kurikulum sejarah di sekolah. “Tapi itu bukan tugas utama Dika lagi, itu biar menjadi tugas untuk teman-teman di Nahdlatul Ulama (NU),” tambah saya.
“Selalu hati-hati,” tutup Ayah saya.