Pancasila yang disahkan pada 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara Indonesia adalah komitmen bersama untuk kejayaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tetapi mengapa masih ada sebagian masyarakat Indonesia yang memperjuangkan ideologi selain Pancasila di bumi Indonesia? Bagaimana upaya mengikis ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945? Dalam sejarah perjalanan Indonesia terdapat ekstrem kanan (yang menghendaki negara Islam, Daulah Islam, atau sistem khilāfah) dan ekstrem kiri (yang menginginkan sistem komunis).
Pada 5 Juli 1948 kaum buruh dipengaruhi Front Demokrasi Rakyat (FDR) dipimpin Amir Syarifudin melakukan pemogokan di Klaten. Lima hari kemudian terjadi bentrokan dengan Serikat Tani Islam Indonesia (STII), organisasi tani Masyumi, yang menentang pemogokan.
Pada 10 Agustus 1948 Amir Syarifuddin menyambut baik kedatangan Musso, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang sejak 1926 bermukim di Moskow, Rusia. Pada 18 September 1948 mereka memproklamasikan Republik Sovyet Indonesia di Madiun. Dengan menguasai Madiun dan sekitarnya, PKI berupaya mendekati ibukota negara, Yogyakarta.
Situasi saat itu sangat mencekam. Perampokan, pencurian, penganiayaan dan pembunuhan terjadi. Di antara sasarannya adalah pejabat pemerintahan, tokoh agama Islam, Masyumi, Nahdlatul Ulama, atau orang kaya yang sudah berhaji.
Umpatan “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati” menjadi slogan PKI. Meskipun pemerintah berhasil menumpas pemberontakan, menguasai Madiun (30 September 1948), menghabisi Musso (31 Oktober 1948), dan mengeksekusi Amir Syarifuddin (19 Desember 1948), namun pengikut komunis masih tersisa. Bahkan R. Soerjo, Gubernur Jawa Timur, dibantai ketika melintasi Ngawi seusai mengikuti peringatan Hari Pahlawan (10 November 1948) di Yogyakarta. (Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, 1984; Mun’im DZ, Benturan NU-PKI 1948-1965, 2013).
Sementara itu, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat menyatakan proklamasi Negara Islam Indonesia (NII) atau Darul Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) dengan memberlakukan hukum Islam, walaupun pada 5 Agustus 1949 Mohammad Natsir telah mengirimkan surat kepadanya untuk mencegah disintegrasi Indonesia.
DI-TII selalu mempropagandakan Islam, tetapi tindakan mereka ternyata tidak Islami sehingga banyak pengikutnya yang mundur. Mereka melakukan penjarahan dan perampokan di berbagai tempat. Pemerintah kemudian menerapkan operasi milter Pagar Betis. Pada 4 Juni 1962 Kartosoewirjo tertangkap dan dieksekusi pada 5 September 1962. Demikian pula akhir DI-TII di Makassar, Sulawesi Selatan, dengan terbunuhnya Kahar Muzakkar pada 3 Februari 1965. (Ruhimat, Biografi S.M. Kartosoewirjo, 2009)
Pada tahun 1950-an PKI yang dipimpin oleh D.N. Aidit mengadakan penggalangan kekuatan massa dengan menginfiltrasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dengan iming-iming “tanah untuk kaum petani”.
PKI membuat buku pegangan berjudul Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa yang diarahkan untuk menghabisi para kiai dan ulama yang dituduh sebagai tuan tanah jahat, tengkulak jahat, penghisap darah rakyat, dan kapitalis birokrat. PKI juga menggunakan ormas Pemuda Rakyat, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) untuk menyaingi kekuatan ormas dan partai Islam.
Dengan taktik itulah PKI mampu menduduki posisi empat besar dalam Pemilu pertama 29 September 1955 setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia), dan Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai partai besar, pemberontakan PKI yang dipimpin Letkol Untung, Komandan Batalyon 1 Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden), berupaya merebut kekuasaan sehingga pada 1965 di Jakarta melalui Gerakan 30 September (G-30-S/PKI atau Gestapu/PKI) dengan membunuh Letjen A. Yani, Mayjend R. Soeprapto, Mayjend Harjono, Mayjend S. Parman, Brigjend D.I. Pandjaitan, Brigjend Soetojo, Lettu P.A. Tendean, dan Brigadir Polisi K.S. Tubun. Akhirnya, pemberontakan PKI dapat ditumpas di bawah komando Mayjend Soeharto dan PKI ditetapkan sebagai partai terlarang. (Poesponegoro, 1984; g30s-pki.com)
Pemberontakan kelompok ekstrem kanan maupun kiri beserta bahaya yang ditimbulkannya tersebut harus diketahui oleh generasi saat ini. Pemerintah pun wajib memberlakukan larangan keras dan menerapkan tindakan tegas terhadap gerakan apapun yang bertujuan mengganti ideologi Pancasila.
Program ideologisasi Pancasila tidak cukup dituangkan dalam berbagai peraturan pemerintah dan kegiatan indoktrinasi semata. Penataran P-4, pembentukan BP-7 hingga BPIP oleh pemerintah tidak bisa bermanfaat secara optimal apabila pengamalan Pancasila tidak dilaksanakan oleh pimpinan negara beserta segenap pejabat pemerintahan.
Pancasila (yang digali dari nilai-nilai luhur keagamaan dan kebudayaan di Indonesia) dapat berdampak signifikan hanya apabila diterapkan secara tulus oleh kalangan elit pemerintah dan kemudian diteladani oleh masyarakat. Semangat ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan semestinya mewarnai model kepemimpinan pemerintahan di Indonesia.
Ucapan pemimpin yang mengklaim sebagai pembela Pancasila harus selaras dengan perilaku kesehariannya. Sebagai tuntunan kehidupan berbangsa, niscaya Pancasila dapat mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Pemerintah seharusnya introspeksi diri tatkala pemerataan kesejahteraan rakyat belum terwujud.
Setiap warga negara yang telah terpenuhi kebutuhan dan kebahagiaan hidupnya secara material dan spiritual tatkala Pancasila diamalkan dengan sungguh-sungguh tentu tidak akan terpikat lagi oleh ideologi lain untuk dipilihnya. Namun ketika ketidakadilan, diskriminasi, korupsi, kolusi, nepotisme, kesewenang-wenangan aparat, ketimpangan sosial, dan kemiskinan kerap dijumpai di negeri ini, maka kondisi itulah yang justru menyuburkan kelompok ekstrem yang mengancam kelangsungan ideologi Pancasila.
Dengan demikian, melarang dan mewaspadai ekstrem kanan maupun ekstrem kiri (karena ideologi tidak pernah mati) sama wajibnya dengan mengamalkan Pancasila dan mewujudkan kemakmuran rakyat. [MZ]