“Perempuan harus menjadi influencer atau aktor-aktor yang aktif menegakkan keadilan dan kesetaraan gender serta menolak semua bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan, aksi radikalisme terorisme, khususnya berbasis agama,” (Musdah Mulia).
Seorang perempuan bercadar membawa senjata api menerobos masuk Istana Negara di Jalan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Oktober 2022 pukul 07.00 WIB. Kejadian serupa yang dilakukan oleh Zakiah Aini yang menyerang Mabes Polri dengan senjata tembak airgun berkaliber 4,5 milimiter, pada 31 Maret 2021.
Polisi menyatakan Siti Elina (pelaku) berjalan dari Harmoni ke arah Medan Merdeka Utara. Dan saat tiba di pintu masuk Istana, dia menodongkan pistol berjenis FN ke arah anggota Paspampres yang sedang berjaga. Perempuan tersebut langsung dibekuk oleh petugas Sat Gatur Polda Metro Jaya yang tengah mengatur arus lalu lintas di sekitar Istana Negara. Barang bukti berupa pistol FN telah diamankan.
Kata pengamat terorisme, kemungkinan Siti Elina sama dengan Zakiah, yaitu aksi lone wolf. Hal tersebut tercermin dari gaya hingga busana yang dikenakan, yakni sama-sama menggunakan cadar. Lone wolf adalah istilah serigala yang terpisah dari kumpulannya atau aksi terorisme yang dilakukan secara independen dan otonom yang memiliki simpati atau mendukung ideologi ISIS. Lone wolf terjadi karena self radicalized atau teradikalisasi sendiri lewat media masa atau online.
Dengan adanya rentetan aksi teror belakangan ini, dapat diartikan bahwa sel-sel paham radikal masih ada, dan menguat dikalangan perempuan. Kelompok teroris menganggap perempuan lebih fleksibel berada diberbagai sektor dan posisi, seperti berperan sebagai informan, kurir, mata-mata, pendidik, perekrut, menjadi pelindung, atau sekadar menjadi pemuas seks para laki-laki teroris. Selain sedikitnya keikutsertaan laki-laki dalam aksi teror, perempuan juga dianggap lebih mudah dipengaruhi terutama mereka yang memiliki masalah keluarga. Kaum perempuan juga dianggap sangat loyal terhadap ajaran atau ideologi agama, lebih militan. Terlebih bagi mereka yang bermasalah dalam rumah tangga, mengalami KDRT atau trauma tertentu, itu akan mempengaruhi perempuan untuk lebih mudah terlibat.
Beberapa alasan rinci mengapa perempuan terlibat aksi teroris radikalisme, di antaranya adalah. Pertama, perempuan lebih leluasa bergerak dan tidak begitu dicurigai oleh aparat keamanan sehingga hal ini yang menyebabkan tingginya keterlibatan mereka dibanding lawan jenisnya.
Kedua, keterlibatan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri memiliki daya tarik tersendiri bagi media massa, sebab bisa memberi efek lebih cepat tersebar dan berita menjadi lebih hidup. Hal ini dikarenakan efek dramatis aksi-aksi yang menggunakan tubuh perempuan sebagai senjata, pada gilirannya akan memperkuat dan mempertebal makna perlawanan yang ditunjukkan oleh aksi-aksi teroris yang mereka lakukan dan meningkatkan simpati kepada mereka.
Ketiga, keterlibatan perempuan dimaksudkan untuk menggugah semangat kaum laki-laki menjadi jihadis. Terakhir, dianggap sebagai indikator dari makin sejajarnya kedudukan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Tidak sedikit dugaan bahwa mereka (sebagian di antaranya masih anak-anak) dimanipulasi oleh para pemimpin mereka yang didominasi laki-laki (Nacos, 2005: 435-451).
Di Indonesia sendiri, dalam rentang waktu 2015-2016 tercatat lebih dari 250 deportan yang separuhnya terdiri dari perempuan dan anak-anak, kebanyakan dari mereka berangkat sekeluarga. Selama Januari-Maret 2017, jumlah deportan sudah mencapai lebih dari 140 orang dan sebanyak 79% di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Umumnya perempuan yang terlibat aksi terorisme adalah para istri dari teroris. Beberapa penelitian lain menyebutkan bahwa kelompok teroris global juga diuntungkan dengan keterlibatan perempuan. Sebab, perempuan bukan hanya bertugas sebagai perekrut, melainkan juga sebagai sel propaganda gratis yang sangat aktif.
Di Indonesia, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sampai Oktober 2016, jumlah narapidana terorisme sebanyak 223 orang. Sejak UU No. 15 Tahun 2003 tentang Terorisme berjalan sudah 9 perempuan dinyatakan terlibat dan memiliki peran dalam kejahatan terorisme, mereka adalah istri pelaku terorisme. Data BNPT menyebut sebanyak 51 orang istri pelaku terorisme akan diikutsertakan dalam program deradikalisasi.
Studi PAKAR menggambarkan betapa posisi istri dimanfaatkan oleh para suami. Tidak hanya itu, Sebagian besar istri tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya itu bantuan untuk kelompok teroris.
Peran perempuan dalam tindakan terorisme terpola ke dalam tiga bentuk (Affianty, 2017: 341-342). Pertama, sebagai pengikut atau pendamping suami. Kedua, berperan sebagai tokoh propaganda dan perekrutan. Biasanya dengan pola rekruitmen melalui hubungan pertemanan dan kekerabatan. Ketiga, perempuan berperan sebagai fighter atau bomber. Kelompok teroris tidak sedikit memanfaatkan para perempuan terpelajar sebagai pelaku bom bunuh diri. Di Indonesia, perempuan pertama sebagai pelaku bom bunuh diri adalah Dian Yulia Novi. Ia mengaku mengalami proses indoktrinasi jihad qital melalui internet yang dilakukan oleh calon suaminya saat itu, Nur Solihin. Nur Solihin sendiri adalah anggota jaringan Bahrun Naim (ketua ISIS di Indonesia).