Potret Realitas Keagamaan dan Kritik Sosial dalam Film Bida’ah

Akhir-akhir ini media sosial tengah ramai dengan sebuah film dari negeri jiran yang berjudul Bida’ah. Meskipun berasal dari negara tetangga, film tersebut juga banyak diminati oleh masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak? Film drama seri sebanyak 15 episode yang baru saja tamat tersebut berani mengangkat isu keagamaan yang sesuai dengan realitas kehidupan kita hari ini, di mana agama dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan serta kepuasan pribadi oleh seseorang yang mengaku sebagai ulama.

Sinopsis Film Bida’ah

Drama seri berdurasi 30 menit per episode ini menjadi perbincangan hangat di media sosial. Sebuah kelompok Islam bernama Jihad Ummah dipimpin oleh Walid, yang mengaku sebagai wali serta utusan Allah Swt. Tidak hanya itu, kepada seluruh jamaahnya, Walid—yang diperankan oleh Moh. Faizal Hussein—juga mengaku sebagai Imam Mahdi yang berjuang menyelamatkan manusia dari kekacauan akhir zaman. Oleh karena itu, seluruh jamaah wajib patuh dan taat kepada setiap perintah dan perkataan Walid.

Ajaran Walid yang diambil dari Al-Qur’an dan sunah hanya dipahami secara tekstual, sehingga pemahamannya telah keluar dari substansi teks tersebut. Di sisi lain, tradisi dalam kelompok Jihad Ummah juga tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw., seperti tradisi malam berkah, di mana seluruh jamaah diwajibkan mencium dan meminum air rendaman kakinya untuk mendapatkan keberkahan. Selain itu, para jamaah juga diperintah mencampurkan air bekas mandi Walid dengan air sumur dengan maksud yang sama, yaitu untuk memperoleh berkah.

Lambat laun, Hambali (diperankan oleh Abdul Fattah) dan Baiduri (diperankan oleh Riena Diana) mulai menyadari bahwa ajaran Walid telah menyimpang dari Al-Qur’an dan sunah. Mereka kemudian berusaha menyelamatkan jamaah lain dari kesesatan Walid. Di akhir film, tampak Walid serta beberapa jamaahnya ditangkap oleh polisi karena telah menyebarkan aliran sesat.

Relasi Kuasa dan Manipulasi Agama

Pengakuan Walid sebagai wali sekaligus utusan Allah membuat jamaahnya patuh dan tunduk kepadanya. Dengan posisinya sebagai pemimpin, Walid meyakinkan jamaah bahwa ia adalah Imam Mahdi yang akan membawa mereka ke surga. Dari sini, Walid telah membangun relasi kuasa yang sangat kuat dengan mengukuhkan dirinya sendiri. Akar kekuasaan yang ia bangun akhirnya tertanam kuat dalam diri seluruh jamaah, sehingga setiap perkataan dan perintah Walid dianggap sebagai kebenaran mutlak. Barang siapa dari jamaah yang melanggarnya dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.

Kepandaian Walid dalam menggunakan narasi keagamaan membuat setiap orang yang mendengarnya mudah percaya, karena setiap ucapannya selalu mengatasnamakan perintah Allah dan Rasulullah. Ajaran Walid yang membuat saya cukup geram adalah bagian ketika setiap jamaah diperintahkan meminum air bekas cucian kakinya dengan dalih keberkahan dan surga. Ditambah lagi, terdapat sumur yang dicampur dengan bekas air mandi Walid dan istrinya. Mereka meyakini bahwa sumur tersebut terhubung langsung dengan Telaga Al-Kautsar, air suci dari surga.

Selain itu, ajaran yang paling membuat saya jengkel adalah sikap Walid dalam memperlakukan perempuan dengan berlandaskan agama. Demi memuaskan hawa nafsunya, Walid memperkenalkan konsep nikah batin dengan dalih penyatuan khodam dan penyucian diri, di mana Walid sebagai wali melakukan hubungan badan dengan perempuan tersebut untuk “menaklukkan khodam” yang berada dalam tubuhnya. Pernikahan batin ini dianggap sebagai penyatuan khodam laki-laki dan perempuan.

Dari beberapa ajaran Walid yang penulis sebutkan, keseluruhannya tidak terdapat dalam ajaran Islam, bahkan bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah. Namun bagi mereka yang kekurangan spiritualitas serta minim pengetahuan dasar keagamaan, ajaran ini terasa seperti air di tengah kehausan mereka dalam belajar agama. Lagi-lagi, Walid menggunakan kekuasaannya untuk mendoktrin umatnya agar selalu menaati perintahnya dengan memanipulasi agama. Mereka lupa bahwa ajaran utama umat Islam adalah tauhid, yaitu kepatuhan mutlak hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia.

Kritik Sosial-Keagamaan

Jika berkaca pada sosok Walid dalam film Bida’ah, maka pertanyaan selanjutnya adalah: apakah ada Walid di dunia nyata? Jawabannya tentu saja ada, bahkan banyak. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus kiai dan guru ngaji yang dianggap sebagai panutan, tetapi justru menjadi pelaku pelecehan seksual terhadap santri perempuannya. Mengutip dari ketik.co.id, berdasarkan pantauan Komnas Perempuan tahun 2021, di Indonesia kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan asrama tergolong tinggi dibanding lembaga pendidikan umum.

Tidak hanya itu, fenomena menjual agama demi kepentingan pribadi juga sering terjadi. Contoh kecilnya adalah penjualan pakaian syar’i yang dibungkus dengan dalil-dalil agama agar laku di pasaran.

Selain menggambarkan fenomena beragama hari ini, film Bida’ah juga menjadi kritik sosial yang mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam memilih kelompok atau komunitas keagamaan—atau yang biasa kita kenal sebagai ormas. Sebelum bergabung dalam kelompok tersebut, ada baiknya kita memiliki pondasi keislaman yang kuat agar dapat terhindar dari ajaran-ajaran yang menyimpang dari syariat Islam.

Wallahu a‘lam.

3

Mahasiswa sekaligus santri Pondok Pesantren Nurul Ihsan Yogyakarta

Post Lainnya

Arrahim.id merupakan portal keislaman yang dihadirkan untuk mendiseminasikan ide, gagasan dan informasi keislaman untuk menyemai moderasi berislam dan beragama.