Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian

Bukan Hanya Orang, Islam Juga Ada yang Pribumi dan Nonpribumi (1)

2 min read

Isu pribumi dan nonpribumi mungkin salah satu isu klasik dan sensitif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Setiap perdebatan tentang siapa yang paling berhak memimpin dan menikmati kekayaan negara ini, isu pri dan nonpri ini selalu mengemuka.

Lepas dari fakta sosiologis bahwa kita terdiri dari berbagai suku, juga lepas dari kajian-kajian ilmiah tentang suku apa yang sungguh-sungguh bisa disebut sebagai suku asli, biasanya yang tertuduh sebagai nonpri dalam setiap peristiwa kemarahan sosial-politik adalah etnis Tionghoa. Karena di kota-kota besar banyak toko dimiliki etnis Tionghoa, setiap ada kerusuhan sosial berbasis sentimen etnis, banyak toko yang ditulisi MILIK PRIBUMI. Betapa saktinya istilah ‘pribumi’ ini.

Sekalipun demikian, dalam hal keberagamaan, agaknya nasib istilah ‘pribumi’ ini kurang beruntung. Setidaknya, itu terlihat dalam perkembangan keislaman akhir-akhir ini. Keberislaman dianggap absah kalau ditampilkan dalam simbol-simbol Arab. Memakai jubah dianggap lebih Islam daripada pakai sarung.

Pakai surban dianggap lebih syar’i daripada pakai blangkon ala Gus Miftah. Sebutan dulur atau saudara diganti dengan akhi dan ukhti. Pokoknya, berbagai ekspresi pribumi dianggap mendegradasikan nilai Islam. Bahkan, langgam Jawa pun ditolak digunakan dalam melantunkan ayat-ayat al-Qur’an. Begitulah nasib pribumi.

Arus penyingkiran ekspresi pribumi dalam berislam ini agaknya sudah lama menjadi perhatian tersendiri oleh Gus Dur. Karena itu, salah satu gagasan keislaman penting Gus Dur adalah pribumisasi Islam. Awal ketika gagasan ini dilontarkan, publik Muslim mereaksinya sebagai salah satu dari berbagai kontroversi ide-ide keislaman Gus Dur. Gus Dur dituduh sebagai tukang bid’ah.

Reaksi ini bisa dipahami karena gagasan pribumisasi Islam berkelindan dengan ungkapan Gus Dur bahwa assalamu’alaikum bisa diganti dengan ucapan selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam. Sebegitu kontroversinya ide pribumisasi Islam ini sampai menjadi salah satu topik yang diangkat oleh para kiai NU ketika melakukan tabayyun dengan Gus Dur di Pesantren Darut Tauhid, Arjowinangun, Cirebon, 8-9 Maret 1989.

Baca Juga  Hari HAM Internasional: Momentum Merawat Kesadaran

Untuk memahami gagasan pribumisasi Islam yang dilontarkannya, Gus Dur menjelaskan bahwa salah satu problem yang dihadapi umat Islam adalah mendialogkan budaya dengan syari’ah, di mana ini sebetulnya juga menjadi salah satu bahasan penting dalam ushul fiqh atau filsafat hukum Islam. Posisi yang diambil Gus Dur adalah bahwa harus ada upaya untuk mendekatkan keduanya.

Gus Dur memang lebih banyak memberi contoh daripada membabar konseptualisasi ide pribumisasi Islam. Dia mencontohkan wujud pribumisasi Islam, misalnya, dengan desain masjid Indonesia masa lalu yang mempunyai atap tiga lapis. Atap tiga lapis ini menyimbolkan iman, Islam, dan ihsan. Ini sebetulnya adalah akomodasi budaya yang dilakukan oleh para wali penyebar Islam di Nusantara terhadap tradisi Hindu-Buda. Tiga lapis pada awalnya adalah simbolisasi dalam tradisi Hindu-Buda (lapis sembilan), sebagaimana banyak ditemui pada bangunan pura di Bali.

Oleh para wali, sembilan lapis itu kemudian dijadikan tiga lapis dengan mengganti maknanya. Para wali ini mengambil bentuk budayanya, kemudian mengganti maknanya sesuai dengan ajaran Islam. Cara ini sama sekali tidak melanggar syari’ah dan pada saat yang sama bisa ngemong kebudayaan lokal.

Sikap ngemong ini menjadi salah satu tekanan dari gagasan pribumisasi Islam Gus Dur. Praktik tabur bunga pada saat ziarah makam adalah sebuah praktik yang tidak melanggar syariah tapi pada saat yang sama ngemong tradisi penguburan sebelum Islam. Begitu juga dengan hitungan selamatan di mana praktik ini sama sekali bukanlah mengada-ada dalam persoalan agama, tapi sekedar sebagai wadah dalam melakukan ibadah terutama dalam kerangka fadlailul a’mal.

Tidak boleh dilupakan juga bahwa pesantren sesungguhnya adalah perkembangan dari institusi pendidikan sebelum Islam. Pesantren berasal dari kata santri yang sepenuhnya berasal dari tradisi lokal sebelum Islam. Santri berasal dari bahasa Pali, ‘shantri’, yang berarti ‘ahli kitab suci’.

Baca Juga  Gus Dur, Anak Muda, dan Narasi Baru Islam Tradisional

Istilah ini kemudian diambil tanpa ada keberatan sama sekali, kemudian diganti maknanya yang merujuk pada seorang Muslim yang giat menuntut ilmu agama Islam dan beribadah. Kata ‘kyai’ berarti ‘orang tua’ atau syekh dalam Bahasa Arab. Kedua istilah ini adalah hasil dari proses pribumisasi Islam. Para wali tidak merasa harus menggunakan istilah ‘syaikh’ hanya sekedar agar dikesankan Islami.

Selanjutnya: Bukan Hanya Orang… (2)

Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian