Halya Millati Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Feminisme Gus Dur: Dari Pemikiran sampai Tindakan (1)

1 min read

Sumber: Gusdurian.net

Selain pamornya yang mentereng sebagai Bapak Plurarisme Indonesia, kiprah Abdurrahman Wahid di ranah kesetaraan gender juga tidak kalah berarti. Semangat kemanusiaan tokoh yang akrab disapa Gus Dur ini sungguh besar dalam memutus belenggu ketidakadilan yang sejak lama menyentuh aras relasi laki-laki dan perempuan, terutama di Indonesia. Ia tak hanya berpemikiran feminis, tapi juga memanifestasikan pemikirannya itu dalam kehidupan. Feminisme Gus Dur inilah yang penting disorot kembali untuk diteladani. Karena ia menggagas pemikiran kesetaraan gender sekaligus mempraktikkannya.

3 Asas feminisme Gus Dur

Dalam Revitalisasi Spirit Pemikiran Etika Gus Dur anggitan Faizatun Hasanah disebutkan tiga hal yang kemudian menjadi asas pemikiran Feminisme Gus Dur. Tiga asas tersebut ialah pertama, bahwa manusia –perempuan dan laki-laki- adalah tokoh mandataris untuk menjadi penanggung jawab bumi. Kedua, manusia  menempati posisi tertinggi dibanding makhluk Tuhan yang lain. Ketiga, manusia diberi kemampuan intelektual untuk menumpas masalah kemanusiaan. Tiga asas ini juga disebut dengan prinsip humanisme Gus Dur.

Tiga asas itu bila dipersempit lagi tampaknya berporos pada satu hal, yakni peran manusia sebagai khalifatul ard (khalifah di bumi). Sebagaimana yang ia sampaikan dalam Pergulatan Agama, Negara, dan Kebudayaan, bahwa manusia sebagai khalifatul ard berarti ia harus menjalankan fungsinya sebagai penanggungjawab, pengatur, dan penjaga kesejahteraan penduduk bumi, yang itu artinya ia diberi mandat untuk menjalankan tugas sosialnya. Sehingga, tidak boleh melibatkan rasa egois, mementingkan diri sendiri.

Gus Dur menjadikan Nabi Saw sebagai teladan dalam menjalankan tugas sosial ini. Berdasarkan apa yang tersebut dalam Al-Quran, bahwa Nabi adalah sosok penebar kasih sayang pada semesta (QS. Al-Anbiya’ [21]: 107). Kasih sayang itu diejawantahkan oleh Nabi dalam kehidupan yang sejahtera, setara, dan humanis. Demikianlah manusia seharusnya. Menjalankan tugas sosial mesti dengan prinsip humanis, setara, dan sejahtera.

Baca Juga  Pelarangan Salat Jumat, Siapa Salah?

Berlandaskan tiga asas itu, perlindungan terhadap harkat martabat seluruh manusia harus ditegakkan, serta pengembangan potensi dioptimalkan. Maka, seseorang bisa lebih bebas untuk menggali potensi yang ada dalam dirinya tanpa dihantui rasa cemas terhadap ancaman atau stigma orang lain hanya karena perbedaan kelamin. Di sisi lain, seseorang dapat menjaga kehormatannya dari segala perilaku yang menyimpang.

Dalam sumber lain, feminisme Gus Dur berdiri atas dua pondasi. Pertama, Nasioanlis, yakni sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Kedua, Teologis, yakni 5 pilar maqashidus syariah yang digagas Al-Ghazali, yang secara berurutan meliputi; hifdzud din (penjagaan agama), hifdzun nafs (penjagaan nyawa), hifdzul ‘aql (penjagaan akal), hifdzul mal (penjagaan harta), dan hifdzun nasl (penjagaan keturunan). 5 pilar ini kemudian yang Gus Dur sebut sebagai prinsip Universalisme Islam. Dua pondasi ini semakin memperkuat gagasan Gus Dur tentang kesetaraan perempuan dan laki-laki.

Mendukung Monogami

Semangat Gus Dur dalam memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender tampak saat ia mendukung monogami. Kecenderungannya pada prinsip menogami cukup kentara. Mengutip Mujamil Qomar dalam NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, Gus Dur menunjukkan perhatian secara serius tehadap kondisi perempuan saat itu yang tertekan karena tertimpa berbagai diskriminasi, stigmatisasi, dan subordinasi.

Kondisi tersebut tentu saja juga mencakup ranah domestik, karena asumsi bahwa perempuan sebagai second sex (manusia kelas dua) terlanjur jadi common sense di hampir seluruh lini masyarakat. Hal inilah yang kemudian membuat perempuan tertindas martabatnya. Dan demi meretas ketertindasan itu, Gus Dur dengan tegas menyerukan penghapusan poligami.

Selanjutnya: Femenisme Gus Dur…(2)

Halya Millati Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya