Manusia adalah makhluk sosial yang tumbuh dan berkembang secara berkelompok. Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa bertahan hidup sendirian. Mereka saling bergantung satu sama lain. Kata Yuval Noah Harari (2018), kebergantungan dan pola hidup berkelompok bukanlah sesuatu yang negatif. Justru di situlah letak kekuatan manusia. Mereka membangun peradaban dan menguasai dunia dengan cara berkelompok dan bekerjasama. Kemampuan bersosial adalah bukti kecerdasan sekaligus kekuatan manusia. Karena itulah, manusia sebagai homo sapiens tetap bertahan hidup hingga sekarang.
Menjauhkan manusia satu sama lainnya adalah hal yang mustahil. Tidak akan pernah berhasil, karena hal itu menyalahi kodrat kemanusiaan. Dalam situasi apapun. Bagi manusia, menjalani hidup yang terisolasi adalah sebuah musibah. Meski hal itu dijalani sebagai upaya untuk menghidari musibah.
Lalu bagaimana dengan himbauan social distancing yang saat ini gencar dikampanyekan untuk menangkal penyebaran virus Corona? Apakah manusia bisa melakukannya? Saya tidak yakin. Yang bisa manusia lakukan hanyalah sebatas physical distancing. Sekadar menjaga jarak fisik. Tidak saling bersentuhan. Tidak terlalu berdekatan. Menghindari kerumunan. Tetapi, secara sosial mereka terus saling berhubungan, terus saling bekerjasama.
Wuhan telah berhasil melewati krisis, dengan cara karantina dan mengisolasi diri secara total. Lockdown. Mereka menutup semua akses ke luar dan ke dalam, melakukan physical distancing secara ketat, menjaga jarak antar manusia. Tapi semua itu tidak akan pernah terwujud tanpa ada kerjasama sosial. Tanpa hadirnya “kerumunan” ide dan keinginan untuk bersama-sama mengatasi krisis. Ada jejaring antara pemerintah, masyarakat, tenaga medis, relawan, dan upaya-upaya integratif satu satu sama lain. Di sinilah inti kemanusiaan: menjadi sebuah masyarakat (society).
Yang berhasil mengatasi krisis Corona bukanlah social distancing, tetapi social integrating. Menyatukan ide dan kehendak untuk mengatasi krisis secara bersama-sama.
Sedihnya, kita belum melihat adanya usaha-usaha integratif dalam upaya menangkal penyebaran Covid-19. Pemahaman kita terhadap virus Corona dan penyebarannya, sebagai sebuah masyarakat, belumlah utuh dan bahkan bisa dibilang masih berjarak. Baik itu jarak informasi dan pengetahuan, maupun jarak respons dan tindakan. Di saat pemerintah menghimbau agar masyarakat melakukan karantina rumah sebisa mungkin, sebagian orang masih bergerak keluar seakan situasi masih normal. Di saat ada himbauan untuk menunda even-even massal, sebagian orang masih melaksanakannya dengan berbagai alasan. Ketika belahan dunia lain menutup tempat-tempat umum dan keramaian, sebagian dari kita membuat tempat-tempat serupa tetap meriah dan ramai.
Kenapa itu terjadi? Salah satunya jelas karena pola pandang kita terhadap penyebaran virus Corona yang berbeda-beda. Dalam kacamata yang sederhana, dan tidak bermaksud melakukan simplifikasi, kita bisa mengelompokkannya dalam dua paradigma: keimanan dan sains.
Paradigma pertama cenderung mengedapankan kekuatan iman bahwa apapun yang terjadi (dan akan terjadi) terhadap manusia adalah kehendak tuhan. “Kenapa harus takut dengan virus? Kita tidak perlu takut kepada apa pun dan siapa pun, kecuali Allah.” Kira-kira begitu statemen yang mewakili pola pandang ini. Tidak ada yang salah dari paradigma yang cenderung mengenyampingkan penjelasan-penjelasan ilmiah ini. Mereka hanya terjebak pada kepercayaan agama dan keimanan yang kuat. Dan perlu dicatat, paradigma semacam ini tak hanya dimiliki oleh kelompok keagamaan tertentu. Contohnya bisa dilihat dari upacara pengukuhan Uskup di Ruteng, Nusa Tenggara Timur (19/3/2020) dan rencana Ijtima Ulama di Gowa, Sulawesi Selatan.
Paradigma kedua lebih mengedepankan penjelasan ilmiah dalam memahami dan merespon penyebaran Covid-19. Bukan berarti mereka tidak mengetahui dalil dan doktrin agama terhadap (penyebaran) sebuah virus, tapi apa yang mereka lakukan lebih berpijak pada uraian ilmiah dan alasan-alasan medis praktis. Mereka taat untuk mencuci tangan sering-sering, mengkarantina diri, mengerjakan kerja dari rumah, work from home, dan tentu saja physical distancing.
Terlepas dari alasan-alasan di atas, kita harus menyadari bahwa physical distancing memang hal yang sulit dilakukan. Tabiat manusia adalah berkumpul. Kodrat manusia adalah bekerjasama, bekerja bersama-sama. Persoalan-persoalan politik, ekonomi, pendidikan, dan budaya, semuanya dilakukan manusia dalam bentuk perserikatan, secara bersama-sama. Kita mungkin sudah sering mendengar ironi yang diucapkan sebagian orang soal karantina dan physical distancing: “Kalau keluar, kita mungkin akan terkena Corona. Tapi kalau tidak keluar, kita bisa mati kelaparan!”
Untuk menghadapi penyebaran Covid-19 jelas kita perlu melakukan physical distancing. Tapi lebih dari itu, kita harus menguatkan social integrating. Menyatupadukan ide dan gagasan untuk menangkal (setidaknya menghambat) penyebaran virus adalah keniscayaan. Kekuatan kita sebagai sebuah masyarakat harus diperkuat. Kita perlu mencontoh bagaimana sebuah masyarakat mampu melewati krisis Covid-19. Erving Goffman (1956) benar bahwa setiap masyarakat punya cara kerjanya sendiri dan perlu ada pendekatan berbeda. Tapi, hampir tak ada yang bisa menyangkal bahwa kekuatan sebuah masyarakat terletak pada kemampuannya kerjasama: dan itu hanya bisa dilakukan jika kita bersatu, bukan berseteru. [mz]