Abdul Kadir Riyadi Guru Besar Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya

Manusia, Tangan Tuhan, dan Kebebasan Diri: Akal, Cahaya, dan Hikmah [1]

2 min read

Tuhan memiliki rencana tersembunyi bagi manusia, tapi manusia tidak selalu mengetahuinya karena keterbatasan akal dan indranya. Kadang kita sebagai manusia tidak menyenangi kondisi yang sedang kita hadapi, padahal Tuhan memiliki skenario terbaik di balik kondisi buruk itu (al-Qur’an, ‘asā an tuhibbū syai’an).

Dengan ungkapan ini saya tidak bermaksud bersikap deterministik. Pandangan ini hanya dimaksudkan untuk memberikan penjelasan tentang kehidupan dan sejarah manusia dari perspektif sufistik atau moral. Walau bagaimana pendekatan ini amat penting dalam memahami dan menjelaskan kepada manusia tentang masa depannya.

Sebuah ungkapan Arab mengatakan “kondisi sebuah bangsa tergantung pada akhlak. Jika akhlak ada maka bangsa itu akan ada. Namun jika akhlak telah mati, maka bangsa itu pun akan mati”. Harus dijelaskan pula di sini bahwa pendekatan moral tentang sejarah manusia tidak semena-mena mengaburkan mata kita akan sisi lain yang dimiliki oleh manusia secara inheren, yaitu kebebasan.

Manusia adalah makhluk hidup yang bebas. Tuhan memberikan kebebasan itu sejak manusia lahir di dunia. Tapi ada sisi-sisi tertentu dalam hidup manusia yang mau tidak mau harus tunduk pada imperatif agama dan moral agar ia dapat mencapai tujuan yang didambakannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tujuan setiap manusia adalah kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi. Imperatif agama bertujuan mengantarkan manusia menuju kebahagiaan itu.

Dengan nalarnya, manusia hanya memiliki kemampuan parsial untuk mencapai kebahagian itu. Kemampuan nalar manusia itu ditakdirkan untuk sebatas membantu manusia melakukan hal-hal yang bersifat manusiawi. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “nalar atau akal adalah seperti cahaya yang menerangi jalan hidup manusia”.

Hadis ini bermakna ganda. Pada satu sisi berarti bahwa nalar memiliki posisi yang amat penting dalam hidup manusia karena tanpa cahaya, keseluruhan hidup manusia akan menjadi gelap gulita. Tapi pada sisi lain, ini juga berarti bahwa cahaya nalar amat terbatas karena dalam terminologi al-Qur’an masih ada cahaya di atas cahaya indrawi yang dianugerahkan kepada manusia, yaitu—meminjam istilah al-Qur’ani—nūr ‘alā nūr (cahaya di atas cahaya), yang tidak lain adalah Tuhan. Disebut demikian karena cahaya Tuhan mengungguli cahaya indrawi. Ibarat fenomena alam, cahaya Tuhan adalah matahari yang ketika terbit seluruh cahaya-cahaya lain dari bulan dan gugusan bintang-bintang sirna dan menyingkir.

Baca Juga  Puasa Ramadan yang Mencerahkan

Secara fisiologis, setiap organ dalam tubuh manusia dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi memiliki fungsi dan tujuan. Jika demikian, nalar manusia tentu lebih memiliki fungsi dan tujuan ketimbang organ biasa. Nalar bukanlah organ dalam pengertian sederhana. Nalar, dalam pengertian Abu Hamid al-Ghazali, adalah ilmu.

Dalam pengertian ini, nalar dapat kita artikan sebagai serangkaian data yang tersimpan dalam otak. Data itulah yang bisa kita sebut sebagai ilmu. Jika kita mengumpamakan otak sebagai botol, maka nalar adalah isi dalam botol. Tidak semua botol berisi, dan jika berisi tidak semua isi dalam botol bersifak kognitif. Isi dalam botol yang disebut sebagai nalar atau ilmu adalah yang bersifat kognitif, yaitu yang berfungsi sebagai cahaya, penerang jalan.

Nalar bukan sekadar dapat berfungsi sebagai penerang jalan, tapi juga bagi berfungsinya keseluruhan organ dalam tubuh manusia. Menggunakan pendekatan tasawuf, al-Ghazali pernah menunjukkan bahwa nalar amat sentral perannya dalam mentransformasikan diri manusia ke arah yang lebih baik dan bahagia.

Ia lebih lanjut mengatakan bahwa terdapat tiga jenis ilmu pengetahuan yang dapat digunakan untuk melatih dan mengarahkan human facuties agar dapat mencapai tujuan di atas. Pertama, ilmu psikologi, yaitu ilmu yang memberikan penjelasan mengenai diri dan cara-cara yang memungkinkan untuk dipakai guna mendisiplinkan diri. Kedua, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan dalam rumah tangga seperti mendidik anak. Ketiga, ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengaturan publik, yaitu politik.

Menurut al-Ghazali, ketiga jenis ilmu pengetahuan itu jika dimanfaatkan dengan baik akan membantu memperluas peluang bagi terciptanya suatu kebahagiaan bagi manusia. Dalam skema ini, peran ilmu yang dihasilkan oleh nalar amat penting. Ia berguna untuk mengarahkan manusia bagaimana memanfaatkan tiga ilmu pengetahuan itu. Dan, jika pemanfaatan sudah dapat terwujud, maka akan tercipta kebahagiaan dan kearifan (hikmah). Inilah yang menurut al-Ghazali maksud dari firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 269, “Dia memberikan kearifan kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Barangsiapa yang telah diberikan kepadanya kearifan, maka ia telah mendapatkan kebaikan yang banyak”.

Baca Juga  Ceramah Muhammad Said Ramadhan al-Būtī: Tuhan yang Mahapengampun dan Mahamenyayangi

Pemanfaatan terhadap tiga disiplin ilmu pengetahuan itu (psikologi, pengaturan rumah tangga, dan politik) tidak terlepas dari kemampuan manusia mengendalikan dan mengarahkan tiga kecenderungan dalam dirinya, yaitu tafakkur (pemikiran), shahwah (ambisi) dan ghadab (amarah). Jika tiga kecenderungan itu dapat dikendalikan, maka nalar akan dengan mudah mengetahui bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan. Dan, sekali lagi, jika sebuah ilmu pengetahuan telah dimanfaatkan dengan baik dan benar, maka yang akan terwujud adalah kebahagiaan dan kearifan. [AZH, MZ]

(Bersambung)

Abdul Kadir Riyadi Guru Besar Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *