Di masa kecil saya selalu diperdengarkan dengan bait sebuah lagu nasyid: “Kasih ibu tiada bertepi, kasih ayah sepanjang jalan, kasih teman selagi baik, kasih saudara selagi ada.” Sampai sekarang saya masih ingat dengan baik irama lagu bait pertama ini. Meskipun saya tak tahu apa judul, siapa nama penyanyi atau pengarang lagu tersebut.
Ketika di usia kanak-kanak saya menyanyikan lagu tersebut, saya sama sekali tak memahami apa maknanya. Namun, seiring perjalanan waktu, dengan bertambahnya usia, dengan banyaknya orang-orang yang saya kenal, semakin dalam makna lagu itu bagi saya. Tetapi tidak hanya satu makna yang hadir. Perlu perenungan yang lebih mendalam tentang berbagai kemungkinan maknanya.
Pada tulisan ini yang menjadi perhatian saya adalah kalimat yang ketiga dari lagu tersebut: “kasih teman selagi baik”. Apa kira-kira yang ingin dijelaskan oleh pengarang lagu dengan kalimat ini? Apakah maksudnya kasih seorang teman kepada kita akan hadir, hanya ketika kita masih berhubungan baik dengan mereka?
Apakah kira-kira makna kata baik di kalimat ini? Baik karena selalu sepakat dengan sebuah ide? Baik karena selalu bisa saling membantu? Baik karena sering bertemu? Baik karena selalu bisa saling memahami? Baik karena relasi yang sifatnya setara dan saling memberi kemanfaatan? Atau apa? Bagaimana jika perselisihan atau perbedaan pendapat terjadi antara kita, dapatkah kita tetap menjadi baik pertemanannya?
Masing-masing kita tentu punya jawabannya. Pengalaman kita soal pertemanan atau yang lebih dalam lagi ikatannya, yaitu persahabatan dapat membantu kita menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Persahabatan kita di masa kanak-kanak, hingga saat kita berada pada masa dewasa seperti sekarang ini dapat memberikan pencerahan tentang apa makna kata “baik” tersebut.
Persahabatan menurut saya memang sebuah hubungan yang bisa dikatakan unik dan istimewa. Ikatan persahabatan terkadang dapat mengalahkan ikatan persudaraan. Dari kisah-kisah Rasulullah bersama para sahabatnya kita bisa mengetahui betapa dekatnya Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya. Bagaimana kedekatan mereka itu membawa kekuatan besar yang menghasilkan banyak sekali kemaslahatan bagi tumbuh dan berkembangnya Islam di jazirah Arab hingga ke Eropa sampai ke seluruh dunia.
Keunikan persahabatan dapat juga dilihat dari persahabatan kita di masa kecil. Kita bersahabat benar-benar dari lubuk hati yang dalam. Tanpa diembel-embeli dengan berbagai pertimbangan rasional. Sahabat kita di masa kecil ini, walaupun saat ini bisa jadi jauh sekali dengan kita secara fisik, atau bahkan tidak kita ketahui lagi di mana keberadaannya, tetap saja bisa kita rasakan kehadirannya di dalam hati.
Sewaktu-waktu terbayang wajah mereka di benak kita. Sewaktu-waktu kita dapat mengembalikan memori kita tentang hal-hal yang pernah kita lakukan bersama. Tentang momen-momen yang pernah kita lalui bersama. Kerinduan untuk ingin bertemu, ingin tahu di mana sahabat-sahabat masa kecil kita itu, akan muncul secara otomatis.
Namun, persahabatan yang kita lakukan pada masa kecil tentu berbeda kualitasnya dengan persahabatan yang kita lakukan saat kita dewasa seperti sekarang ini. Di masa kecil, kita memang belum menjadi sosok yang rasional. Kita belum disibukkan dengan perhitungan-perhitungan waktu, perhitungan-perhitungan beban kerja, maupun tugas-tugas keluarga. Ikatan antara kita adalah ikatan emosional.
Akan tetapi saat dewasa ini kita sudah bisa melakukan perhitungan-perhitungan tersebut. Sehingga, rasionalitas nampaknya berperan cukup kuat dalam persahabatan. Meskipun tentu saja aspek emosionalnya tetap penting. Bounding antara kita dan sahabat kita tentu terbentuk karena kedekatan yang emosional.
Di masa kecil, sekali lagi, aspek emosionallah yang lebih mengedepan pada eratnya persahabatan antara kita dengan para sahabat. Bukan aspek rasionalitas. Kita ingin selalu bermain bersama. Enggan rasanya pulang ke rumah ketika dipanggil ayah dan ibu saat kita sedang bermain bersama sahabat-sahabat kita.
Di masa dewasa ini, aspek rasionalitas menjadi lebih menonjol. Karena kita juga diingatkan tentang aspek rasionalitas ini dalam memilih sahabat. Kita diminta untuk tidak sembarangan memilih orang yang akan kita jadikan sahabat. Rasulullah SAW, misalnya, mengatakan: “Seseorang itu akan mencocoki kebiasaan teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian” (HR Abu Daud, Tarmizi dan Ahmad).
Ada juga Hadis yang mengatakan: “Seseorang yang berteman dengan orang sholeh dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Pemilik minyak wangi tidak akan merugikanmu: engkau bisa membeli minyak wangi darinya atau minimal engkau akan mendapatkan baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar,minimal kamu akan mendapatkan baunya yang tidak enak” (HR. Bukhari).
Di konteks ini, sekali lagi aspek rasionalitas harus kita gunakan ketika memilih seseorang yang akan kita jadikan sahabat. Tentu saja penyebutan penjual minyak wangi dan pandai besi, bukanlah dimaksudkan Rasulullah sebagai penjual minyak wangi atau pandai besi yang sesungguhnya, karena itu adalah makna kiasan, hanya sebuah perumpamaan.
Rasionalitas di sini tentu bukan pada rasional material, akan tetapi lebih pada melihat secara rasional bagaimana akhlak atau perilaku seseorang yang akan kita jadikan sebagai sahabat. Sifat-sifat baik dari seseoranglah yang sesungguhnya menjadi patokan bagi kita dalam memilihnya menjadi sahabat kita.
Pada beberapa referensi kita juga dapat melihat bagaimana cara-cara memilih sahabat baik ini. Kita diminta untuk menjadikan orang yang sholeh, yang jujur, yang benar, yang zuhud untuk menjadi sahabat kita. Sebaliknya dikatakan jangan bersahabat dengan orang yang tamak dunia, yang pelit. Tentu juga dimasukkan di sini mereka yang mau bersahabat hanya untuk kepentingan pragmatis sesaat saja.
Semua ini tentu dimaksudkan agar persahabatan kita memang merupakan persahabatan yang indah. Persahabatan yang akan menghadirkan kebahagiaan dan kasih sayang. Persahabatan yang akan memberikan dorongan untuk saling membantu, melahirkan berbagai kemaslahatan.
Kembali kepada kalimat dalam lagu di atas “kasih teman selagi baik”, saya kemudian mulai dapat memaknainya. Bersahabatlah kita dengan orang-orang yang memang berniat baik. Bersahabatlah kita dengan orang-orang yang ingin membangun ikatan emosional dengan kita, sahabat yang dengan tulus menyayangi kita. jangan bersahabat dengan mereka yang berpura-pura baik, tetapi sejatinya tidak.
Jika kesulitan melanda, mereka sahabat-sahabat kita, dapat menjadi tempat bersandar yang menyejukkan. Mereka dapat menerima kita dengan tangan terbuka. Selain itu, mereka juga adalah sosok yang rasional yang siap memberikan perhitungan rasional dan masukan-masukan untuk kebaikan. Membantu mencarikan jalan keluar bagi kita dari kesulitan tersebut.
Tentu saja, jika kita menginginkan sahabat baik seperti itu hadir untuk kita, kitapun harus menjadi seseorang yang memenuhi indikator sebagai sahabat yang baik. Jadilah kita seorang sahabat yang mampu memberikan kesejukan pada sahabat kita saat rasa galau dan penat melandanya. Sebab, hanya persahabatan yang diikat dengan emosional yang kuat tetapi rasional dan dilandasi dengan akhlak yang karimahlah yang mampu melahirkan berbagai kemaslahatan. []