Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.

Khilafah dan Demokrasi: Kedaulatan Tuhan versus Kedaulatan Rakyat

1 min read

Pertanyaan besarnya adalah: Siapa yang menjalankan kekuasaan pada sistem yang menganut Kedaulatan Tuhan dan Kedaulatan Rakyat? Jawabnya sama: “diwakilkan”. Wakil Kedaulatan Tuhan disebut khalifah. Sedangkan Wakil Kedaulatan Rakyat disebut: presiden atau raja atau apapun tergantung bentuk.

Jadi kita sedang tidak berbicara tentang Tuhan dan Rakyat yang punya kedaulatan, tapi pada Wakil Tuhan dan Wakil Rakyat yang diberi amanah menjalankan kekuasaan.

Tuhan dan Rakyat meski sama-sama punya kedaulatan tapi tidak langsung berkuasa menjalankan kedaulatannya. Keduanya hanya simbol. Kekuasaannya diwakilkan, lewat mekanisme yang disepakati. Teokrasi ditunjuk musyawarah dewan syura. Demokrasi dipilih lewat biting di bilik suara.

Kekuasaan yang menganut sistem kedaulatan Tuhan disebut teokrasi, sedangkan kekuasaan yang menganut sistem kedaulatan rakyat lazim disebut demokrasi.

Teokrasi dan Demokrasi dua hal berbeda. Satu adalah antitesis bagi satunya. Tidak penting siapa duluan lahir. Pada keduanya terdapat pertentangan generik.

Sebagian bilang teokrasi lahir karena demokrasi dianggap tak cukup mampu menjalankan amanah, banyak anomali, semena-mena, tidak beraturan dan kebebasan tiada batas.

Sebagian yang lain berkata sama, demokrasi adalah jawaban atas prilaku menyimpang para Wakil Tuhan (khalifah), yang praktik kekuasaannya dijalankan dengan cara korup, culas dan menjadikan Tuhan sebagai pembenar atas perilaku munkar, zalim dan fasad.

Kritik Herbert Marcouse cukup telak: Tuhan dan Rakyat tak lebih hanya sebagai simbol— menjustifikasi atas kekuasaan yang dijalankan. Tuhan dikhianati khalifah. Rakyat juga dikhianati. Maka Karl Marx menganjurkan memberontak melawan hegemoni gereja di Eropa abad gelap kala itu agar kekuasaan dikembalikan kepada rakyat. Agar keadilan merata (komunal-komunisme) tidak beredar hanya dikalangan elite yang mengaku sebagai Wakil Tuhan (khalifah).

Begitulah rumitnya kekuasaan: padanya terdapat sifat taqiyyah, menyembunyikan maksud untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan, tulis Imam al-Mawardi dalam buku al-Ahkām al-Sulthāniyyah. Jadi saya tak pernah percaya meski jubah dan surban menjuntai, jika keduanya bertaut dengan kekuasaan, sudah pasti lancung.

Baca Juga  Paus Fransiskus Bertemu dengan Pemimpin Muslim Syi’ah Ayatollah Ali al-Sistani untuk Berdialog

Teokrasi dan Demokrasi saling menafikkan dan tak pernah akur. Keduanya ibarat minyak dan air. Jadi kalau HTI yang mengusung khilafah mendadak membela Pancasila sudah pasti hanya php alias falsu, pun sebaliknja jika Pancasila bisa dengan lapang hati menerima HTI juga sudah pasti abal-abal. Sebab pada keduanya ada pertentangan generik yang tak bisa disatukan. [MZ]

Ust. Nurbani Yusuf Aktivis Persyarikatan Muhammadiyah di Ranting Gunungsari Kota Batu dan Ustaz di Komunitas Padang Makhsyar yang Tinggal di Batu, Malang.