Jamaah yang diizinkan berangkat haji tahun 2022 ini adalah mereka yang berusia maksimal enam puluh lima tahun nol bulan per tanggal 30 Juni 2022. Selain itu mereka juga harus sudah menerima vaksinasi Covid-19 secara lengkap. Melihat usia jamaah haji yang masih terbilang muda, sangat mungkin bahwa jamaah haji perempuan masih banyak yang berada di usia produktif. Jamaah haji perempuan perlu mendapatkan bimbingan ibadah secara khusus terutama yang berkaitan dengan masalah menstruasi.
Status hukum ihram dari miqat umrah wajib, bagi seorang perempuan yang tiba di Mekkah lalu mendadak mengalami menstruasi sebelum melaksanakan thawaf, ihram-nya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Baginya, berlaku semua larangan ihram. Setelah suci, dia bisa melaksanakan thawaf, sa’i dan tahallul. Semua rukun dan wajib haji atau umrah, kecuali thawaf, boleh dilaksanakan perempuan dalam kondisi haid atau nifas.
Apabila terjadi haid setelah thawaf, ia boleh melanjutkannya dengan ber-sa’i, dengan cara memampatkan (menyumpal) jalan darah haid supaya tidak menetes. Apabila sampai saat mendekati hari wukuf di Arafah dia belum selesai menstruasinya, maka jamaah tersebut perlu mengubah niat menjadi haji qiran dengan tetap membayar dam nusuk seekor kambing.
Dengan kata lain, perempuan yang hendak melakukan haji tamattu’ namun terhalang haid sebelum selesai umrah, ada beberapa pilihan. Pertama, menunggu suci kemudian melaksanakan thawaf, sa’i dan tahallul (cukur). Kedua, bila menjelang berangkat ke Arafah belum suci, dia mengubah niat menjadi haji qiran dengan dikenakan dam nusuk satu ekor kambing.
Terkait dengan jadwal kepulangan jamaah haji perempuan yang sedang haid, padahal belum melaksanakan thawaf ifadhah, maka langkah-langkah yang perlu dipertimbangkan dan dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama, menunda thawaf dan menunggu sampai suci jika dia memiliki cukup waktu dan tidak terdesak oleh waktu kepulangan yang sudah diatur oleh Kementrian Agama. Kedua, jika dia harus segera pulang ke tanah air, maka dia bisa meminum obat untuk memampatkan tetesan darah.
Ketiga, mencermati dan melihat kondisi menstruasinya. Mungkin saja ada waktu yang diperkirakan darah haid berhenti dalam durasi yang cukup untuk melaksanakan thawaf. Jika dia mendapati saat-saat bercak darah haidnya berhenti, jamaah perempuan segera mandi haid lalu menutup rapat lubang tempat darah berasal dengan pembalut yang dimungkinkan tidak keluar apalagi menetesi masjid. Selanjutnya dia melakukan thawaf. Jika setelah dia thawaf darahnya keluar lagi, thawafnya sah dan tidak dikenakan denda apapun. Ini salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i.
Keempat, jamaah boleh mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah, yang membolehkan perempuan haid melakukan thawaf tetapi wajib membayar dam seekor unta.
Kelima, mengikuti pendapat Ibnu Taimiyah yang tidak menjadikan suci sebagai syarat sahnya thawaf jika kondisi yang dihadapi jamaah perempuan ini darurat, misalnya, dia harus segera pulang ke tanah air dan menuju ke Madinah berdasarkan jadwal penerbangan yang ada. Dia bisa segera melaksanakan thawaf ifadhah dengan menutup rapat-rapat tempat darah keluar dengan pembalut agar tidak ada setetes pun darah jatuh ke lantai masjid selama dia melaksanakan thawaf ifadhah, sa’i dan tahallul. Jamaah perempuan yang melakukan cara ini tidak dikenakan dam.
Demikianlah beberapa aturan fiqh tentang jamaah haji perempuan yang sedang menstruasi. Semoga informasi ini bermanfaat.[MMSM]