Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung

Menghancurkan Hegemoni Nafsu Ketika Berpuasa

2 min read

Teman sekantor saya sering menggoda teman lain yang sedang puasa senin kamis dengan mengatakan “aah puasa nafsu itu”. Bukan itu saja, ia juga bercanda, kenapa ia puasa? Karena nafsunya besar dan perlu ditundukkan, makanya ia puasa. Gurauan keakraban ini memang terlihat sederhana dan sekedar basa-basi semata, namun jika dipikirkan secara mendalam maka akan dalam juga.

Siapa memang yang bebas dari belenggu nafsu keduniaan. Berburu harta, kekuasaan, kebanggaan akan anak, pemenuhan libido seksual menurut al Quran sendiri adalah hiasan dunia. Karena ia hiasan maka semestinya memperindah wajah dunia, bukan malah menjadi sesuatu yang menakutkan. Artinya, nafsu adalah anugrah yang semestinya menjadi sumber energi dan inspirasi dalam memajukan peradaban.

Puasa hadir sebagai instrumen pencerahan terhadap jiwa yang dikotori oleh hegemoni nafsu yang mengejawantah dalam dua bentuk, yaitu hedonisme dan seksualitas. Nafsu konsumtif refleksi gaya hidup hedonis yang penuh keserakahan akan dunia, sementara nafsu seksualitas refleksi keangungan dan keangkuhan.

Penaklukan keduanya atas akal sehat dan nurani menjadikan manusia mabuk kepayang, tidak mampu mengontrol panca indranya, mulutnya selalu mengeluarkan bisa beracun yang akan menyakiti siapa saja yang mendengar, matanya tertutup katarak keserakahan, telinganya tersumpal bisikan-bisikan setan, otaknya dipenuhi makar.

Manusia yang berada dalam hegemoni nafsu akan kehilangan banyak hal bernilai dalam dirinya. Kehilangan kasih sayang, sensitivitas nuraninya luntur, kepekaan sosialnya lumpuh, kontrol dirinya lemah, bahkan merasa cuek atas kehadiran Tuhan dalam hidupnya.

Boleh jadi kehidupan ekonominya makmur, karier politiknya melejit, status sosialnya tinggi, namun grafik iman dan taqwanya terus menurun. Bisa jadi karier akademiknya melejit, tapi level pelit dan kikirnya menyusul grafik akademiknya. Boleh jadi status religiusitasnya sebagai seorang ustadz membesar, namun juga diiringi dengan membesarnya volume kesombongannya.

Baca Juga  Lebaran bersama Muhammadiyah dan NU

Hegemoni setan atas manusia merasuki seluruh aspek kehidupan manusia. Bahkan hegemoni nafsu syaitoniyyah ini juga masuk dalam bilik-bilik spiritualitas yang semestinya mencerahkan. Beberapa penelitian mahasiswa saya yang membandingkan pakaian syar’i antara tuntutan agama dan trend menunjukkan bahwa mode dan keglamouran lebih menjadi perhatian dibanding kewajiban menutup aurat. Lebih parah lagi manusia berani memperjual belikan ayat demi kepentingan mobilitas diri untuk meraih dunia dalam genggamannya padahal ia sedang puasa.

Dengan demikian, puasa bukan masalah tidak makan, tidak minum, tidak menyalurkan seksualitas, tetapi, lebih dari itu, ia mensucikan hati, pikiran, lisan dan perbuatan yang selama ini dalam hegemoni setan. Kata Bimbo, hati adalah cermin, jika kita dekat maka ia dekat, jika kita menjauh maka ia juga menjauh.

Cermin yang dikuasai setan akan menjadi kotor dan tidak akan mampu memantulkan cahaya, begitu juga hati yang kotor oleh prilaku syaitoniyyah tidak akan bisa menyinari pikiran, lisan dan perbuatan. Meskipun melaksanakan puasa, namun puasanya adalah sia-sia, yang didapat hanya lapar dan dahaga.

Puasa adalah ibadah yang bukan saja bersifat jasmani, yang lebih penting dari itu adalah ruhani. Bukan menghilangkan nafsu karena itu tidak akan mungkin, tetapi menahan dan mengelolanya, wa naha an nafsa ‘anil hawa (79;40). Rasulullah sendiri menyampaikan bahwa Alloh tidak akan menganggap orang yang meninggalkan makan, minum dan aktivitas seksual jika tetap saja berdusta dalam puasanya. Ada beberapa indikator yang menunjukkan bagaimana kualitas puasa kita mampu mencerahkan kehidupan kita, baik personal maupun sosial.

Para ulama membagi level puasa menjadi tiga bagian yang berjalan secara kronologis sebagai sebuah alur grafik perjalanan puasa selama sebulan. Tentu yang diharapkan adalah meningkatnya grafik kesalehan dan mendepak hegemoni setan. Setan itu ibarat virus Tubercolosis yang memiliki cangkang, untuk membunuhnya harus mengikis cangkangnya supaya penyakit yang bersembunyi didalamnya bisa dibunuh.

Baca Juga  Feminisme Gus Dur: Dari Pemikiran sampai Tindakan (1)

Sepuluh hari awal yang secara teknis menjadi masa penyesuaian diri secara fisik dengan perubahan gaya hidup yang dijalani. Sepuluh hari berikutnya adalah fase di mana puasa bukan lagi sekedar jasmaniah namun sudah bersifat psikologi atau ruhaniah. Sedangkan level sepuluh hari terakhir dari ramadhan merupakan kebebasan jasmani dan ruhani dari hegemoni nafsu syaitoniyyah.

Fase-fase ini adalah tahapan realistis ajaran yang jika dilaksanakan akan mengantarkan seorang yang berpuasa pada tahap kemerdekaan diri. Kehidupannya dikendalikan dan dikontrol oleh hati Nurani dan akal sehatnya bukan oleh cengkraman nafsu syaitoniyyah.

Karena itulah disabdakan bahwa seseorang yang menegakkan puasa dengan iman dan taqwa makai akan keluar dari Ramadhan sebagaimana seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya. Kondisi ini akan terjadi jika kita menjadikan puasa sebagai anugrah yang diharapkan, bukan kewajiban yang terpaksa dilakukan. Kalau kita cermati, mayoritas dalil tentang puasa menerangkan tentang substansi dari puasa, karena memang fiqh puasa secara teknis amatlah sederhana.

Jangan sampai puasa kita menjadi puasa jasmani yang sia-sia belaka, yang hanya menggugurkan ketentuan fiqh menahan lapar dan dahaga, namun harus puasa yang mampu mencerahkan ruhani, menggapai puncak spiritualitas berupa kebijaksanaan hidup. Puasa yang secara esensi menumbuhkan kemanusiaan, akhlak mulia, kepedulian sosial, rasa kasih sayang, tahu diri, dan selalu merasa ditemani Alloh sebagai buah dari Taqwa. Puasa adalah sarana pencerah jiwa yang mestinya mampu membebaskan pelakunya dari hegemoni setan yang destruktif bagi peradaban dunia. (MMSM)

Aji Damanuri Dosen IAIN Ponorogo; Sekretaris Majlis Tarjih dan Tajdid PDM Tulungagung