Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian

Menafsir Isyarat Langit: Dari Kakang Semar hingga Awan yang Shalat

2 min read

Which scientist or doctor is not secretly praying for a miracle?” (Ilmuwan atau dokter mana yang diam-diam tidak berdoa-harap akan datangnya mukjizat?)

Di atas adalah sepenggal kalimat dari seorang novelis India, Arundhati Roy, dalam tulisannya yang berjudul “The Pandemic is a Portal”, yang dimuat di Financial Times (04/04/2020). Kalimat itu digunakan untuk menggambarkan gonjang-ganjing dunia karena pandemi Covid-19. Semua orang, tak peduli apapun profesinya, berharap menemukan sebuah kantong ajaib berisi formula untuk menyelesaikan wabah ini. Tak hanya orang biasa yang mati karena inveksi virus ini, bahkan ratusan tenaga medis sudah bertumbangan tak berdaya menghadapinya. Tidak ada larik-larik kalimat dalam buku-buku tebal kedokteran yang berisi resep mengatasi keganasan makhluk mikroskopik ini.

Dunia terasa berpacu dengan waktu. Di tengah ketakutan dan kebingungan ini, nyaris semua orang berharap kepada ilmuan dan dokter agar segera mengumumkan sebuah penemuan hebat senjata pembunuh virus yang mengamuk pertama kali di Kota Wuhan China. Semakin lama para dokter dan ilmuwan gagal menemukan obatnya, yang akan kita temui adalah jatuhnya korban demi korban.

Rumah sakit sudah di ambang batas daya tampunya. Peralatan medis yang diperlukan menangani pasien khusus ini pun semakin menipis. Dunia usaha nyaris tumbang. Orang-orang dipaksa untuk mengurung diri di rumah tanpa tahu sampai kapan, tak peduli mereka bisa makan atau bakal mati kelaparan. Tiap detik terasa hanya bel kematian yang berdentang.

Hingga kini, para ilmuwan dan dokter, tempat banyak orang berharap dan bergantung dari keganasan wabah ini, masih bungkam. Mungkin juga seperti kita semua, mereka diam-diam berharap akan datangnya mukjizat. Dalam situasi seperti ini, setiap orang berharap tiba-tiba ada mukjizat yang menyulap keadaan menjadi normal dan rutin kembali. Beribu doa dipanjatkan. Tiap tangan menengadah ke atas berharap pada kekuatan di sebalik langit sana. Mulut mengalunkan doa-doa dan pujian kepada Tuhan agar Ia tidak memperpanjang murkanya. Wirid permohonan ampunan mendengungkan ratapan, “Jangan-jangan wabah ini adalah murka Tuhan karena manusia terlalu banyak dosa. Oh Tuhan, ampuni kami!”

Baca Juga  Tujuh Point untuk NU Menjadi Bagian dari Masyarakat Dunia

Jutaan orang mengarahkan pandangannya ke langit mencari-cari isyarat apa yang kirimkan oleh Tuhan. Dalam upaya mencari jawaban dari kebingungan yang tak menentu ini, banyak orang memaknai apa saja sebagai isyarat Tuhan. Beberapa waktu lalu, orang-orang heboh karena semburan asap merapi membentuk gumpalan yang mirip dengan postur tubuh Semar, salah satu tokoh punakawan dalam wayang.

Dalam pertunjukan wayang, kemunculan Semar berarti berhentinya goro-goro (malapetaka atau konflik). Kiai Semar selalu membawa kebaikan karena petuah-petuahnya yang bijak dan solutif. Sontak, orang-orang meyakini bahwa entah bagaimana caranya mukjizat segera akan datang dan wabah tiba-tiba akan hilang.

Beberapa hari lalu, jagad media sosial kembali dihebohkan dengan postingan seseorang tentang awan yang terseput angin sedemikian rupa sehingga membentuk sesuatu yang tampak seperti orang sedang shalat. Lagi-lagi, gumpalan awan yang sebetulnya sangat biasa itu ditafsiri sebagai peringatan Tuhan agar orang-orang rajin beribadah. Hanya dengan itu, Tuhan tidak lagi marah dan segera mencabut wabah Corona.

Andaikan David Hume bangkit dari kuburnya dan menyaksikan berbagai tafsir langit ini, mungkin dia akan tertawa sambil memedar pandangan filsafat empirisme-nya tentang bagaimana sebuah ide ada di dalam benak manusia. Menurutnya, setiap ide pada dasarnya tidak muncul dari rasio, tapi dari cerapan inderawi yang kemudian diolah oleh rasio. Kemampuan rasio hanya bersifat instrumental, di mana salah satunya adalah kerja-kerja asosiatif.

Karena kemampuan asosiatif ini, rasio bisa memiliki ide tentang “awan Semar” atau “awan shalat”. Ide-ide ini bukan sungguh-sungguh tentang Semar yang sedang menunjukkan dirinya melalui semburan merapi atau Tuhan yang mengingatkan manusia melalui awan yang shalat.  Ide itu sepenuhnya lahir karena kemampuan asosiatif rasio manusia yang menghubung-hubungkan secara kreatif antara bentuk tak menentu awan dengan pengalaman melihat gambar Semar dan posisi tubuh orang yang sedang shalat.

Baca Juga  Antara Syiah dan Tradisi Nusantara yang Nyaris Identik?

Tapi bagi mereka yang sedang menafsiri langit untuk mencari isyarat-isyarat ketuhanan, bisa jadi mereka sangat meyakininya. Apakah Tuhan sungguh-sungguh memberi isyarat? Tidak ada yang tahu. Apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah untuk menenangkan hatinya, mendamaikan dirinya, mengusir kecemasan karena wabah yang menghantuinya detik demi detik.

Dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Humans are a Post-Truth Species”, Yuval Noah Harari mengatakan, “If you distort reality too much, it will indeed weaken you by making you act in unrealistic ways.” (Jika kamu keterlaluan mendistorisi realitas, maka realitas akan melemahkanmu dengan membuatmu melakukan hal-hal yang tidak realistis). [MZ]

Ahmad Zainul Hamdi Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam dan Senior Advisor Jaringan GUSDURian

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *