Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional 2023 kini hendaknya menjadi momentum penting untuk memulihkan kesadaran publik, bahwa urusan pemenuhan dan jaminan penikmatan hak asasi bagi semua individu dan kelompok masyarakat harus tetap menjadi konsentrasi dan misi utama gerakan masyarakat sipil (civil society).
Bagi kalangan aktivis dan human rights defenders sendiri, tanggal 10 Desember tetap harus menjadi momentum penting untuk memulihkan ingatan dan kesadaran bahwa masih tersisa pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya untuk tetap mengawal perwujudan norma tertinggi perlindungan hak asasi bagi setiap individu/kelompok warga negara.
Mengapa merawat ingatan dan kesadaran menjadi isu yang sangat penting dalam penegakan HAM? Pengalaman berbangsa dan bernegara—setidaknya dalam satu dekade terakhir—membuktikan bahwa urusan penegakan HAM tidak bisa dipasrahkan begitu saja kepada pemerintah yang memang memiliki kewajiban generik dalam mewujudkannya.
Sebaliknya, perwujudan norma tertinggi perlindungan hak asasi justru ditentukan oleh kesadaran dan ingatan publik, sekaligus konsolidasi gerakan sosial dalam mengontrol negara (pemerintah) sehingga tidak bersikap dan bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan kewajibannya: melindungi harkat martabat kemanusiaan setiap individu warga negara, tanpa syarat dan tanpa pembedaan berdasarkan ras, bangsa, bahasa, agama, warna kulit, gender, dan orientasi seks.
Satu Dekade
Sudah sangat meyakinkan bahwa Indonesia memiliki masa lalu yang buram terkait dengan penegakan HAM. Kasus genosida 1965, penghilangan paksa, persekusi terhadap kelompok minoritas agama/keyakinan, dan berbagai jenis kekerasan terhadap kemanusiaan terus membayang-bayangi perjalanan bangsa ini, karena kasus-kasus tersebut memang tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
Dari rezim ke rezim, pemerintahan Indonesia lebih memilih mendiamkan persoalan tersebut dengan membangun siasat yang tak ada habisnya dalam membius ingatan dan kesadaran masyarakat terkait dengan hal ihwal pelanggaran HAM di masa lalu. Selain tidak ada penyelesaian, pemerintah juga tidak benar-benar melakukan rehabilitasi terhadap korban. Negara terus menyangkal, dan karenanya tidak pernah ditemukan jalan rekonsiliasi.
Di antara banyaknya kasus pelanggaran HAM di masa lalu, tulisan ini hanya memfokuskan perhatiannya pada isu pelanggaran hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan (KBB) saja, karena isu itulah yang paling dominan mewarnai perjalanan bangsa hingga hari ini. Dalam periode satu dekade terakhir, perjalanan bangsa ini terus diwarnai oleh hambatan yang serius atas pemenuhan hak KBB bagi banyak sekali kelompok minoritas.
Laporan The Wahid Foundation bertajuk “Tawar-Menawar Kebebasan” (2020) memberikan gambaran yang begitu nyata, bukan hanya terkait dengan grafik pelanggaran, tetapi juga bagaimana pola pelanggaran yang konsisten terjadi dari rezim ke rezim. Selama periode 2009-2018, setidaknya tercatat 2453 pelanggaran hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan di Indonesia yang dilakukan oleh aktor pelanggaran baik negara maupun masyarakat sipil.
Menariknya, angka pelanggaran tersebut sama tingginya bila dikaitkan dengan dua periode kepimpinan nasional. Selama periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tercatat 1110 pelanggaran, hanya selisih 9 angka dengan pelanggaran yang terjadi pada masa Presiden Joko Widodo—yang mencapai angka 1101 pelanggaran. Harus tetap dicatat bahwa angka tersebut hanya dihitung hingga tahun 2018. Bila dihitung hingga 2023, tentu saja grafik pelanggaran akan lebih tinggi.
Data tersebut berbanding terbalik dengan kesadaran publik yang mengiringi dua periode kepemimpinan nasional tersebut. Melalui berbagai cara imajiner, hampir seluruh lapisan masyarakat—tidak terkecuali gerakan masyarakat sipil—menyangka bahwa pelanggaran hak KBB hanya mewarnai periode pemerintahan Presiden SBY. Melalui cara imajiner pula, banyak orang menyangka perlindungan hak KBB jauh lebih baik dan memadai pada masa pemerintahan Presiden Jokowi.
Data pemantauan nasional menyangkal semua pandangan imajiner tersebut. Indonesia dalam dua periode kepemimpinan nasional tetap diwarnai oleh pelanggaran hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan, dan dua presiden selama dua dekade terakhir menyumbang angka pelanggaran yang sama besarnya. Bedanya adalah bahwa pada masa pemerintahan Presiden SBY kesadaran dan daya kritis masyarakat sedang tinggi-tingginya dalam mengontrol komitmen negara.
Sebaliknya, sejak 2014 dan mencapai puncaknya pada periode 2018, kesadaran dan ingatan publik sedang ambruk, sehingga bukan hanya tidak mampu bersikap kritis, tetapi bahkan tidak mampu melihat berbagai jenis pelanggaran yang, secara kasat mata, tetap dilakukan oleh negara. Kekuatan gerakan sipil di Indonesia secara keseluruhan juga berhasil diserap ke dalam tubuh negara, sehingga kesadaran masyarakat sipil pada periode ini benar-benar dalam kondisi tumpul secara ekstrem.
Semua orang menyangka perlindungan hak KBB sedang baik-baik saja selama periode tersebut, bukan karena grafik pelanggaran yang menyusut. Perlindungan dan jaminan atas hak KBB sesungguhnya berjalan di tempat, dan yang berubah hanyalah kesadaran dan ingatan masyarakat akan hal tersebut. Bisa dikatakan bahwa inilah periode paling mengkhawatirkan karena hampir seluruh lapisan gerakan masyarakat sipil telah memandang dan melihat urusan jaminan hak KBB dengan cara pandang yang disediakan oleh negara.
Fenomena ini memberikan penjelasan yang tidak sepele, yakni dalam hal jaminan dan penegakan HAM, isu kesadaran dan ingatan masyarakat menjadi variabel utama, bukan hanya untuk melihat komitmen negara dalam mewujudkan kewajibannya, tetapi sekaligus untuk merawat kewarasan masyarakat sehingga tidak mudah jatuh pada cara-cara imajiner dalam melihat kenyataan.
Gerakan Masyarakat Sipil
Becermin dari fenomena di atas, saatnya momentum peringatan Hari HAM Internasional tahun ini dijadikan sebagai tonggak untuk mengembalikan kesadaran dan daya kritik masyarakat sipil. Harus ada penegasan bahwa perwujudan atas kebebasan sipil dan perlindungan terhadap hak asasi tidak bisa dipasrahkan begitu saja kepada pemerintah, tanpa diimbangi oleh kontrol dan daya kritis masyarakat.
Harus ditumbuhkan kegairahan baru dalam merawat gerakan masyarakat sipil untuk terus memiliki kepedulian terkait dengan isu penegakan hak asasi, dengan menjaga posisi, terutama menjaga kewarasan dan daya kritis, sehingga tidak jatuh pada kesadaran palsu (pseudo-consciousness) dalam melihat relasi kompleks negara dan masyarakat sipil dalam urusan penegakan HAM.
Di berbagai daerah di Indonesia, harus ditumbuhkan kesadaran baru gerakan masyarakat sipil yang menjaga kesadarannya untuk tetap memainkan peran penting dalam mengontrol tata kehidupan yang lebih menghormati asas perlindungan HAM. Di berbagai wilayah, kegairahan ini sudah mewujud menjadi aksi nyata. Di Jawa Timur sendiri, ikhtiar ini telah memantik lahirnya diskusi publik dan arus baru gerakan masyarakat sipil, baik yang dikawal oleh Civil Society Organizations (CSOs) maupun Aliansi Masyarakat Sipil.
Selain peran yang terus dimainkan oleh CSO seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Center for Marginalized Communities Studies (CMARs), dan Pusat-Pusat Studi HAM (betapapun sebagian organisasi masih dalam tahap revitalisasi), peran yang vital juga mulai dimainkan oleh aliansi yang sengaja dibidani kelahirannya untuk misi tersebut. Salah satu aliansi, yang menyebut dirinya dengan nama Masyarakat Setara Jawa Timur, telah menjadikan momentum peringatan hari HAM Internasional tahun sebagai tonggak untuk memulihkan kesadaran publik terkait isu penegakan HAM. [AR]